Bau korupsi DPR kembali tercium. DPR 2009-2014 dinilai masih menduduki rangking pertama urusan korupsi. Pencapaian ini sama saja menegaskan temuan sebelumnya yang menempatkan DPR sebagai lembaga publik sarang praktik korupsi.
Setidaknya survei Kemitraan pada 2010 menyebutkan hal tersebut. Survei yang dilakukan pada 2010 itu dilakukan terhadap tiga lembaga negara yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Ditemukan, legislatif menduduki peringkat pertama dalam urusan korupsi yakni sebesar 78%, yudikatif 70%, dan eksekutif sebesar 32%.
Menurut Spesialis Pendidikan dan Pelatihan pada Proyek Pengendalian Korupsi Indonesia Laode Syarif tingginya korupsi di tiga lembaga tersebut dikarenakan tidak adanya program antikorupsi yang holistik. Lebih dari itu, dia menyebutkan tidak ada grand design dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.
Untuk menghindari masalah laten korupsi di tiga lembaga tersebut, seharusnya ke depan pemberantasan korupsi tidak hanya tertuju pada presekusi tapi juga pada pencegahan. Selain itu, harus ada sistem pencegahan dan penindakan yang terintegrasi antara lembaga penegak hukum (Polisi, Jaksa, KPK,Pengadilan, Penjara).
Adapun target responden adalah anggota parlemen, masyarakat, kalangan pemerintah, akademisi dan media massa.
Berdarkan hasil survei tersebut sebanyak 56% anggora parlemen menilai korupsi DPR tinggi sebanyak 59% responden menilai sedang dan 15% responden menilai rendah. Sedangkan responden dari pemerintah menilai korupsi DPR tinggi sebanyak 79% responden, dan 5% rendah. Masyarakat menilai, 80% korupsi DPR masih tinggi, 5% rendah.
Sebanyak 90% responden akademisi menilai korupsi DPR tinggi dan 3% rendah. Sedangkan, media massa yang menilai korupsi DPR masih tinggi sebesar 84%, 3% sedang dan 4% rendah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar