Saat ini, ramai dibicarakan besarnya utang pemerintah yang jatuh tempo
tahun ini. Kewajiban yang muncul akibat penerbitan surat utang maupun
pinjaman langsung dari negara lain itu, sungguh fantastis. Totalnya
sebesar Rp 139 triliun. Sedangkan pembayaran bunga dari utang yang masih
berjalan sekitar Rp 122 triliun. Ada apa dengan utang?
Penerbitan surat utang atau meminjam dana dari luar negeri, baik melalui bilateral maupun multilateral, atau menerbitkan surat pengakuan utang, dilakukan untuk menutupi anggaran yang defisit: lebih besar pengeluaran ketimbang penerimaan. Jadi, utang selalu dianggap sebagai dewa penolong.
Seperti yang akan dilakukan pemerintah pada tahun ini. Untuk keperluan tersebut, pemerintah akan menerbitkan surat utang lagi dalam mata uang yen, yang disebut sebagai "Samurai Bond". Tujuannya, selain menambal anggaran yang masih minus, juga untuk membayar utang jatuh tempo yang sebagian besar dalam yen.
Ibaratnya, gali lubang tutup lubang, dan gali lubang lagi. Secara ekonomi, utang yang jatuh tempo – baik terjadi pada pemerintah maupun pada individu – tentu membuat kebutuhan terhadap likuiditas untuk pembayaran bertambah dari biasanya. Jika utangnya dalam bentuk yen yang terbesar, maka kebutuhan mata uang Jepang itu pun akan besar.
Dampaknya mudah ditebak. Pemerintah harus berbelanja yen untuk memenuhi kewajibannya membayar utang. Akibat ada tambahan kebutuhan terhadap yen (ditransaksikan dengan rupiah) sebagai komoditas, nilai mata uang Negeri Matahari Terbit itu berpotensi naik atau menguat.
Kemudian, dengan model anggaran yang minus, kemudian ditutupi dengan utang, bermakna kemampuan pemerintah membiayai program pembangunan makin kecil. Apalagi, dalam struktur anggaran belanja yang ada saat ini, sebanyak 60 persen digunakan untuk belanja rutin, seperti fasilitas (dari kendaraan, operasional, hingga rumah) dan gaji pegawai atau pejabat. Oh ya, ada banyak tambahan wakil menteri juga – lazimnya ikut membawa staf. Nah, barulah sisanya buat pembangunan.
Jadi, jatah rakyat makin kurus. Sejatinya, pemerintah yang dikelilingi oleh orang-orang pintar, tentu paham dengan situasi ini. Termasuk, cara lain yang mungkin dilakukan untuk mengamankan anggaran, seperti menaikan pajak atau mengurangi subsidi.
Penerbitan surat utang atau meminjam dana dari luar negeri, baik melalui bilateral maupun multilateral, atau menerbitkan surat pengakuan utang, dilakukan untuk menutupi anggaran yang defisit: lebih besar pengeluaran ketimbang penerimaan. Jadi, utang selalu dianggap sebagai dewa penolong.
Seperti yang akan dilakukan pemerintah pada tahun ini. Untuk keperluan tersebut, pemerintah akan menerbitkan surat utang lagi dalam mata uang yen, yang disebut sebagai "Samurai Bond". Tujuannya, selain menambal anggaran yang masih minus, juga untuk membayar utang jatuh tempo yang sebagian besar dalam yen.
Ibaratnya, gali lubang tutup lubang, dan gali lubang lagi. Secara ekonomi, utang yang jatuh tempo – baik terjadi pada pemerintah maupun pada individu – tentu membuat kebutuhan terhadap likuiditas untuk pembayaran bertambah dari biasanya. Jika utangnya dalam bentuk yen yang terbesar, maka kebutuhan mata uang Jepang itu pun akan besar.
Dampaknya mudah ditebak. Pemerintah harus berbelanja yen untuk memenuhi kewajibannya membayar utang. Akibat ada tambahan kebutuhan terhadap yen (ditransaksikan dengan rupiah) sebagai komoditas, nilai mata uang Negeri Matahari Terbit itu berpotensi naik atau menguat.
Kemudian, dengan model anggaran yang minus, kemudian ditutupi dengan utang, bermakna kemampuan pemerintah membiayai program pembangunan makin kecil. Apalagi, dalam struktur anggaran belanja yang ada saat ini, sebanyak 60 persen digunakan untuk belanja rutin, seperti fasilitas (dari kendaraan, operasional, hingga rumah) dan gaji pegawai atau pejabat. Oh ya, ada banyak tambahan wakil menteri juga – lazimnya ikut membawa staf. Nah, barulah sisanya buat pembangunan.
Jadi, jatah rakyat makin kurus. Sejatinya, pemerintah yang dikelilingi oleh orang-orang pintar, tentu paham dengan situasi ini. Termasuk, cara lain yang mungkin dilakukan untuk mengamankan anggaran, seperti menaikan pajak atau mengurangi subsidi.
Apesnya, pilihan terakhir inilah yang saat ini gencar diteriakkan melalui rencana kenaikan atau pembatasan bahan bakar minyak, serta kenaikan tarif listrik. Pertanyaannya, kapan rencana belanja rutin yang memakan anggaran di atas 50 persen itu diturunkan?
Belum pernah terdengar programnya, sekalipun sayup-sayup. Atau, kapan pajak di industri yang kerjaannya banyak menggerogoti bumi Indonesia seperti pertambangan atau perkebunan dinaikkan juga pajaknya agar tidak hanya menyisakan kerusakan lingkungan? Nyaris tak terdengar.
Justru yang paling nyaring adalah dendang dari Lapangan Banteng, tempat Departemen Keuangan bermarkas, yang tahun ini akan menerbitkan lagi surat utang senilai Rp 250 triliun. Dananya, sebagian digunakan untuk memenuhi target program yang sudah dicanangkan oleh pemerintah. Dan seperti biasa, menutupi minusnya anggaran.
Inilah langkah paling mudah menutup bolongnya anggaran. Tanpa ada “pertentangan” politik seperti pada kebijakan menaikkan pajak di sektor pertambangan misalnya, yang dimiliki oleh orang-orang terkaya di Indonesia.
Disadarai atau tidak, utang secara ideologis adalah memberi ruang berkembangnya hegemoni pemilik modal kepada negara ini. Contohnya kasat mata. Pinjam duit ke Cina untuk proyek listrik 10 ribu megawatt, kontraktornya juga harus berasal dari Cina. Satu paket. Tentu ini berlaku dengan pinjaman-pinjaman proyek lainnya.
Mau pinjam uang dari pasar keuangan melalui penerbitan surat utang, maka kiblatnya harus dipindah ke lembaga pemeringkat dan pengelola modal swasta. Sekali lembaga pemeringkat menggoyang tingkat risiko investasi Indonesia, para calon pembeli surat utang minta imbal hasil yang lebih besar. Semuanya serba bermasalah.
Karena itu sebenarnya, pilihan cukup bijak adalah: efisiensi belanja rutin (gaji dan fasilitas), atau naikkan penerimaan pajak dari industri pertambangan dan perkebunan – ingat, lahan yang dipakai dan dikeruk adalah milik rakyat Indonesia. Sungguh tragis, jika pemiliknya hanya kebagian dampak negatif.
Janganlah kebiasaan tak elok justru dijadikan hobi: gertak rakyat dengan pengurangan subsidi, atau menerbitkan surat utang. Apalagi, saat ini rakyat masih dipaksa menikmati jalan yang rusak, buruknya fasilitas publik, dan subsidi dicabut pula ketika pendapatan rakyat belum siap menambalnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar