Kabupaten Sidoarjo, yang punya 18 kecamatan dan 353 desa, punya tempat pembuangan akhir sampah (TPA) di Kalisogo, Kecamatan Jabon. Lokasinya hanya sekitar 20 meter dari bibir tanggul Sungai Porong.
Saya beberapa kali menengok TPA Kalisogo. Ada 50-an pemulung mengais-ngais rezeki dari sampah. Karena saban hari bergaul dengan sampah, indra penciuman mereka kebal.
Para pemulung ini bersiul, bersenandung, nyanyi, guyon, di sela-sela aktivitas rutin mereka.
Capek, haus, atau lapar? Jangan khawatir. Ada pedagang keliling siap menawarkan makanan dan minuman. Mereka makan dan minum di tengah-tengah sampah busuk. Lahap sekali! "Dawetnya wuenaaaak,” kata seorang wanita pemulung yang pakai caping.
Dikoordinasi oleh sebuah koperasi, 50-an pemulung ini berasal dari desa-desa di sekitar TPA. Paling banyak dari Tambak Kalisogo dan Balongtani, khususnya Dusun Ngingas.
Sejak beroperasi tahun 2002, praktis jumlah pemulungnya sama. Sebab, ada mekanisme untuk mencegah masuknya pemain-pemain baru. Ada semacam 'fit and proper test' dari petinggi-petinggi pemulung. Dikaji benar apakah si pelamar serius atau hanya bikin onar. Hanya mereka yang dikenallah yang boleh kerja.
Karena itu, jangan harap pemulung-pemulung TPA di Surabaya pindah ke Kalisogo. "Yah, supaya orang sini bisa cari makan," kata Suparno, pemulung senior.
Di TPA Kalisogo para pemulung punya spesialisasi. Sesama pemulung dilarang menyabot lahan temannya! Supaat khusus mengumpulkan sampah bekas (serbuk) pabrik paku. Pakai
tongkat magnet, Supaat sangat telaten menjaring sisa-sisa kepala (topi) paku.
Harganya Rp 700 per kg. Serbuk itu dijual ke 'koperasi'.
Ada lagi pemulung spesialis botol plastik, botol gelas, kardus, kain, hingga sisa-sisa industri. Suparno, yang spesialis kardus, tentu tak akan makan lahan Supaat si
spesialis paku. Truk sampah pabrik paku pun selalu membuang muatannya di timur.
Yang repot, kata Supaat, sampah domestik alias sampah rumah tangga. Kita memang belum punya tradisi memilah sampah basah dan sampah kering. Semua sampah, apa pun jenisnya, dicampur begitu saja. Ini menyulitkan kerja pemulung.
"Kalau nggak kerja begini, terus mau makan apa?" ujar Suparno.
Suparno mengaku penghasilannya tak tentu. Kadang Rp 10 ribu sehari, Rp 15 ribu, atau di bawah Rp 7.500. Bagi yang mujur, macam pemulung botol minuman, penghasilan bisa lebih banyak.
Yang jelas, meski hidup di tengah sampah busuk, serba kotor, Suparno, Sugeng, Supaat, dan kawan-kawan pemulung tidak pernah sakit. Rupanya, Tuhan memberikan kekebalan tubuh yang luar biasa kepada mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar