Perempuan itu sedang menyeka air matanya dengan selendang
yang sudah lusuh. Tidak bisa mengeluarkan suara sekadar untuk gumamkan
gumpalan sedih di dadanya.
Tangannya
sedang mengaduk kopi saat itu. Beberapa bulir air yang jatuh dari sela
matanya yang tidak seindah saat ia masih sebagai perawan desa dulu,
jatuh. Teraduk serta dalam kopi yang akan disajikan ke hadapan
suaminya. Bukan karena ia ingin agar lelaki yang sudah menjadi suaminya
itu bisa merasakan seperti apa air mata itu. Tidak, ia tidak terpikir
untuk itu.
Ada jengah di kedalaman perasaannya sebagai
seorang perempuan. Saat ia ingin membawa dua gelas kopi itu. Sebab,
dengan begitu ia harus melihat perempuan muda yang baru dinikahi
suaminya. Perempuan muda yang membuatnya tidak pernah bisa mengerti.
Sudah tahu lelaki itu sudah beristri, namun masih juga menerimanya
menjadi suaminya juga. Padahal perempuan yang ditaksirnya masih berusia
sekitar 27 tahun itu, bukan dijadikan istri kedua. Tetapi, menjadi
istri kelima.
Apalet. Suaminya itu dikenal sebagai lelaki
yang senang main perempuan. Ia sudah berkali-kali menikah. Biasanya,
setiap ia merasa sudah tidak memiliki kecocokan, pasti langsung
ditalaknya. Tidak berapa lama ia akan menikahi perempuan lain.
Hanya
Buleuen, perempuan yang menjadi istri pertama itu saja yang tidak akan
pernah dicerai. Bukan karena Buleuen masih sangat cantik. Tidak,
kecantikan hanya sisa-sisa yang sebagiannya sudah luntur oleh matahari.
Sebab sehari-hari ia harus mengupah sebagai buruh tani untuk hidupi
kelima anaknya yang masih kecil-kecil. Apalet tidak pernah mencerainya
karena cuma ia saja yang sudah berikan anak untuk lelaki itu. Selain,
Buleuen tidak pernah banyak menuntut pada lelaki yang lebih banyak
menghabiskan waktu di meja judi itu.
Jika beras habis,
daripada meminta pada suaminya, Buleuen lebih memilih untuk mengutang
pada tetangganya dan kemudian membayar kalau ia sudah menemukan
pekerjaan di sawah atau ladang siapa saja nantinya. Begitu terus.
Apalet juga, setiap modalnya berjudi tandas, seringkali dengan leluasa
bisa mengambil uang simpanan Buleuen yang biasanya disimpan di balik
bantal. Buleuen tidak akan mengatakan apa-apa.
Hari itu,
suaminya datang kembali ke rumah itu. Buleuen sangat hafal tabiat
lelaki yang sudah menikahinya hampir 20 tahun itu. Ia pulang kalau
sedang sakit, kehabisan uang atau sedang dalam kejaran polisi. Sebab,
ia juga sering terlibat penjualan ganja lintas provinsi. Cuma, kali ini
sedikit berbeda. Buleuen dibawa pulang oleh-oleh dari Medan. Beberapa
baju bagus yang pertama dulu hanya diberikan saat baru-baru menikah.
Sekarang ia mendapatkannya lagi. Lengkap dengan uang beberapa ratus
ribu rupiah. Karena dagangan lelaki itu berupa tanaman haram bernama
ganja itu berhasil diloloskan ke Batam. Dari sana ia mendapat uang
banyak yang dipuaskan untuk berjudi. Juga untuk kawin lagi.
Uang
itu tidak membuatnya merasa lega. Sebab, saat membawakan kopi ke
hadapannya, Apalet meminta Buleuen untuk tidur di ruang depan nanti
malam. Kamar satu-satunya yang biasa mereka tempati sejak dari pertama
menikah, malam ini dipakai untuk lelaki itu dengan perempuan yang cantik
dan bermake up tebal yang ia bawa juga bersamanya.
Buleuen
tidak bisa bicara apa-apa. Ia kehilangan suara. Hanya mengangguk dan
mencoba menahan air matanya untuk tidak jatuh di depan lelaki itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar