“Barcelona adalah senjata dahsyat dari sebuah bangsa tanpa negara,” Manuel Vazquez Montalban.
El Clasico
bukan sekadar pertarungan 90 menit di lapangan antara Real Madrid
melawan Barcelona. Ini adalah pertarungan dua bangsa dalam sebuah negara
bernama Spanyol.
Memang, bayangan kudeta, perlawanan, atau pemberontakan akan selalu membayangi El Clasico.
Karena itu pula gaungnya akan selalu lebih tinggi, dinanti, dan diikuti
ketimbang laga besar lain, atau derbi sekalipun. Sebab yang klasik
sudah tentu punya nilai lebih tinggi.
Kedua klub memang selalu
(dan akan senantiasa) berseberangan karena paham-paham klasik. Real klub
ibu kota, Barca pinggiran dan lepas pantai. Real asli Spanyol, Barca
kebanyakan imigran. Fans Real menganut paham kanan yang nasionalis, fans
Barca memilih kiri dengan etno nasionalis. Dan, tentu saja, Los Blancos jadi wakil kerajaan, sementara Blaugrana sang pemberontak.
Bangsa Imigran yang Ingin Merdeka
Biasanya,
kisah pemberontakan biasanya lahir dari tanah kesengsaraan. Tapi tidak
dengan cerita dari Katalunya. Daerah yang berada di pesisir pantai ini
sebenarnya lebih maju dan kaya.
Bahkan ketika belum bersatu
dalam Kerajaan Spanyol, Katalunya adalah pusat perdagangan, kebudayaan,
dan jalur utama masuk ke Spanyol, dengan banyak saudagar dan kapitalis
yang berkuasa di Spanyol berasal dari Barcelona. Tak heran jika mereka
merasa lebih dulu tahu tentang dunia luar, ketimbang Madrid yang pusat
pemerintahannya di tengah-tengah Spanyol.
Di pantai Katalunya,
imigran-imigran yang tersisih dari negaranya masing-masing diterima
dengan baik. Mereka dianggap saudara senasib. Dan pembauran inilah yang
menjadikan Katalunya merasa berbeda. Mereka berpikir sebagai bangsa yang
harus bebas. Apalagi para awak kapal yang bersandar di pelabuhan kerap
membawa cerita indah tentang kemerdekaan negara-negara luar.
Menjadi
pusat perdagangan dan kebudayaan juga membuat Katalunya berpikir bahwa
mereka lebih besar dari Spanyol. Apalagi Katalunya selalu berada di
bawah pendudukan politik tuan tanah Kastilia yang tinggal di Madrid,
meski lebih maju secara ekonomi. Katalunya hanya sapi perah bagi
kumpulan orang udik tak berdaya yang duduk-duduk manis di Madrid.
Keresahan
itu lalu dimanfaatkan oleh pengusaha Swiss dan eks kapten FC Basel,
Joan Gamper, dengan beberapa ekspatriat Inggris yang doyan sepakbola.
Mereka mendoktrin Katalunya bahwa perjuangan mereka bisa disuarakan
melalui sepakbola.
Gamper, yang kemudian meminta dirinya dipanggil “Hans Gamper” agar lebih
Spanyol, mendirikan Football Club Barcelona pada 1899. Sang presiden
pertama, yang belum move on dari FC Basel itu, lalu memilih warna merah
biru klub lamanya untuk dipasang di Barcelona. Berikut pula terkait
logo. Gamper menyelipkan logo FC Basel dan logo bendera negara Swiss di
dalam logo Barcelona.
Klub itu kemudian dibalut slogan, “Mes que
un club”, atau lebih dari sebuah klub. Tagline itu untuk selalu
mengingatkan bahwa Barca bukanlah klub sepak bola biasa dan bahwa
Katalunya bukan sekadar daerah biasa. Ada yang diperjuangkan dengan
didirikannya klub ini.
Seorang
penulis kontemporer besar di Spanyol, Manuel Vazquez Montalban, dalam
novelnya berjudul "Offside", menggambarkan Barca dan Katalunya dengan
kalimat, "senjata dahsyat dari sebuah bangsa tanpa negara".
Dengan
identitas itulah Barca dan Katalunya terus menunjukkan identitas mereka
yang istimewa dan perlahan mengeluarkan hawa memberontak.
Tapi
pemberontakan ini boleh dikatakan setengah-setengah. Sedari dulu
Katalunya memang bergaya ingin merdeka dan mengklaim lebih besar
ketimbang Spanyol. Namun tak pernah ada usaha serius untuk memberontak,
atau katakanlah melakukan perang demi mewujudkan kemerdekaannya sendiri.
Patut
diingat bahwa sebagai kota perdagangan dan industri, selain memiliki
buruh, Katalunya juga jadi gudangnya orang kaya yang borjuis. Meski
ideologi sosialisme dan anarkisme tumbuh subur disana, Katalunya-pun
adalah rumah bersahabat bagi kapitalis yang mengenggam Spanyol.
Pilihan Raja
Meski
hanya setengah-setengah, aura permusuhan dari publik Katalunya tetap
sampai pada Kastillia yang menguasai Spanyol. Ditambah lagi saat itu
mulai muncul gelagat pemberontakan dari anti monarki. Di bawah kekuasaan
Raja Alfonso XIII, para Kastillia juga mencari cara untuk mengatasi
para kelompok anti monarki, terutama Katalunya dengan Barcelonanya.
Mereka
mencoba membentuk klub tandingan di Barcelona pada 1900. Klub ini
dinamakan Espanyol dengan nama yang diambil dari kata Espana dan
Spanyol, demi alasan nasionalisme. Belakangan klub ini malah terlihat
jadi blunder. Espanyol yang mewakili Spanyol malah lebih kecil ketimbang
Barca yang hanya mewakili Katalunya.
Tak hanya di Barcelona, kerajaan Kastillia juga membentuk klub-klub
nasionalis pada beberapa kota. Penggunaan kata Real (Royal, kerajaan),
adalah ciri dari klub-klub bentukan mereka.
Di Madrid yang
merupakan kota pusat pemerintahan, kerajaan juga berupaya membuat klub
besar untuk menandingi Barcelona. Namun di sana sudah terlanjur berdiri
Madrid Football Club yang didirikan Juan Padros pada 1902. Klub ini
adalah hasil usaha Padros dalam menyatukan kembali New Foot-Ball de
Madrid dan Club Espanol de Madrid yang terpecah dari induknya, Football
Club Sky (berdiri 1897).
Tak perlu berepot-repot lagi mendirikan
klub lagi, kerajaan kemudian memilih Madrid FC untuk jadi wakilnya. Tim
ini pun diberi subsidi dari kerajaan.
Selain letaknya di
Madrid, Raja Alfonso, memilih klub ini juga karena prestasinya. Salah
satunya dengan menjuarai Piala Spanyol 1905. Lebih-lebih mayoritas
pemainnya bermain untuk tim nasional kerajaan yang menggunakan nama
Royal Spanish Football Federation.
Raja Alfonso pun lalu
memberikan tambahan kata Real (Royal) pada Madrid FC, sehingga namanya
berubah menjadi Real Madrid club de Futball pada 1920.
Sempat Di Atas Angin
Liga
pertama di Spanyol pada 1929 kian melecut semangat Katalunya. Saat itu,
dari 10 klub peserta, Barcelona dikepung lima klub milik kerajaan.
Mereka adalah Real Club Deportivo Espanol, Real Racing Club de
Santander, Real Madrid Foot-ball Club Madrid, Real Sociedad de
Foot-ball, dan Real Union Club.
Karena semangat yang tinggi,
Barcelona kemudian lolos ujian pertamanya ini. Mereka jadi juara dengan
keunggulan dua angka dari Madrid pada akhir musim. Publik Katalunya
senang dan bangga, sementara Kastillia gigit jari.
Setelah
merebut dua gelar juara di kompetisi berikutnya, Madrid sempat terpuruk
karena berdirinya negara republik demokratis, Segunda Republica
Espanola. Kekuasaan King Alfonso pun jatuh, menyusul anti monarki yang
memenangkan pemilihan secara mayoritas.
Sang raja lalu kabur ke luar negeri saat Republik Kedua Spanyol diproklamirkan pada 14 April 1931.
Pada masa pendudukan Segunda Republica Espanola yang berlangsung hampir
delapan tahun ini, Barcelona berada di atas angin. Mereka punya banyak
teman senasib untuk benar-benar mewujudkan pemberontakan dan
kemerdekaan. Tapi mereka tetap tidak berani menyuarakan kemerdekaan
Katalunya sendiri.
Dengan restu raja, Generalissimo Francisco
Franco akhirnya mampu mengembalikan kekuasaan kerajaan pada 1939. Kali
ini giliran para pemberontak dibumi-hanguskan. Tak terkecuali Barcelona
yang selalu mendengungkan superiotas kebangsaan Katalunya.
Perang saudara di Spanyol pun pecah.
Sebagai
pendukung Real Madrid, Franco juga mengikuti perkembangan sepakbola
secara obsesif. Ia juga tahu bahwa Barcelona adalah alat Katalunya.
Menurutnya, kesebelasan Barca adalah deretan keempat yang harus disapu
bersih dari Spanyol setelah kelompok komunis, anarkis, dan separatis.
Sebenarnya,
Franco bisa saja membunuh semua orang yang berkaitan dengan Barca untuk
menyapu bersih segala hal yang berkaitan dengan Katalunya. Namun ia
mengurungkan niatnya.
Alih-alih membumi-hanguskan, Franco lebih
berkonsentrasi untuk membunuh semangat perlawanan Barca dan sejarahnya.
Seperti saat pengeboman Katalunya pada 16-18 Maret 1938. Yang
dihancurkan Franco adalah kantor Barcelona tempat menyimpan piala-piala
kesebelasan, bukan Nou Camp.
Ia tentu saja bisa meratakan Nou
Camp, sebagaimana ia bisa melarang publik Katalunya menggunakan bahasa
ibunya sendiri. Tapi opsi ini tidak dilakukannya. Franco malah sengaja
membuat Nou Camp sebagai tempat publik Katalunya meneriakkan perlawanan.
Prinsipnya sederhana. Daripada Katalunya bergerilya di luar, Franco
membuat suara-suara pemberontakan itu hanya bergema di dalam stadion.
Tujuannya
jelas, rakyat Katalunya dipaksa hanya menyalurkan kemarahan mereka saat
pertandingan berlangsung. Pada tempat yang ditentukan Franco, pada
waktu yang disediakan Franco. Perlawanan melalui chant dan
bendera khas senyera di dalam stadion, yang merupakan alat pelampiasan
amarah penduduk Katalunya, sebenarnya justru alat peredam perlawanan
yang paling efektif.
Dengan dibuat puas bersuara di dalam stadion, penduduk Katalunya justru dibungkam perlawanannya.
Franco juga tak membubarkan Barcelona. Ia masih bermurah hati dengan
hanya meminta klub tersebut mengganti nama dengan menggunakan bahasa
Kastillia, Club de Futbal Barcelona.
Ia juga mengerdilkan
sejarah Barca. Pada 1943, dalam semifinal Piala Generalissimo (sekarang
Copa Del Rey), ia menebar ancaman hukuman mati kepada Blaugrana.
Hasilnya, Real yang menjadi lawan Barca menang fantastis 11-1.
Kemenangan yang selalu dijadikan didengungkan Real tentang sejarah.
Pada
akhirnya Franco sukses memadamkan pemberontakan di Spanyol. Segunda
Republica Espanola, yang mengungsi ke Meksiko, membubarkan diri pada
1976.
Namun Franco tak pernah bisa memadamkan semangat perlawanan
pendukung Barcelona pada pemerintah dan alatnya, Real Madrid. Sakit
hati kepada Real dan Kastillia tetap abadi hingga kini. Tapi, tetap
sebatas pertandingan sepakbola dan di dalam Nou Camp.
Karena
sikap yang tak pernah benar-benar mau memberontak itulah, Katalunya
paling banter hanya mendapatkan otonomi atau daerah istimewa di Spanyol.
Mereka tak pernah benar-benar bebas dan tak pernah benar-benar
menuntut. Kemerdekaan dan kebesaran Katalunya hanya ada di dalam
stadion.
Persis seperti yang diinginkan Franco.