Di samping panggung yang berdiri di tengah Alun-alun Selatan, Yogyakarta, diletakkan dua karangan bunga dukacita. Pada karangan bunga itu tertulis: ”Turut Berduka Cita atas Bergugurannya Budaya Tradisional Bangsa Indonesia”.
Perkembangan teknologi terutama dalam bidang komunikasi dan informasi kemudian mempercepat proses tersebut, tidak hanya dari unsur jarak, waktu dan biaya, tetapi juga pola dan gaya hidup, trend. Informasi sebuah trend di satu tempat akan menyebar dengan sedemikian cepat ke tempat lain dalam waktu yang sangat singkat apalagi ketika trend tersebut kemudian dibarengi dengan motif-motif lain, biasanya ekonomi.
Di tengah semakin “menyatunya” dunia, lantas, apa yang kemudian membedakan seorang satu dengan lainnya? Apakah hanya dari nama? Apakah sebuah nama kemudian menunjukan identitas seseorang, atau sebuah bangsa secara utuh? Dari warna kulit? Dari status? Atau keyakinan? Sementara batasan-batasan tadi sudah menjadi semakin luntur, meski tidak habis sama sekali, lantas apa yang kemudian bisa menjadi identitas seorang individu? Atau sebuah bangsa? Ketika dunia sama sekali tidak memiliki batas-batas nyata, apa yang membuat kita dapat “pulang ke rumah” dan merasa di “rumah”? Jawabannya sederhana ; Sejarah dan Budaya!
Ketika batas-batas Negara kemudian hanya menjadi sebuah syarat administratif belaka, ketika ras dan warna kulit kemudian hanya sekedar sebuah keragaman, maka sejarah dan budaya sebuah bangsa atau seorang individu akan menjadi sebuah petunjuk bagi identitas diri dan bangsanya. Pertanyaan yang kemudian muncul, apabila ketika semua perbedaan sudah “dihilangkan” sama sekali, semua manusia hidup dalam sebuah payung yang sama, lantas apa perlunya kemudian kita menggali sejarah dan budaya? Sejujurnya sejarah menyatakan bahwa mimpi penyatuan hingga saat ini tidak pernah ada yang benar-benar berhasil, karena manusia adalah mahluk yang sangat unik masing-masingnya, pun ketika kita berbicara tentang kembar identik, lagi pula sejarah menyatakan; ide kita “dikontrol dan dikendalikan” untuk umat manusia tidak pernah menemui keberhasilan, setidaknya sampai dengan saat ini.
Karena setiap individu unik, maka manusia sangat memerlukan eksistensi-keberadaan, pengakuan, aktualisasi terhadap hidup dan kehidupannya, dirinya
dan lingkungannya sesederhana apapun itu, sehingga kemudian munculah apa yang disebut sebagai kebudayaan. Saya tidak dapat membayangkan seorang manusia/individu atau sebuah bangsa yang tidak memiliki budaya, kalau itu yang terjadi, apa bedanya manusia dengan sebuah mesin cuci di rumah kita?
Kematian sebuah bangsa! Itulah yang akan terjadi ketika sebuah bangsa tidak lagi memiliki budaya, dan itu sedang terjadi di Negara yang kita cintai ini, Indonesia, sebuah negara warisan konsep Nusantara yang dibangun berabad silam ini sedang menemui titik nadirnya, dan itu terjadi di pusat warisan bangsa Nusantara yang dititipkan oleh para leluhur kita untuk Indonesia, Yogyakarta!
Sebagai sebuah benteng terakhir budaya bangsa, ketika legitimasi kekuasaannya “dirampas”, maka fungsi Yogyakarta, dalam hal ini Sultan sebagai pewaris Matahari Nusantara nampaknya tidak cukup ngeuh ketika legitimasinya perlahan-lahan tercerabut satu persatu, sisa legitimasi terakhirnya, yaitu budaya-pun nampaknya perlahan-lahan mulai hilang satu-persatu, entah itu karena digerogoti dengan sebuah teori konspirasi multinasional yang tidak mau bangsa ini bangkit, atau hanya karena sekedar Sultan sudah tidak “sadar” lagi, Sultan sudah meninggalkan rakyatnya sendiri, karena salah satu budaya yang “seharusnya” hidup di bawah naungan payung sang Sultan, kini sedang sekarat, dan memutuskan, daripada menunggu mati, lebih baik pamit mati untuk bertempur untuk yang terakhir kalinya. Ironisnya, “medan pertempuran” itu ada di halaman istana Sultan itu sendiri.
Budaya yang pamit mati itu adalah Ketoprak Tobong , minimnya perhatian, ditutupnya kesempatan-membuat ketoprak tobong Kelana Bakti Budaya, yang tinggal satu-satunya itu tidak dapat bernafas lagi, mirip cerita-cerita yang beredar di masyarakat tentang dinding dalam keputren di keraton, ketika sudah tidak cantik lagi, jangan harap berkah akan menghampiri. Ketika fungsi ketoprak tobong sudah tergantikan oleh kemajuan teknologi, maka ketoprak tobong pun tidak lagi didekati.
Ketoprak tobong, apapun itu, tidak hanya berfungsi sebagai sebuah pentas kesenian belaka, tidak hanya berfungsi sebagai alat propaganda semata, atau panggung boneka dengan kostum warna-warni. Ketoprak tobong sesungguhnya menyimpan dan menjadi bagian dari pembentuk DNA bangsa ini, layaknya jenis-jenis kebudayaan lain yang tersebar dari Sabang sampai Merauke, karena dari kebudayaan-kebudayaan tersebut kita dapat menggali banyak hal tentang karakter masyarakat pembentuknya, menelaah jaman pengembangannya, fungsinya, sampai kepada hal-hal kecil yang menjadi hiasannya, sehingga kita dapat merekonstruksi dan menerjemahkan unsur-unsur pembentuk jatidiri bangsa ini.
Kehilangan penonton Ketoprak tobong masa kini memang tak bisa lagi hidup mandiri. Mereka sudah kehilangan penonton. Setiap kali pentas, jumlah penonton hanya puluhan, bahkan pernah hanya empat orang. Dengan tiket Rp 5.000 per orang, pendapatan dari tiket tidak pernah bisa menutup biaya operasional. Padahal, mereka harus menjamin hidup para pemain setiap harinya.
Risang mengatakan, Kelana Bhakti Budaya telah mencoba bertahan karena melihat semangat para pemain yang masih ingin menghidupi ketoprak. Namun, kini mereka sudah tak lagi sanggup terus bertahan. Mereka sudah sekarat sejak lama dan memutuskan pamit mati.
Para pemain pun sudah pasrah. Mereka mulai menyadari, era ketoprak tobong sudah lewat. Andai bisa memilih, antara bertahan atau mati, mereka sesungguhnya memilih bertahan. Apa pun kondisinya.
”Saya lahir di sini. Selama ini masih bisa hidup, saya akan tetap main ketoprak. Namun, kalau akhirnya harus mati, saya akan pulang ke Tulungagung. Mungkin saya hanya bisa melamun dalam waktu lama,” tutur Bandung Bondowoso (23), pemain yang lahir dalam ”ziarah” kelompok ini di Magetan.
Dalam dunia ketoprak tobong, nasib tragis Kelana Bhakti Budaya sesungguhnya bukan cerita baru. Di Yogyakarta, kelompok ketoprak tobong terakhir, yakni Sapta Mandala, bahkan sudah punah tahun 1994.
Bondan Nusantara, seniman Yogyakarta yang pernah jadi sutradara ketoprak tobong Sapta Mandala, menuturkan, era ketoprak tobong memang sudah lewat. ”Ketoprak tobong tidak mungkin lagi hidup di Yogya karena ongkos produksi dibanding pendapatan tak sepadan. Penonton sudah pergi,” ungkapnya.
Sajian ketoprak tobong sudah tak lagi sesuai selera masyarakat yang kian industrialistik. Pilihan jenis hiburan kian beragam. Jika mau bertahan, ketoprak tobong mesti berinovasi agar bisa menangkap selera masyarakat. Namun, diakui, itu tidaklah mudah.
Meski begitu, jeritan putus asa Kelana Bhakti Budaya tetap perlu didengarkan. Menurut Bondan, seni tradisi apa pun bentuknya tidak bisa dibiarkan bertempur sendirian melawan industrialisasi. Pemerintah harus turun tangan. Bukan untuk menyelamatkan seniman, melainkan menyelamatkan kesenian dan kebudayaan.
Bagi Kelana Bhakti Budaya, pentas pamit mati yang disusul dengan topo pepe itu dipersembahkan kepada raja dan warga Yogyakarta. Di depan mereka, satu lagi kelompok seni tradisi meregang nyawa. Tidak terdengar satu tangis pun untuknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar