Kenangan pahit 14 tahun silam itu tidak pernah terlupakan oleh Mama Olandina da Silva (52). Dia sama sekali tidak menyangka, suaminya, Sersan Kepala Manuel da Silva, bakal pulang dengan kondisi yang sungguh mengenaskan itu.
”Anak paling kecil sebelum ayahnya pergi tugas sempat peluk kaki, minta jangan pergi. Tetapi dijawab ini perintah, tugas,” kenang Olandina.
Cobaan berat tidak berhenti. Setahun kemudian, pascajajak pendapat tahun 1999, Olandina yang sudah menjanda dan membawa lima anak itu harus mengungsi ke Kabupaten Kupang. Dalam pengungsian itu, ia pun harus terpisah dengan sebagian besar anaknya. Tiga anaknya yang paling besar, yaitu Merlinda da Silva, Adelina Maria, dan Jean da Silva terpaksa ditinggal di Timtim, sedangkan dua yang paling kecil, Ester da Silva dan Monica da Silva dibawa bersamanya.
Dua tahun kemudian, dia dapat kabar bahwa anaknya yang nomor dua, Adelina, meninggal dunia karena sakit. Dalam kesedihan itu, Olandina tak bisa melayat anaknya itu karena tidak memiliki paspor.
Segudang cobaan berat itu ternyata belum juga berakhir. Meski sudah hampir 11 tahun mengungsi, negara ini pun ternyata tidak juga memberi perlindungan berupa kehidupan layak. Ditemani putri bungsunya, Monica (18), dia masih tinggal di gubuk penampungan pengungsi di Tuapukan, Kupang, yang kondisinya sangat memprihatinkan. Atapnya dari daun pohon lontar. Dindingnya tersusun dari pelepah pohon Gewang. Sekat-sekat rumah terbuat dari tempelan kardus bekas.
”Maaf ya, kita punya rumah seperti kandang babi saja,” kata Olandina spontan, saat Kompas ke rumahnya, pekan lalu.
Menurut Olandina, tahun 2009, pemerintah sudah menawarkan tempat bermukim baru di Desa Oebeolo. Namun, dia dan juga pengungsi lainnya tidak mau buru-buru pindah karena rumah yang disediakan pemerintah itu ternyata tidak jauh lebih baik, bahkan lebih buruk.
Dinding rumah itu terbuat dari batako atap pun terbuat dari seng. Namun, sepertinya rumah itu dibangun asal jadi. Belum ditempati saja sudah banyak rumah yang roboh. Perumahan itu juga tidak memiliki sumber air bersih. Jika hujan turun lebat, air langsung menggenangi rumah.
Kekhawatiran Olandina dirasakan pula Anteru Sarmento (52). Selain kondisinya buruk, kini, dia terus dikejar-kejar tuan tanah untuk membayar tanah. Penyebabnya, pemerintah belum membayar tanah untuk permukiman pengungsi itu.
Tahun 2007, menurut Anteru, pemerintah sempat menjanjikan akan memberi dana bantuan jaminan hidup Rp 2,5 juta dan dana transisi Rp 5 juta per keluarga. Namun, dana-dana itu tak pernah mereka terima.
”Setiap bulan pemilik tanah datang minta bayar. Kita orang miskin mau bayar pakai apa?” keluhnya.
Anteru menegaskan bahwa mereka ini bukan selalu menggantungkan hidup kepada pemerintah. Mereka datang ke Kabupaten Kupang ini bukan karena kemauan sendiri, tetapi dipaksa keadaan. Saat tinggal di Vikeke, Timor Timur (sekarang Timor Leste), mereka memiliki tanah berhektar-hektar. Mereka juga berkebun dengan leluasa. Namun, itu semua harus mereka tinggalkan karena kondisi politik. Dia pun merasa sedih karena negara yang dia cintai dan perjuangkan selama ini tidak menunjukkan kepedulian.
”Kami kan datang ke sini karena korban politik dan PBB,” tegas Anteru dengan mata memerah dan berkaca.
Banyak yang dikorbankan Anteru untuk memperjuangkan negeri ini. Pria yang kini rambutnya memutih, tetapi masih menyisakan badan tegap itu, pernah menjadi Komandan Partisan yang membantu TNI melawan pemberontak di Timtim. Luka tembak di paha kirinya bukti pengabdian itu. Akibat luka tembak itu, dia juga bahkan cacat seumur hidup. Dia tidak bisa lagi berjalan normal. Dua tongkat selalu menemaninya ke mana pun hendak berjalan.
Banyak cerita sedih yang diutarakan para eks pengungsi Timor Timur. Cerita-cerita itu seakan menunjukkan bahwa negeri ini tidak memberi penghargaan berarti bagi warganya yang pro-Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Padahal, banyak pejabat di negeri ini selalu mendengung-dengungkan untuk selalu menjaga dan mempertahankan NKRI.
boleh re-post?
BalasHapussilahkan santang .....
BalasHapus