Kerajaan Blambangan adalah cikal bakal munculnya Kabupaten
Banyuwangi, Jawa Timur. Kebesaran daerah di ujung timur pulau Jawa ini
identik dengan keemasan masa kerajaan Majapahit. Sayangnya, sejumlah
petilasan yang membuktikan kebesaran Blambangan sudah musnah. Hanya
beberapa yang tersisa. Itu pun kondisinya cukup memprihatinkan.
Tidak ada sumber otentik terkait kerajaan Blambangan. Bahkan hampir
seluruh budayawan Using Banyuwangi menyangsikan adanya kerajaan ini.
Sejumlah tokoh di dalamnya pun dianggap fiktif atau sekedar cerita
fiksi. Namun, bagi komunitas Jawa, Blambangan diyakini benar-benar ada.
Termasuk raja dan serangkaian tokoh di dalamnya. Selain didasarkan
petilasan yang tersisa, suku Jawa cukup kental mengagungkan kebesaran
raja-raja di zaman Blambangan.
Menilik cerita sejarah, Blambangan ada sejak tahun 700 – 1400 masehi.
Kurangnya bukti prasasti membuat kehadiran kerajaan ini hanya sebuah
cerita rakyat. Bahkan silsilah keturunan bangsawannya pun sama sekali
tidak ada. Alhasil, tidak ada satu pun penyebutan pasti waktu
pemerintahan masing-masing raja.
Dari hikayat yang berkembang, ada lima raja yang pernah memerintah
Blambangan. Raja pertama adalah Siung Manoro yang datang dari Kediri,
Jawa Timur. Tokoh ini pertama kali masuk ke Alas Purwo dan tinggal di
rumah penguasanya, mbah Dewi Roro Upas. Tidak disebutkan pasti sampai
kapan pemerintahan Siung Manoro dan hubungannya dengan ratu Alas Purwo
tersebut.
Raja kedua, Kebo Mancuet, putra seorang bangsawan dari
Klungkung,Bali. Disebutkan, tokoh ini memiliki sepasang tanduk. Karena
keanehan inilah, dia dibuang orang tuanya ke Alas Purwo. Di tempat ini,
dia dirawat seorang rsi sakti, Ki Ajah Pamengger yang juga kakek Minak
Jinggo atau Joko Umbaran, salah satu raja Blambangan.
Selanjutnya Blambangan dipegang Joko Umbaran, pemuda sakti asal
daerah Brati, Pasuruan, Jawa Timur. Kala itu, kerajaan Majapahit
dipimpin seorang ratu, Kencono Wungu yang cantik jelita. Naiknya Joko
Umbaran menjadi raja diawali sayembara Ratu Kencono Wungu. Ratu cukup
repot dengan kehadiran adipati Blambangan Kebo Mancuet yang mulai
merongrong Majapahit. Akhirnya disayembarakan, barang siapa mampu
membunuh Kebo Mancuet akan diberikan tanah Blambangan dan dijadikan
suami Kencono Wungu. Singkat cerita, Joko Umbaran berhasil membunuhnya.
Dia menang setelah dibantu seorang pemanjat kelapa, Dayun. Kemenangan
itu harus dibayar mahal. Wajah Joko Umbaran rusak dan kakinya pincang.
Kemudian Joko Umbaran dinobatkan menjadi raja Blambangan bergelar
Minak Jinggo atau Uru Bismo. Dalam hikayat suku Jawa, Minak Jinggo
digambarkan seorang raja yang jahat. Dia memiliki senjata besi kuning
yang sakti dan memiliki dua istri, Wahito dan Puyengan. Dua permaisuri
ini konon berasal dari Bali.
Karena kesaktiannya inilah Minak Jinggo menjadi raja paling ditakuti.
Bahkan kekuasannya terus meluas hingga Probolinggo,Jawa Timur. Kondisi
ini menjadi ancaman bagi Ratu Kencono Wungu. Apalagi, Minak Jinggo mulai
menagih janji untuk bisa dinikahi sesuai bunyi sayembara.
Dalam kondisi tegang, Ratu Kencono Wungu memerintahkan seorang pemuda
sakti, Damarwulan untuk menumpas Minak Jinggo. Usaha ini berhasil.
Minak Jinggo terbunuh dan kepalanya dipenggal. Kisah perjuangan
Damarwuan ini hingga sekarang menjadi cerita sejarah paling pupuler bagi
komunitas warga Banyuwangi. Saking populernya, warga membuatnya menjadi
sebuah kesenian Damarwulan yang dikenal dengan janger.
Tidak ada sumber pasti kisah Damarwulan ini. Bahkan Budayawan
Banyuwangi sering menyebut hadirnya Damarwulan hanya simbol cerita yang
mengandung beribu philosofi. Dikisahkan, setelah berhasil membunuh Minak
Jinggo, Damarwulan dinikahi Ratu Kenconowungu dan menjadi raja
Majapahit.
Setelah Minak Jinggo, Blambangan dipimpin adipati Siung Laut yang
asli warga Blambangan. Dia memiliki seorang putri cantik, Dewi Sedah
Merah. Putri ini rencananya diinikahkan dengan patihnya, Joto Suro.
Namun gagal. Sang putri memilih kabur ke Mataram (Jawa Tengah) bersama
kekasihnya, pangeran Julang. Kemudian, Siung Laut hijrah ke Bali bersama
permaisurinya dan bergerlar Jaya Prana dan Layang Sari.
Raja terakhir Blambangan adalah Joto Suro. Setelah diangkat menjadi
raja, Joto Suro kembali ingin mendapatkan Dewi Sedah Merah. Dengan
kekuatan pasukannya, Joto Suro menyerang Mataram. Usahanya berhasil.
Sedah Merah diboyong ke Blambangan. Sedangkan suaminya, Pangeran Julang
memilih kabur. Meski menjadi tawanan, Dewi Sedah Merah menolak dinikahi.
Dia memilih mati dengan bunuh diri. Selama menjadi raja, Joto Suro
mengangkat patih Ario Bendung.
Ario Bendung kemudian ditipu agar menyerang Mataram. Padahal itu
hanyalah akal-akalan Joto Suro untuk menikahi istri Ario Bendung. Namun
gagal, istri Ario Bendung menolak,lalu dibunuh Joto Suro. Mendengar
istrinya tewas, Ario Bendung mengamuk di Blambangan. Termasuk membunuh
Joto Suro dan seluruh rakyat Blambangan. Tanpa sebab yang jelas, Ari
Bendung akhirnya bunuh diri dan tewas di Mataram. Kepergian Ario Bendung
ke Mataram bertepatan munculnya banjir lahar yang melanda Blambangan.
Saat itu penduduk Blambangan hanya tinggal 10 orang. Lima bertahan di
Blambangan, sisanya memilih pindah ke Mataram. Konon, sejak itu
Blambangan menjadi hutan belantara. Seluruh bekas kerajaan yang
ditinggalkan hancur tertimbun lahar.
Kisah sejarah Blambangan versi Jawa tersebut dimentahkan seluruh
budayawan Banyuwangi. Minimnya bukti di lapangan makin menguatkan
pernyataan itu. Sampai kini, Blambangan tetap diyakini baru muncul
sekitar tahun 1700. Yakni, selama kepemimpinan Prabu Tawangalun dengan
kerajaannya di Desa Macanputih,Kabat,Banyuwangi.
Tawang Alun diyakini keturunan bangsawan Majapahit dari Jember,Jawa
Timur. Kemudian mendirikan kerajaan Macan Putih sebagai ibu kota
Blambangan. Sebelum menetap di Macan putih, Tawangalun memindahkan pusat
pemerintahannya sebanyak tiga kali. Pertama di daerah
Lateng,Rogojampi,lalu ke Bayu,Songgon dan terakhir di Macan Putih,
Kabat.
Keturunan Tawang Alun, Rempeg Jogopati yang berperang puputan melawan
Belanda juga diyakini masih memiliki ikatan darah dengan keraton
Mengwi, Badung. Dari sinilah nama Banyuwangi muncul setelah
menghilangnya Blambangan. Sejumlah sejarawan Banyuwangi mengatakan bukti
sejarah Blambangan cukup minim. Apalagi tidak ada satu pun prasasti
yang menyebutkannya. Selama ini, kesimpulan kerajaan ini didapat dengan
menganalisa dari berbagai sumber yang otentik.
Keyakinan ini didasarkan pada berbagai bukti catatan sejarah. Konon,
dari buku-buku sejarah yang ada di perpustakaan Leiden, Belanda, nama
Blambangan hanya disebut sejak pemerintahan Tawangalun. Nama Blambangan
sendiri pun juga simpang siur. Ada yang menyebut cikal bakalnya adalah
tirto arum. Ada juga dari kesusastraan kerajaan Kediri menyebut
Blambangan dengan Balamboangan. Artinya, daerah subur penghasil padi
terbesar selama pemerintahan Majapahit. Bukti ini bisa dikaitkan dengan
julukan Banyuwangi saat ini yang dikenal dengan lumbung padi nasional.
Penetepan hari jadi Banyuwangi 18 Desember 1771 juga didasarkan pada
sejarah perjuangan Tawangalun dan keturunannya melawan penjajah
Belanda. Banyaknya bukti sejarah bekas kerajaan Blambangan yang tersisa
diyakini tidak ada kaitannya dengan hikayat Damarwulan, Minak Jinggo
dan Blambangan.
Diperkirakan beberapa situs sejarah Blambangan yang diyakini
peninggalan Minak Jinggo justru bekas istana dari kerajaan Tawangalun.
Konon, pernah ada penelitian tentang hal itu. Tapi hasilnya nihil, tidak
ditemukan satu pun bukti yang mengaitkan dengan zaman Blambangan.
Berdasar bukti itulah Blambangan tetap diyakini tidak pernah ada dan
hanyalah sebuah hikayat.
Tinggal Puing, Jadi Tempat Semadi
Kebesaran Blambangan hanya tinggal cerita. Meski banyak ditemukan
situs dan bukti sejarah, riwayat kerajaan ini tetap misterius. Situs dan
petilasan Blambangan banyak ditemukan di Kecamatan Muncar,Banyuwangi.
Yang masih terlihat jelas bentuknya adalah situs Umpak songo dan
Setinggil di Desa Tembokrejo,Muncar.
Umpak songo adalah tumpukan batu berlubang mirip penyangga tiang
bangunan yang berjumlah sembilan. Umpak artinya tangga,songo berarti
sembilan. Situs ini ditemukan pertama kali sekitar tahun 1916 oleh Mbah
Nadi Gde,seorang warga dari Bantul, Yogyakarta.
Pertama ditemukan kondisinya sudah tertimbun tanah dan hutan
belantara. Begitu digali, ternyata mirip sebuah candi. Diyakini,umpak
songo dahulunya adalah balai pertemuan bagi raja Blambangan bersama
bawahannya. Tahun 1938, seorang Raja dari Solo,Jawa Tengah, Mangku Bumi
IX mengunjungi tempat itu. Kemudian, tempat ini diberi nama umpak songo.
Mangku Bumi sempat mengisahkan lokasi itu adalah bekas peninggalan
kerajaan Blambangan dengan rajanya Minak Jinggo.
Di sekitar umpak songo banyak ditemukan saksi sejarah kebesaran
Blambangan. Ada gumuk sepur, bukit yang memanjang. Konon ini adalah
benteng raksasa kerajaan Blambangan. Akibat kurangnya pemahaman
masyarakat, gumuk sepur dihancurkan dan digunakan lahan pertanian.
Tak jauh dari umpak songo, ada umpak lima. Konon, tempat ini adalah
ruangan semadi raja-raja Blambangan. Sayangnya, lokasi ini sudah musnah.
Warga meratakannya dengan tanah, lalu dibangun sebuah mushola. Warga
yang tinggal di sekitar situs umpak songo adalah keluarga besar.
Jumlahnya 20 KK,mereka adalah keturunan Mbah Nadi Gde. Saat ini hanya
tinggal umpak songo yang masih terlihat bentuknya. Itu pun kondisinya
sudah memprihatinkan. Sejumlah batu dan benda-benda sejarah lainnya
sudah hilang.
Meski sudah masuk cagar budaya, perhatian bagi umpak songo masih
cukup minim. Baru tahun 2008 lalu, Pemkab Banyuwangi membuat tembok
keliling di sekitar lokasi. Umpak songo juga masih berstatus lahan milik
pribadi. Bukti adanya bekas kerajaan cukup dirasakan warga di sekitar
umpak songo. Zaman dahulu,banyak warga menemukan benda-benda sejarah
ketika menggali tanah di sekitar lokasi. Seperti, genta kuningan dan
berbagai perabot terbuat dari keramik China. Ada juga pernah menemukan
arca dan berbagai benda bertuah lainnya. Di seekitar umpak songo
diyakini sebagai pusat kerajaan. Satu lagi bukti sejarah yang masih
terlihat adalah pohon pakis raksasa. Pohon ini tumbuh tepat di depan
situs umpak songo. Umur pohon ini diyakini sudah ratusan tahun.
Meski berstatus milik pribadi, situs umpak songo tetap dibuka untuk
umum. Kawasan ini menjadi jujukan warga untuk bersemadi sejak zaman
dahulu. Biasanya mereka datang pada malam Sabtu pahing. Kegiatannya,
menggelar ritual tirakatan atau semadi semalam suntuk. Mereka yang
datang kebanyakan meminta berkah atau ingin mendapatkan ilmu kejawen.
Puncak keramaian umpak songo adalah hari raya Kuningan. Umat Hindu
Bali selalu antre bersembahyang di tempat ini. Hari biasa pun sejumlah
pemedek dari Bali juga banyak mengalir. Situs umpak songo hanya berjarak
satu kilometer arah timur pura Agung Blambangan,Banyuwangi. Pura
terbesar di Banyuwangi ini pun erat kaitannya dengan kerajaan
Blambangan. Saat dibangun sekitar tahun 1960-an, ditemukan sumur gaib di
sekitar pura. Diyakini,sumur ini adalah bekas peninggalan Blambangan.
Selain umpak songo, ada situs Setinggil di Dusun
Kalimati,Muncar,sekitar empat kilometer arah timur umpak songo.
Lokasinya persis menghadap pantai. Setinggil berasal dari dua kata, siti
artinya tanah dan inggil berarti tinggi. Setinggil diartikan tanah yang
menjulang tinggi mirip sebuah bukti. Situs ini diyakini bekas menara
pengintai kerajaan Blambangan. Lokasinya yang berdekatan laut cukup
mudah mengawasi selat Bali yang digunakan berlayar kapal-kapal
perdagangan. Sampai kini, pelabuhan Muncar menjadi pelabuhan pendaratan
terbesar pendaratan ikan di Indonesia. Konon, sejak zaman dahulu
pelabuhan ini sudah ramai dan terkenal seperti sekarang.
Kondisi Setinggil juga memprihatinkan. Di sekitar lokasi sudah
diserbu perumahan warga yang penuh sesak. Yang tersisa hanya tanah
seluas 200m2 yang digunakan kantor Kepala Dusun Kalimati. Di dekatnya
dibangun sebuah balai kecil. Di tempat ini terdapat sebongkah batu
besar. Batu ini diyakini bekas tempat duduk raja Blambangan,Minak Jinggo
ketika melakukan pengintaian kapal-kapal di selat Bali yang akan
mendarat. Di atas batu besar ini terdapat bekas telapak kaki raja Minak
Jinggo yang digambarkan bertubuh besar dan sakti. Sayangnya, batu ini
sudah pecah dan bentuknya tidak beraturan lagi.
Setinggil juga dianggap sakral. Pada hari tertentu situs ini
digunakan semadi para pengikut aliran kejawen. Saat hari raya Kuningan,
umat Hindu Bali banyak yang sembahyang di tempat ini. Kesakralan
Setinggil memang cukup terasa. Ketika mengabadikan gambar balai
Setinggil, sempat terekam kamera sebuah bayangan putih. Bayangan mirip
kepala itu menggantung di dekat langit-langit balai. Kesakralan ini juga
dibenarkan juru kunci dan warga setempat. Mereka yang menjadi juru
kunci tidak boleh sembarangan orang. Hanya Kepala Dusun yang
diperbolehkan mengurus dan merawat lokasi tersebut. Kawasan ini juga
menjadi aset desa Tembokrejo.
Di sekitar Setinggil banyak juga ditemukan bekas peninggalan sejarah
Blambangan. Seperti gumuk Klinting. Di tempat ini warga banyak menemukan
genta terbuat dari tanah liat. Ada juga watu kereta yang berada di
tengah laut. Batu berbentuk mirip kereta ini diyakini bekas tempat
latihan perang tentara Blambangan. Lokasinya sekitar 4 kilometer dari
bibir pantai. Lokasi ini juga dikenal cukup sakral. Sayang,lokasinya
berada di tengah laut. Sehingga menyulitkan warga yang akan mengunjungi.
Kita harus menggunakan perahu sekitar 20 menit untuk mencapai tempat
ini.
Situs lainnya adalah Bale Kambang di Desa Blambangan,Muncar. Konon,
tempat ini adalah tempat pertemuan rahasia raja Blambangan. Kini, bale
kambang sudah tertimbun oleh pepohonan. Bentuknya menyerupai bukit yang
menjulang tinggi. Di sekitarnya terlihat jelas tanah mendatar mirip
bekas kolam. Menilik bahasanya, bale kambang diartikan sebagai balai
yang dibangun di atas air. Ada juga yang menyebut balai ini adalah
kaputren permaisuri raja Blambangan.
Di sekitar Bale kambang, terdapat sejumlah bukti sejarah yang
menguatkan adanya bekas kerajaan besar. Tak jauh dari bale, ada sebuah
tanah tinggi yang memanjang. Bentuknya mirip sebuah bukit berbaris.
Dipercaya, ini adalah tembok istana yang mengelilingi bale kambang.
Tempat ini terbuat dari tumpukan batu cadas berukuran besar. Zaman
dahulu kawasan ini banyak ditemukan tembok-tembok besar yang menjulang
tinggi. Selanjutnya daerah ini dikenal dengan nama Tembokrejo.
Selain tembok raksasa, banyak lagi situs di sekitar bale kambang.
Bentuknya menyerupai bukit dengan ditumpuki batu-batu alam. Sayangnya,
tak satu pun ada sumber kuat yang menyebutkan nama-nama tempat itu.
Kondisinya juga tak terawat. Disekitar tempat ini hanyalah hamparan
sawah yang luas.
Kendati tidak ada catatan sejarah, kebesaran Blambangan tetap
diyakini masyarakat Jawa di sekitar lokasi. Ini terlihat dari banyaknya
nama-nama Desa yang erat hubungannya dengan zaman keemasan Blambangan.
Tak jauh dari situs bale kambang ada desa Blambangan. Di sekitar situs
umpak songo ada desa Tembokrejo. Ada pula daerah Palu kuning yang
diyakini bekas hilangnya senjata gada besi kuning milik Minak Jinggo.
Juga ada bukit putri, bukit jadah dan sejumlah situs lain yang tidak
terawat. Bagi masyarakat Jawa, kebesaran Minak Jinggo tetap dikenang
dan diyakini pahlawan besar zaman Blambangan.
Mantap mas Jecko Satrio.. Saya jadikan referensi artikel saya dengan menyertakan link blog jeckosatrio.blogspot.com
BalasHapus------------------
Menyembuhkan Kencing Manis : www.sayasembuh.com
Cerita Rakyat Daerah Anda : www.facebook.com/
Mantap mas Jecko Satrio.. Saya jadikan referensi artikel saya dengan menyertakan link blog jeckosatrio.blogspot.com
BalasHapus------------------
Menyembuhkan Kencing Manis : www.sayasembuh.com
Cerita Rakyat Daerah Anda : www.facebook.com/
njeh pak dee nuhun sanget
Hapus