Herlina Koibur mengaku bersalah telah menerima tips Rp 3 juta dari
pembuatan speedboat di Kabupaten Supiori, Papua. Namun sebagai PNS
pemda, dia tidak terima mendapat hukuman 4 tahun penjara dan denda Rp
200 juta atas perbuatannya tersebut.
Herlina berdalih, masih banyak koruptor miliaran rupiah yang cuma dihukum dalam hitungan bulan. Mengapa ini bisa terjadi?
"Sebab hakim juga memperhatikan putusan-putusan yang dihasilkan para sejawatnya dalam kasus-kasus serupa. Artinya, hakim menjatuhkan hukuman ringan, karena memang itulah tren yang hakim perhatikan di ruang-ruang sidang lainnya," kata psikolog forensik, Reza Indragiri Amriel, kepada detikcom, Jumat (8/6/2012).
Tren yang terjadi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta memang tidak ada yang menghukum berat para koruptor dengan kerugian miliaran rupiah.
Seperti kasus Mindo Rosalina Manullang yang dibui 2,5 tahun karena kasus korupsi lebih dari Rp 9 miliar. Pengadilan yang sama memberikan hukuman yang sama besar bagi mantan Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Hari Sabarno, dalam kasus korupsi pengadaan mobil pemadam kebakaran (Damkar) tahun 2003-2004 sebesar Rp 97,026 miliar.
"Kecenderungan untuk menyeragamkan perilaku dengan sesama anggota kelompok adalah perwujudan sisi insani hakim, bukan hasil persekongkolan. Sebab keseragaman sikap dan perilaku merupakan salah satu ciri kelompok. Kelompok (korps hakim) akan terus eksis manakala para hakim masih terus mengikat diri mereka dalam ekspektasi keseragaman tersebut," ujar staf pengajar Universitas Bina Nusantara (Ubinus) Jakarta ini.
Hukuman 2,5 tahun juga diberikan Pengadilan Tipikor Jakarta bagi Nunun Nurbaeti. Belum lagi vonis 2 tahun 3 bulan bagi mantan Menteri Kesehatan Sujudi yang terseret kasus pengadaan alat kesehatan bernilai puluhan miliar rupiah.
"Membuat keputusan yang berbeda akan memunculkan perasaan tidak 'klik' dengan para sejawat, sehingga dapat berisiko buruk bagi perjalanan karier si hakim. Konsekuensinya, kemiripan dalam menentukan berat-ringannya hukuman perlu dilakukan oleh hakim, karena itulah yang membuatnya merasa tetap menjadi bagian dari korpsnya," tandas Reza
Herlina berdalih, masih banyak koruptor miliaran rupiah yang cuma dihukum dalam hitungan bulan. Mengapa ini bisa terjadi?
"Sebab hakim juga memperhatikan putusan-putusan yang dihasilkan para sejawatnya dalam kasus-kasus serupa. Artinya, hakim menjatuhkan hukuman ringan, karena memang itulah tren yang hakim perhatikan di ruang-ruang sidang lainnya," kata psikolog forensik, Reza Indragiri Amriel, kepada detikcom, Jumat (8/6/2012).
Tren yang terjadi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta memang tidak ada yang menghukum berat para koruptor dengan kerugian miliaran rupiah.
Seperti kasus Mindo Rosalina Manullang yang dibui 2,5 tahun karena kasus korupsi lebih dari Rp 9 miliar. Pengadilan yang sama memberikan hukuman yang sama besar bagi mantan Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Hari Sabarno, dalam kasus korupsi pengadaan mobil pemadam kebakaran (Damkar) tahun 2003-2004 sebesar Rp 97,026 miliar.
"Kecenderungan untuk menyeragamkan perilaku dengan sesama anggota kelompok adalah perwujudan sisi insani hakim, bukan hasil persekongkolan. Sebab keseragaman sikap dan perilaku merupakan salah satu ciri kelompok. Kelompok (korps hakim) akan terus eksis manakala para hakim masih terus mengikat diri mereka dalam ekspektasi keseragaman tersebut," ujar staf pengajar Universitas Bina Nusantara (Ubinus) Jakarta ini.
Hukuman 2,5 tahun juga diberikan Pengadilan Tipikor Jakarta bagi Nunun Nurbaeti. Belum lagi vonis 2 tahun 3 bulan bagi mantan Menteri Kesehatan Sujudi yang terseret kasus pengadaan alat kesehatan bernilai puluhan miliar rupiah.
"Membuat keputusan yang berbeda akan memunculkan perasaan tidak 'klik' dengan para sejawat, sehingga dapat berisiko buruk bagi perjalanan karier si hakim. Konsekuensinya, kemiripan dalam menentukan berat-ringannya hukuman perlu dilakukan oleh hakim, karena itulah yang membuatnya merasa tetap menjadi bagian dari korpsnya," tandas Reza
Tidak ada komentar:
Posting Komentar