YULI
Sugianto atau Yuli Sumpil. Demikian lajang kelahiran 14 Juli 1976 ini
biasa dipanggil rekan-rekannya sesama Aremania, pendukung fanatik Arema
Indonesia. Sumpil menunjukkan kampung tempat ia tinggal, yakni di Jalan
Sumpil Gang I, RT 3/RW 4 Kelurahan Purwantoro, Kecamatan Blimbing, Kota
Malang, Jawa Timur.
Pemuda
nyentrik dengan anting-anting di kedua kupingnya, topi yang tak lepas
dari kepala, dan mengenakan kaus Aremania itulah ciri khasnya. Ia selalu
semangat dalam membela klub berjuluk ‘Singo Edan’ itu.
Yuli
mengawali kiprah sebagai Aremania sudah cukup lama, sejak kelas 5 SD.
Ia selalu hadir di lapangan untuk mendukung klub kesayangannya waktu
masih berkiprah di Galatama.
Yuli
pun mengenang. Kendati tidak memiliki uang untuk membeli tiket, ia
tetap berusaha menonton pertandingan secara langsung di Stadion Gajayana
Kota Malang . Caranya, dengan ikut penonton dewasa yang bertiket agar
bisa masuk di stadion. Menonton pertandingan sepak bola seperti itu
dilakoninya hingga SMP.
Ketika
usianya beranjak remaja, Yuli semakin berani dan bersemangat. Ia sering
nekat meloncat truk agar sampai di kota tujuan tempat Arema berlaga.
Dari sinilah, bersama kawan-kawannya yang nekat, kemudian muncul istilah
‘bondo nekat’ (bonek).
Laki-laki
muda itu sudah menjadi suporter fanatik klub sepakbola Arema (Arek
Malang). Yuli Sugianto adalah salah satu suporter paling populer di
kalangan Aremania, sebutan bagi suporter Arema. Bersama suporter
Persebaya (Persatuan Sepakbola Surabaya) yang disebut Bonek (bondho
nekat/ modal nekat), Aremania terkenal sebagai suporter paling fanatik
dalam sejarah sepakbola Indonesia.
Yuli
berkisah sudah sejak anak-anak ia selalu berusaha melakukan apa saja
demi menonton pertandingan Arema. Semasa duduk di bangku Sekolah
Menengah Pertama (SMP) misalnya, jika tak ingin terlambat datang ke
stadion, ia harus membolos sekolah sore. Dan jika pertandingan
berlangsung di luar kota, itu berarti ia harus siap sejak pagi, bersiap
menunggu di pinggir jalan raya, dan siap melompat ke dalam bak truk atau
mobil angkutan barang lain untuk menuju kota tujuan.
Sekarang
Yuli adalah dirigen Aremania. Seorang dirigen, layaknya seorang
konduktor dalam pertunjukan orkestra, adalah orang yang memimpin para
suporter untuk menyanyi dan menari dalam sebuah pertandingan sepakbola.
Seorang dirigen menentukan lagu mana yang harus dinyanyikan dan gerakan
tubuh macam apa yang mesti dilakukan. Aremania punya dua dirigen. Selain
Yuli juga ada Yosep, yang biasa dipanggil Kepet.
Di
kalangan Aremania, dirigen dipilih dengan cara yang tidak terlalu
rumit. Tidak ada pemungutan sura yang berlangsung dengan ketat.
Seseorang dipilih menjadi dirigen karena penampilan fisiknya yang
menarik (ceria, nyentrik, dll.), kemampuannya berkomunikasi dengan
suporter lain, dan kemampuannya membangkitkan semangat suporter untuk
terus memotivasi tim yang didukungnya. Oleh sejumlah suporter seorang
dirigen ditunjuk dengan cara yang sulit dijelaskan, hampir kebetulan
saja, sebelum sebuah pertandingan sepakbola dimainkan. Tetapi begitu
seorang dirigen terpilih, jabatan itu akan disandangnya terus, tanpa
batas waktu yang jelas, sampai ia mengundurkan diri atau kehilangan
kemampuan untuk memimpin. Begitulah, tujuh tahun lalu dan Kepet terpilih
begitu saja sebagai dirigen Aremania. Dan hanya kepada mereka berdualah
30 ribuan Aremania mau tunduk. “Mungkin saya dipilih karena berambut
gondrong dan suka menari sambil memanjat pagar pembatas lapangan. Kalau
Kepet mungkin karena ia punya banyak teman. Ia kan tinggal dekat
stadion,” kata Yuli.
Di
Stadion Gajayana Malang, markas Arema, Yuli dan Kepet mesti berbagi
wilayah kekuasaan. Wilayah kekuasaan Yuli adalah tribun bagian timur,
tepat di bawah papan skor. Wilayah Kepet adalah tribun bagian selatan.
Sementara tribun VIP dibiarkan tanpa dirigen.
Pertandingan
sepakbola biasanya dimulai jam 4 sore, tetapi para suporter sudah
memadati stadion sejak 2 jam sebelumnya. Mereka memainkan genderang,
terompet, menyanyi, menari dan menyulut kembang api dan petasan. Sebelum
dirigen datang, atraksi-atraksi ini berlangsung sporadis, dalam
kelompok-kelompok kecil, dan tidak kompak. Tetapi begitu mereka melihat
kedatangan Yuli dan Kepet, secara otomatis semuanya akan bertepuk tangan
dan bertempik-sorak seperti menyambut kedatangan presiden mereka. Yuli
dan Kepet tersenyum, dan begitu mereka melambaikan tangan, ribuan
suporter ini menjadi lebih tenang. Semua musik, lagu, dan tarian
dihentikan. Yuli dan Kepet akan segera menaiki singgasana mereka, yaitu
pagar besi pembatas lapangan setinggi 2 meter. Mereka mulai menjalankan
tugasnya; sambil berdiri di atas pagar menghadap ke tribun penonton
mereka menggerakkan tangan dan kaki, memiringkan dan memutar tubuhnya ke
kiri, kanan, depan, dan belakang sebagai alat untuk memberi aba-aba.
Ribuan penonton menjadi kompak dan memainkan musik, menyanyi, dan
menari. Semuanya mengikuti aba-aba dan contoh gerakan yang dilakukan
Yuli dan Kepet.
Sepuluh
menit sebelum pertandingan dimulai, Yuli dan Kepet memberi aba-aba
berhenti. Kalau mereka sudah menaikkan tangan kanan ke atas, itu artinya
tarian akan berhenti dan para suporter akan segera menyanyikan lagu
Padamu Negeri.[1] Para pemain memasuki lapangan, wasit meniup peluit,
pertandingan segera dimulai, tarian dan lagu dimainkan kembali. Karena
atraksi-atraksinya yang menarik, Arema pernah memenangi penghargaan
suporter terbaik dari Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI).
Satu-satunya
kelompok suporter besar yang tetap tinggal “liar” adalah Aremania. Klub
dan Pemda tidak memberi bantuan dana atau berkeinginan membuat
organisasi formal untuk suporter. Para suporter tetap membuat
kelompoknya sendiri dengan keinginan mereka sendiri, kelompok-kelompok
ini mereka sebut dengan Korwil (Koordinator Wiyalah). Di Malang sekarang
ini sekurang-kurangnya ada 125 Korwil Aremania. Tiap Korwil punya
seorang ketua yang hanya bertugas mengumpulkan suporter di wilayahnya
menjelang Arema bertanding. “Tidak perlu organisasi-organisasian. Kalau
ada organisasi itu repot, nanti malah diatur-atur, disuruh begini,
disuruh begitu, bayar ini, bayar itu. Apalagi kalau sampai
dikait-kaitkan sama partai politik segala,” kata Ponidi—dikenal sebagai
Tembel—Ketua Korwil Stasiun. Meski tiap Korwil punya ciri khas sendiri,
yang ditandai dengan bendera, spanduk, seragam, dan dandanannya, komando
di stadion tetap ada di tangan dirigen. Hanya Yuli dan Kepet yang mampu
mengatur dan menenangkan merea. “Pengurus klub atau walikota sekalipun
tidak akan bisa ada artinya bagi suporter. Dia tak akan mampu mengatur
30 ribu orang. Tapi begitu Yuli atau Kepet yang ngomong, ya semuanya
manut,” jelas Tembel.
Yuli
adalah pemuda dari keluarga miskin yang tinggal di sebuah kampung di
bagian timur Malang. Sebelum menjadi dirigen Aremania, sejak lulus dari
sebuah Madarasah Aliyah, Yuli bekerja sebagai pencuci mikrolet—angkutan
umum dalam kota. Ia biasa bekerja dari jam 4 sore hingga jam 12 malam,
dari pekerjaannya, dalam sehari Yuli bisa memeroleh 10 ribu hingga 15
ribu rupiah.
Sejak
menjadi dirigen, Yuli praktis berhenti bekerja. Menurutnya pilihan ini
adalah saran orangtuanya yang tak tahan melihat Yuli menghabiskan hampir
semua waktunya untuk mengurusi sepakbola, sepakbola, dan sepakbola. Ia
kini menggantungkan hidupnya pada orangtuanya. Bapaknya, Asip, bekerja
sebagai tukang kayu panggilan. Semenntara ibunya, Juwariyah, mendapatkan
uang dengan menjual makanan rumahan bikinannya ke warung-warung di
sekitar kampungnya. Yuli mengatakan setiap hari mendapat uang saku
antara 500 hingga 2000 rupiah dari bapak atau ibunya. “Yul, ini ada
sedikit uang untuk beli rokok,” kata Yuli menirukan ibunya.
Dalam kiprahnya sebagai seorang dirigen, sempat membuat seorang insan perfilman untuk mengangkatnya dalam sebuah film, yaitu "The Conductor", film dokumenter karya Andi Bachtiar Yusuf.
The
Conductors berusaha untuk mengungkap sisi lain dari Addie MS (Twilite
Orchestra), AG Sudibyo (Paduan Suara Mahasiswa UI) dan Yuli “Sumpil”
(Aremania), menampilkan kiat dan semangat dari anak manusia yang sangat
mencintai profesinya tersebut. Film yang telah diputar pada ajang
Jakarta International Film Festival (JiFFest) 2007 lalu tersebut
merupakan karya dokumenter kedua pria yang lebih akrab dipanggil “Ucup”
setelah The Jak (2007). Dan setelah premiere di Jakarta, akan diputar di
Bandung, Malang, Semarang, Yogyakarta, Jember, Purwokerto, Pusan (Korea
Selatan).
“Cita-cita
saya, pagar besi pembatas tribun dengan lapangan nanti tidak perlu ada
lagi. Jadi kita menonton sepakbola dengan enak, tidak ada perkelahian,
tidak ada suporter yang mengganggu pemain. Saya juga ingin semua
golongan bisa bersatu di sini. Kaya atau miskin, laki-laki atau
perempuan, Cina atau bukan Cina, pejabat atau orang biasa, Islam atau
Kristen, di sini semuanya bisa sama,”
Jika
Liga sedang berjalan—yang berarti setiap minggu hampir selalu saja ada
pertandingan sepakbola—Yuli harus menyisihkan sedikit jatah uang
rokoknya agar bisa membeli tikat dan masuk stadion. Tetapi kalau kondisi
keuangan keluarganya yang benar-benar sulit, Yuli kadang terpaksa
menjual asesoris-asesoris suporternya untuk bisa membeli tiket. Tak
jarang ia harus merelakan kaus atau syal kesayangannya dengan harga 10
hingga 20 ribu rupiah. “Sebenarnya sedih juga, karena barang-barang itu
punya nilai sejarah bagi saya. Tapi saya akan lebih sedih lagi kalau
tidak bisa masuk ke stadion dan menjadi dirigen bagi teman-teman,”
katanya. Kadang-kadang Yuli juga membantu menjual tiket pertandingan.
Beberapa hari sebelum pertandingan Yuli akan mengambil tiket di Mess
Arema. Untuk tiap tiket seharga 10 ribu rupiah bisa dijualnya ia
mendapat bagian 10 persen atau seribu rupiah. Agar bisa nonton
pertandingan sekurang-kurangnya Yuli harus bisa menjual 10 tiket.
Seperti
kebanyakan pemuda kota yang tinggal di kampung padat dan miskin, Yuli
gemar sepakbola dan sering terlibat tawuran (perkelahian massal)
antarkampung. “Buat saya dulu tawuran adalah bagian dari sepakbola.
Sepakbola nggak ada tawuran seperti sepakbola banci,” kata Yuli. Ia
kemudian bercerita, beberapa tahun lalu—sebelum menjadi dirigen—bersama
30 temannya ia datang ke Jakarta untuk melihat Arema bertanding. Ia
berangkat dari rumah dengan sudah menyiapkan sebilah pedang. “Waktu itu,
ini perlengkapan standar,” katanya. Di Jakarta ia terlibat bentrokan
dengan kelompok Bonek di depan Stasiun Pasar Senen. Mula-mula hanya
saling melempar batu, tapi kemudian menjadi saling kejar, memukul dengan
potongan kayu atau besi, bahkan hingga sabetan pedang. “Yang saya
ingat, keesokan harinya saya baca di koran ternyata ada 3 orang Bonek
yang mati. Sementara kami semua selamat,” katanya.
Yuli
kini ingin melupakan masa lalunya. Di ruang tamu rumahnya yang sempit,
ia memasang fotonya ketika bersalaman dengan Ketua PSSI Agum Gumelar. Di
foto itu, Yuli—berambut gondrong dan berkaus Arema warna biru—tampak
tersenyum bangga. Katanya, “Saya diundang di acara pembukaan Liga
Indonesia dan dikirimi tiket pesawat untuk hadir mewakili suporter”.
Karena
tak bekerja, sehari-hari Yuli menghabiskan waktunya dengan nongkrong
sja. Saya ingat waktu bertemu dengannya pertama kali tiga tahun lalu, ia
tengah nongkrong di Salon Cimenk yang terletak beberapa ratus meter
saja dari rumahnya. Didik, pemilik salon ini, adalah teman Yuli sesama
Aremania. Untuk urusan dandanan Yuli mengaku memang sering dibantu
Didik. Sekali mencat rambut ia cuma akan membayar 10 atau 20 ribu. Tapi
Yuli lebih sering tak membayar, karena ia memang jarang punya cukup
uang. Suatu ketika karena merasa sungkan dan terlalu sering tidak
membayar, sebelum berangkat ke stadion Yuli pernah mencat saja rambut
gondrongnya dengan cat kayu, warna biru. Jelasnya, “Agar mudah
membersihkannya, saya lumuri dulu rambut saya dengan minyak goreng,
setelah itu baru saya cat. Saya ingin selalu bisa menarik perhatian di
lapangan.”[ad#kumpulblogger]
Yuli
punya cukup banyak koleksi asesoris Aremania. Yuli punya macam-macam
kaus Arema, dari kaus seperti yang dipakai para pemain—warna biru
putih—sampai kaus-kaus bergambar kepala singa, lambang Arema, yang
memang punya julukan sebagai tim Singo Edan (singa gila). Kebanyakan
kaus macam ini bertuliskan “Kera Ngalam” atau “Ongis Nade”. Keduanya
adalah bahasa slang Malang yang berarti “Arek Malang” dan “Singo Edan”.
“Saya
biasanya pakai kaus Arema, tapi bawahannya bisa ganti-ganti, yang
penting warna dan modelnya menyolok mata. Seorang teman suporter pernah
memberi saya pakaian Skotlandia,” kata Yuli . Sebentar kemudian ia
mengeluarkan lagi beberapa pakaian, dari yang berbahan kulit sintetis
hingga kain sarung dan kain perca. Hampir semua pakaian ini dirancang
sendiri oleh Yuli. Biasanya ia mendapat ide model-model pakaian baru
setelah menonton pertandingan sepakbola Liga Italia atau Inggris di
televisi.
Saya
membuka-buka koleksi foto Yuli. Ia memberikan penjelasan detil untuk
tiap foto yang saya lihat. Ketika saya sampai pada sebuh foto yang
memerlihatkan sepasang lelaki dan perempuan berbaju pengantin, sementara
di sekelilingnya adalah laki-laki dan perempuan yang semuanya berkaos
biru Arema, Yuli menjelaskan bahwa itu adalah acara pernikahan seorang
Aremania. Ia malah menceritakan tentang seorang Aremania lain yang naik
haji ke Mekkah dengan membawa syal dan bendera Arema.
Yuli
Sumpil, atraksimu dan kiprahmu sebagai dirigen bagi Aremania kala Arema
bertanding akan selalu dinanti. Dirimu sebagai dirigen bagai seorang
conductor dalam orkestra Aremania, orkestra yang menampilkan nyanyian,
atraksi dan tarian Aremania.
Yuli
Sumpil, dari sekian nyanyian seluruh Aremania yang kau pimpin selama
ini, kami masih sering mendengar nyanyian yang bernada Rasis. Kami juga
berharap dengan kepemimpinanmu di atas tribun akan bisa membawa nyanyian
yang lebih sering hanya untuk mendukung skuad Arema yang sedang
berjuang, dan tidak lebih sering menyanyikan tentang tetangga sebelah,
biarlah mereka tetap J*****k, karena biar kita tidak menyebut mereka
J*****k, mereka tetap J*****k juga. Oyi kan?
Biodata:
Biodata:
Nama lengkap : Yuli Sugianto
Nama lapangan: Yuli Sumpil
Tempat, tanggal lahir: Malang, 14 Juli 1976
Pendidikan: MA (SMA) Al-Amin Blimbing, Kota Malang
Ayah: Asip
Ibu: Djuariyah
Saudara: Anak ketujuh dari sembilan bersaudara
Keterlibatan di sepak bola:
- Menjadi suporter sejak kelas 5 SD
- Menjadi Dirijen Aremania sejak 1998-1999
Penghargaan :
- Terbaik film dokumenter The Conductors
- Mengantarkan Aremania menjadi The Best Supporter Piala Indonesia 2006
Nama lapangan: Yuli Sumpil
Tempat, tanggal lahir: Malang, 14 Juli 1976
Pendidikan: MA (SMA) Al-Amin Blimbing, Kota Malang
Ayah: Asip
Ibu: Djuariyah
Saudara: Anak ketujuh dari sembilan bersaudara
Keterlibatan di sepak bola:
- Menjadi suporter sejak kelas 5 SD
- Menjadi Dirijen Aremania sejak 1998-1999
Penghargaan :
- Terbaik film dokumenter The Conductors
- Mengantarkan Aremania menjadi The Best Supporter Piala Indonesia 2006
Tidak ada komentar:
Posting Komentar