Minggu, 27 Juni 2010

meriam si jagur "MANO IN FICA"


Sejarah mencatat bahwa meriam kuno yang disebut Si Jagur ini dibuat oleh MT Bocarro di Macao sebagai peralatan tempur. Kemudian diangkut ke Malaka untuk memperkuat benteng Portugis di Malaka. Ketika Malaka jatuh ke tangan VOC tahun 1641, meriam Si Jagur diangkut ke Batavia. Niatnya untuk memperkuat pertahanan Batavia dari ancaman musuh. Andaikata meriam Si Jagur itu manusia/prajurit tempur, pastilah dia sudah berpangkat jenderal. Sebab meriam ini diutamakan guna menghancurkan pertahanan musuh. Dan jatuh-bangun di medan perang dengan memuntahkan ratusan bahkan ribuan peluru yang dapat membumi hanguskan lawan.


Pada punggung belakang meriam ini tertera tulisan bahasa latin EX ME IPSA RENATA SUM yang terjemahan bebasnya adalah DARI DIRIKU SENDIRI AKU LAHIR KEMBALI. Atau bisa ditafsirkan juga bahwa meriam Si Jagur dilebur dari meriam-meriam kecil yang jumlahnya 16 buah. Terbuat dari logam besi berukuran panjang 380 cm. Panjang tangan di bagian belakang yang banyak menarik perhatian sekitar 41 cm. Lingkar tangan belakang 60 cm, diameter moncong meriam bagian depan 39 cm (bagian dalam) dan 50 cm (keluar) lingkar moncong meriam 158 cm, lingkar badan meriam terkecil 122 cm, lingkar badan meriam terbesar 206 cm, lebar badan meriam 100 cm. Berat meriam 7000 pound atau 3,5 ton. Nomor seri 27012.

LALU APA ARTI LAMBANG ANEH INI?

Kalo anak SD liat ini pasti bilang “iiiih Jorooook “, Ya maklum, Ada tanda aneh dibelakang meriam ini, inilah Meriam Si Jagur, Meriam Kapal Portugis yang dianggap Sakti mandraguna. Trus apa hubungannya sama cerita diatas tentang cari anak ? Ternyata, Meriam Si Jagur ini mengandung tanda-tanda MANO IN FICA, Lambang kesuburan laki-laki dan perempuan, dan itulah yang membuat orang-orang baheula minta anak sama Meriam ini.

MANO IN FICA menjadi kepercayaan orang Portugis yang menurun pada orang-orang kolonial di Batavia pada waktu itu, bahwa dengan meminta anak kepada Meriam ini, maka akan dikabulkan oleh siapa yang saya kurang tahu juga. Dan masih juga ada orang yang percaya persoalan MANO IN FICA ini, tetapi ya gak mungkin mereka melakukan ritual minta anak kepada meriam ini.

Warga Malaysia: Tirulah RI Hormat Bendera


Seorang warga Malaysia mengaku iri ketika pergi ke Bandung Jawa Barat. Dia melihat bagaimana orang Indonesia dengan hormat memperlakukan benderanya, Sang Saka Merah Putih.

Dalam laman New Straits Times, 24 Juni 2010, Norman Fernandez menuliskan curahan hatinya yang berjudul, 'Perlakukan Bendera Kita Lebih Baik'.

"Baru-baru ini aku mengunjungi Bandung, Indonesia. Di sana aku mengamati penjaga keamanan di hotel yang kutinggali, mengibarkan bendera Indonesia pagi gari,

Saat matahari terbenam, penjaga itu menurunkan benderanya -- tak membiarkan bendera itu menyentuh tanah, lalu melipatnya dan menyerahkannya ke resepsionis. Hal itu juga kerap dilakukan di gedung-gedung pemerintah.

Aku juga diberi tahun, bahwa anak sekolah di Indonesia diajarkan tak hanya soal arti dari warna bendera -- merah dan putih, tapi juga sejarahnya, protokol dan etika mengibarkan bendera.

Selama lima hari aku di Bandung, aku tak pernah melihat bendera Indonesia compang-camping dan pudar warnanya.

Di sini, di Malaysia, pernahkan Anda melihat petugas keamanan di gedung-gedung pemerintah mengibarkan bendera 'Jalur Gemilang' atau bendera negara bagian?

Jika lain kali Anda ke Johor Bahru, lihatlah bendera Malaysia dan bendera Johor Bahru yang pudar berkibar di tiang bendera.

Aku juga sering melihat anak-anak berpakaian dengan motif bendera, 'Jalur Gemilang' yang dibuat dari potongan bendera Malaysia. Atau penyanyi baru, Sudirman Arshad yang memakai baju seperti itu. Dapatkan kita menjahit bendera dan dijadikan baju?

Minggu lalu aku berkendara dari Johor Bahru ke Kulai. Saat melewati gedung-gedung pemerintah, aku melihat bendera yang compang-camping dan kotor.

Yang paling hina, menurutku, ada yang memakai bendera Johor untuk membungkus pepaya di pohon.

Untuk mengibarkan bendera, baik 'Jalur Gemilang' maupun bendera Johor, misalnya, sudah ada aturannya. Namun tak ada yang mengindahkannya.

Sudah saatnya pemerintah mendidik masyarakat soal etika dan protokol memperlakukan bendera, termasuk pada bendera yang telah usang.

Seorang teman pernah bercerita, dia membakar benddera yang Malaysia yang telah usang dan menaburkan abunya di Laut Lido. Apakah 'kremasi' adalah cara yang benar?

Hanya tinggal dua bulan lagi kita merayakan kemerdekaan, saatnya untuk memperlakukan bendera kita dengan baik. Ganti bendera yang usang itu dengan yang baru dan gagah."

Selasa, 22 Juni 2010

Isyarat Alam dalam Serat Centhini

Centhini adalah nama kumpulan serat-serat atau yang ditulis oleh sebuah tim, atas perintah Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Amangkunagara III. Penulisan kitab Centhini dimulai pada hari Sabtu Pahing 26 Sura 1742 Tahun Jawa atau 1814 Tahun Masehi. Apa saja isi serat tersebut?

Tim yang ditugaskan oleh Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Amangkunagara III, diantaranya Raden Ngabehi Yasadipura II (Raden Tumenggung Sastranagara, red), abdidalem bupati pujangga kadipaten, Raden Ngabehi Sastradipura, abdidalem Kliwon carik kadipaten, dan Pangeran Jungut Mandurareja, pradikan krajan Wangga, Klaten Surakarta.

Selain itu masih ada nama lain yang ditunjuk, yaitu Kyai Kasan Besari, ngulama agung ing Gebangtinatar, Panaraga, menantu Sinuhun Paku Buwana IV, Kyai Mohamad Minhad, ngulama agung ing Surakarta, dan diketuai oleh Ki Ngabei Ranggasutrasna, abdidalem kliwon carik kadipaten.

Yang menjadi acuan tim dalam menulis, menyusun serat-serat tersebut adalah serat “Suluk Jatiswara” yang ditulis pada masa pemerintahan Paku Buwono III tahun 1711 Jawa.

Sebenarnya kumpulan serat-serat tersebut diberi nama “Suluk Tambangraras” namun sosialisasinya lebih populer dengan sebutan serat Centhini. Nama Centhini diambil dari nama seseorang yang mengabdi kepada Niken Tambangraras istri Syeh Amongraga tokoh penting dalam serat tersebut.

Serat Centhini berisi berbagai macam pengetahuan, antara lain; kawruh agama, sastra, seks, situs, pawukon, primbon, keris, obat dan lain sebagainya. Karena isinya bermacam-macam, maka serat Centhini dianggap sebagai Ensiklopedi Kebudayaan Jawa.

Kepeduliannya untuk menggali kembali nilai-nilai yang terkandung dalam serat-serat warisan adiluhung, telah dilakukan oleh berbagai pihak, termasuk Yayasan Centhini yang telah melatinkan teks Centhini berbahasa Jawa dalam tembang macapat dan menerbitkannya sebanyak 12 jilid.

Bagi masyarakat yang berminat mengenal dan memahami isi Serat Centhini, dapat mengikuti sarasehan dan macapatan setiap Selasa Pahing atau malam Rabu Pon yang digelar oleh paguyuban pelestari budaya Jawa, di Rumah Budaya Tembi, Jogjakarta.

Dalam serat Centhini Jilid 1 Pupuh 22 dengan tembang Mijil, dikisahkan, ketika perjalanan Raden Jayengresmi bersama kedua abdinya, Gathak dan Gathuk sampai di Tuban, di hutan Bagor, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara meriam menggelegar bagaikan gempa.

Bersamaan dengan suara tersebut, munculah seorang putri cantik yang mengaku bernama Kangjeng Ratu Mas Trengganawulan. Menurut penuturannya, Kanjeng Ratu Mas Trengganawulan adalah putri Prabu Brawijaya, raja Majapahit terakhir.

Ketika Majapahit runtuh ia melarikkan diri dan sampai di hutan Bagor wilayah Tuban. Di hutan tersebut Trengganawulan mendapat perintah dari Hyang Widdhi untuk merajai para makhluk halus. Setiap hari Sukra Manis Trenggana Wulan muncul di sendang Sugihwaras, tempat ia mandi, untuk menemui seseorang yang sedang menjalani laku tirakat.

Dalam pertemuannya dengan Kangjeng Ratu Trengganawulan, Raden Jayengresmi, menyatakan keprihatinannya, karena hingga kini belum dapat menemukan kedua adiknya yang bernama Raden Jayengsari dan Niken Rangcangkapti.

“Jangan kecewa Raden, bersabarlah, akan tiba saatnya engkau bertemu dengan ke dua adikmu. Nanti sewaktu engkau menjalani hukuman dibuang ke laut, di Tunjungbang, engkau akan bertemu dengan ke dua adikmu.” (Jilid 1 Pupuh 22 Pada 12 & 13).

Isyarat Burung Dhandhang

Selain meramal bertemunya Raden Jayengresmi dengan kedua adiknya, Kangjeng Ratu Mas Trengganawulan menuturkan kaweruh alam kepada Raden Jayengresmi, kaweruh tersebut diantaranya:

Pertanda alam melalui suara Burung Dhandhang. Dhandhang adalah jenis burung, berwarna hitam, bentuknya mirip burung Gagak namun lebih kecil.

Jika burung Dhandhang bersuara, dari arah Timur ke Barat rumah, itu pertanda baik, akan ada tamu seorang pandhita atau orang luhur.

Jika burung Dhandhang bersuara dari arah Timur ke Selatan rumah, itu pertanda baik, apa yang dikerjakan akan mendapatkan hasil yang memuaskan.

Jika burung Dhandhang bersuara, dari arah Selatan rumah, itu pertanda baik, akan mendapat rejeki.

Jika burung Dhandhang bersuara, dari arah Selatan Barat rumah, itu pertanda jelek, akan ada pertengkaran merebutkan hal-hal sepele.

Jika burung Dhandhang bersuara, dari arah Barat rumah, itu pertanda baik, akan segera mendapat jodhoh.

Jika burung Dhandhang bersuara, dari arah Utara Barat rumah, itu pertanda jelek, akan menderita sakit dan kekecewaan yang mendalam.

Jika burung Dhandhang bersuara, dari arah Utara rumah, itu pertanda jelek, akan mendapat malu.

Jika burung Dhandhang bersuara, dari arah Utara Timur rumah, itu pertanda baik, akan kedatangan saudara jauh.

Jika burung Dhandhang bersuara, di atap rumah, itu pertanda jelek, akan ada anggota keluarga yang meninggal.

Isyarat Burung Prenjak

Masih dalam serat Centhini, pertanda alam bisa ditengarai berdasarkan suara burung Prenjak.

Jika ada dua burung Prenjak berkicau bersautan di arah Selatan rumah, itu pertanda baik, akan ada tamu bangsawan yang berkendak baik.

Jika ada burung Prenjak berkicau di arah Barat rumah, itu pertanda jelek, akan ada tamu yang mengajak bertengkar.

Jika ada burung Prenjak berkicau di arah Utara rumah, itu pertanda baik, akan ada tamu seorang guru memberi wangsit yang baik dan suci

Jika ada burung Prenjak berkicau di arah Timur rumah, itu pertanda jelek, akan ada kebakaran.

Jika ada burung Prenjak berkicau mengitari rumah, itu pertanda baik, akan mendapat rejeki yang khalal.

Setelah menjelaskan pertanda burung Dhandhang dan Burung Prenjak, Kangjeng Ratu Mas Trengganawulan menggarisbawahi, bahwa sebenarnya kawruh tersebut merupakan tinggalan jaman dahulu, benar salahnya diserahkan pada kehendak Hyang Widdhi.

Pada awalnya alam memang bersahabat dengan manusia, ketika manusia menghargai alam karena merasakan hidupnya tergantung kepada alam. Sehingga melalui alam ada tanda-tanda yang sangat berguna bagi kehidupan. Apa yang dituliskan dalam Kitab Centhini memberi gambaran hubungan yang harmonis antara manusia dan alam.

Namun apakah pertanda alam itu masih cocok jika diterapkan pada jaman sekarang. Tentunya tidak! Karena jaman sekarang, Kicau burung Prenjak yang merdu indah hanya memberi satu tanda, yaitu “uang.” Orang akan berebut menangkapnya untuk kemudian menjualnya. Demikian juga suara Burung Dhandhang yang semakin jarang, memberi pertanda bahwa ada yang sudah hilang dalam hidup ini, yaitu penghargaan akan hidup, penghargaan akan alam yang menghidupi

Rahasia Dua Belas Tahapan Kehidupan


Masyarakat Jawa percaya bahwa manusia akan mengalami 12 tahapan kehidupan. Tiap tahapan berlangsung satu tahun dengan naungan dewa masing-masing. Setelah 12 tahun, nasibnya akan kembali ke semula. Jadi siklus nasib manusia, menurut kepercayaan orang Jawa, berlangsung dalam 12 tahun.

Pada saat berumur satu tahun, seseorang dinaungi oleh Batara Surya. Mereka yang berada dalam naungan dewa ini termasuk juga orang-orang yang berusia 13, 25, 37, 49, 61, 73, 85, dan seterusnya (ditambah 12). Pada masa ini, mereka umumnya manja dan bergantung pada orang lain. Candranya Batara Surya adalah sunaring Bagaskara tumusing kalbu dengan kelinci sebagai lambang.

Karena itu, orang yang berada dalam naungan dewa ini hatinya selalu terang dan berani. Terang di hatinya membuatnya dapat ‘melihat’ yang akan terjadi atau dengan kata lain firasatnya cukup kuat. Kesehatannya selalu berhubungan dengan air dan sakit panas.

Seseorang yang menemukan jodoh pada usia dibawah naungan Batara Surya akan mendapatkan banyak anak, hidup tenteram dan tenang di rumah. Tapi Anda harus hati-hati karena akan banyak orang yang iri.

Ketika menginjak umur 2, 14, 26, 38, 50, 62, 74, 86, dan seterusnya (ditambah 12), seseorang berada dalam naungan Batara Brahma. Candra Batara Brahma yang kemratu ratu hewan pilihannya yang harimau membuat mereka yang berada dalam naungannya cenderung keras hati, angkuh dan ingin berkuasa.

Keinginan tersebut membuat kariernya cepat menanjak. Sayangnya seringkali ia tidak menyadari kalau sedang dimanfaatkan oleh atasannya. Setelah sadar, semuanya sudah terlambat dan hanya ada penyesalan. Karena itu pada usia ini Anda dianjurkan untuk tidak mudah percaya pada orang lain.

Kesehatan boleh dikatakan prima, tidak mudah terserang penyakit. Jika menemukan jodoh pada usia tersebut, akan selalu rukun sampai kakek nenek. Hal-hal yang membuat apes adalah terkena benda tajam seperti pisau, pedang, dan keris.

Tahun berikutnya, yaitu ketika seseorang berumur 3, 15, 27, 39, 51, 63, 75, 87 dan seterusnya (ditambah 12), ia berada dalam naungan Batari Durga.

Candranya dewa ini dugang mirowang dengan hewan perlambang kerbau. Mereka yang berada dalam naungannya umumnya menjadi mudah bingung dan tidak dapat berkonsentrasi.

Mereka umumnya kehilangan pegangan dan gairah hidup. Semua yang dikerjakannya hanya ikut-ikutan orang lain. Dengan demikian mereka manjadi mudah kena tipu. Jika ia seorang karyawan, posisinya dalam bahaya karena kairernya cenderung mandeg. Pendekatan pada Tuhan yang Maha Esa dan dukungan keluarga atau desakan kebutuhan bisa memperbaiki suasana.

Pada usia-usia ini, orang cenderung peka terhadap udara malam, air, serangan batuk, perut, dada dan kepala. Bertemu jodoh pada usia dibawah naungan Batari Durga haruslah hati-hati, karena hidup cenderung susah. Bahaya yang harus dihindari adalah terkena jerat, seperti jerat hutang dan kecelakaan.

Tapal Batas Kota Malang Kuno


Balai Penyelamatan Benda Purbakala Mpu Purwa Malang, beberapa waktu lalu telah mengekskavasi dua buah stambha dari Kelurahan Buring di Kota Malang. Temuan dari Zaman Majapahit ini diduga merupakan tapal batas wilayah Malang kuno.

Stambha atau batu tugu tersebut ditemukan di RT 2/RW 4 Kelurahan Buring, Kecamatan Kedungkandang. Saat ditemukan, kondisi sebuah stambha masih utuh dan sebuah stambha lainnya terpotong sebagian dan hanya menyisakan sekitar 50 cm bagian atasnya.

Kondisi stambha yang ditemukan di bagian bawahnya berbentuk segi empat dan di bagian atas bersegi delapan. "Hingga kini fungsi stambha ini belum jelas. Namun diperkirakan ini merupakan penanda wilayah atau kerajaan," tutur Suwardono-arkeolog bidang klasik yang turut membantu Balai Penyelamatan Benda Purbakala Mpu Purwa Malang, Kamis (14/1/10`0) di Malang.

Menurut Suwardono, stambha ini diperkirakan sebagai tugu tapal batas kerajaan atau kadipaten. Jika berdasar prasasti Wijayapranakramawardhana (Trenggalek), di daerah seputar Buring tersebut dahulunya merupakan bekas kerajaan Majapahit dengan ratunya Dyah Mahamahisi. Istananya berada di Kadipaten Kabalon atau yang sekarang dikenal sebagai Madyopuro. Jika berdasar Kitab Negarakertagama, dimungkinkan di sana juga bekas istana Kusumawardhani.

"Jika benar hal itu, maka tugu tersebut dimungkinkan merupakan tapal batas Kadipaten Kabalon. Ini bisa dihubungkan dengan sejarah Kota Malang kuno," ujar Suwardono.

Stambha tersebut ditemukan di wilayah selatan Madyopuro. Jika dihubungkan dengan.
prasasti dan kitab tersebut, sangat dimungkinkan bahwa batas Kadipaten Kabalon tersebut di sisi selatan ditandai dengan stambha yang ditemukan, di sisi barat dibatasi oleh Sungai Brantas, dan di sisi Timur dibatasi oleh Buring (penandanya alam), dan di sebelah utara mestinya ada lagi sebuah stambha.

Saat ini, stambha tersebut dirawat di halaman Balai Penyelamatan Benda Purbakala Mpu Purwa Malang. Benda bersejarah peninggalan agama Hindu ini beratnya mencapai 700 kg, tinggi 110 cm, lebar dasar segi empat selebar 35 cm, jari-jari stambha selebar 42 cm.Â

"Stambha seberat ini untuk mengangkatnya saja butuh enam orang. Sehingga memang saat ini dirawat di halaman museum, diberi semacam dasar (pedestal) dan dibersihkan secara rutin," ujar Sumantri, juru rawat arca di Balai Penyelamatan Benda Purbakala Mpu Purwa Malang.

Jika merujuk pada bentuk stambha di mana bagian bawah bersegi empat dan di bagian atas bersegi delapan, maka menurut Suwardono dipastikan berkaitan erat dengan kebudayaan Hindu.

Segi empat dan delapan itu menggambarkan astadigpalaka atau delapan dewa penjaga mata angin. Yaitu Dewa Wisnu (sisi utara), Dewa Iswara (timur), Dewa Brahma (selatan), dan Mahadewa (barat).

Selain itu juga menggambarkan penjagaan Dewa Sangkara (di sisi timur laut), Dewa Agni (di sisi tenggara), Dewa Bayu (di sisi barat daya), dan Dewa Baruna (di sisi barat laut).
sumber : kompas

Minggu, 20 Juni 2010

Pro-NKRI bias Tak Berarti ( kesaksian eks pengungsi Tmtim)

Kembali dari tugas dalam keadaan tidak bernyawa. Puluhan peluru bersarang di dada dan punggung. Tangan kiri dan kanan pun dalam kondisi terpotong.

Kenangan pahit 14 tahun silam itu tidak pernah terlupakan oleh Mama Olandina da Silva (52). Dia sama sekali tidak menyangka, suaminya, Sersan Kepala Manuel da Silva, bakal pulang dengan kondisi yang sungguh mengenaskan itu.

”Anak paling kecil sebelum ayahnya pergi tugas sempat peluk kaki, minta jangan pergi. Tetapi dijawab ini perintah, tugas,” kenang Olandina.

Cobaan berat tidak berhenti. Setahun kemudian, pascajajak pendapat tahun 1999, Olandina yang sudah menjanda dan membawa lima anak itu harus mengungsi ke Kabupaten Kupang. Dalam pengungsian itu, ia pun harus terpisah dengan sebagian besar anaknya. Tiga anaknya yang paling besar, yaitu Merlinda da Silva, Adelina Maria, dan Jean da Silva terpaksa ditinggal di Timtim, sedangkan dua yang paling kecil, Ester da Silva dan Monica da Silva dibawa bersamanya.

Dua tahun kemudian, dia dapat kabar bahwa anaknya yang nomor dua, Adelina, meninggal dunia karena sakit. Dalam kesedihan itu, Olandina tak bisa melayat anaknya itu karena tidak memiliki paspor.

Segudang cobaan berat itu ternyata belum juga berakhir. Meski sudah hampir 11 tahun mengungsi, negara ini pun ternyata tidak juga memberi perlindungan berupa kehidupan layak. Ditemani putri bungsunya, Monica (18), dia masih tinggal di gubuk penampungan pengungsi di Tuapukan, Kupang, yang kondisinya sangat memprihatinkan. Atapnya dari daun pohon lontar. Dindingnya tersusun dari pelepah pohon Gewang. Sekat-sekat rumah terbuat dari tempelan kardus bekas.

”Maaf ya, kita punya rumah seperti kandang babi saja,” kata Olandina spontan, saat Kompas ke rumahnya, pekan lalu.

Menurut Olandina, tahun 2009, pemerintah sudah menawarkan tempat bermukim baru di Desa Oebeolo. Namun, dia dan juga pengungsi lainnya tidak mau buru-buru pindah karena rumah yang disediakan pemerintah itu ternyata tidak jauh lebih baik, bahkan lebih buruk.

Dinding rumah itu terbuat dari batako atap pun terbuat dari seng. Namun, sepertinya rumah itu dibangun asal jadi. Belum ditempati saja sudah banyak rumah yang roboh. Perumahan itu juga tidak memiliki sumber air bersih. Jika hujan turun lebat, air langsung menggenangi rumah.

Dikejar pemilik tanah

Kekhawatiran Olandina dirasakan pula Anteru Sarmento (52). Selain kondisinya buruk, kini, dia terus dikejar-kejar tuan tanah untuk membayar tanah. Penyebabnya, pemerintah belum membayar tanah untuk permukiman pengungsi itu.

Tahun 2007, menurut Anteru, pemerintah sempat menjanjikan akan memberi dana bantuan jaminan hidup Rp 2,5 juta dan dana transisi Rp 5 juta per keluarga. Namun, dana-dana itu tak pernah mereka terima.

”Setiap bulan pemilik tanah datang minta bayar. Kita orang miskin mau bayar pakai apa?” keluhnya.

Anteru menegaskan bahwa mereka ini bukan selalu menggantungkan hidup kepada pemerintah. Mereka datang ke Kabupaten Kupang ini bukan karena kemauan sendiri, tetapi dipaksa keadaan. Saat tinggal di Vikeke, Timor Timur (sekarang Timor Leste), mereka memiliki tanah berhektar-hektar. Mereka juga berkebun dengan leluasa. Namun, itu semua harus mereka tinggalkan karena kondisi politik. Dia pun merasa sedih karena negara yang dia cintai dan perjuangkan selama ini tidak menunjukkan kepedulian.

”Kami kan datang ke sini karena korban politik dan PBB,” tegas Anteru dengan mata memerah dan berkaca.

Banyak yang dikorbankan Anteru untuk memperjuangkan negeri ini. Pria yang kini rambutnya memutih, tetapi masih menyisakan badan tegap itu, pernah menjadi Komandan Partisan yang membantu TNI melawan pemberontak di Timtim. Luka tembak di paha kirinya bukti pengabdian itu. Akibat luka tembak itu, dia juga bahkan cacat seumur hidup. Dia tidak bisa lagi berjalan normal. Dua tongkat selalu menemaninya ke mana pun hendak berjalan.

Banyak cerita sedih yang diutarakan para eks pengungsi Timor Timur. Cerita-cerita itu seakan menunjukkan bahwa negeri ini tidak memberi penghargaan berarti bagi warganya yang pro-Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Padahal, banyak pejabat di negeri ini selalu mendengung-dengungkan untuk selalu menjaga dan mempertahankan NKRI.

Ketoprak Tobong satu opini matinya Identitas bangsa

Di samping panggung yang berdiri di tengah Alun-alun Selatan, Yogyakarta, diletakkan dua karangan bunga dukacita. Pada karangan bunga itu tertulis: ”Turut Berduka Cita atas Bergugurannya Budaya Tradisional Bangsa Indonesia”.

Perkembangan teknologi terutama dalam bidang komunikasi dan informasi kemudian mempercepat proses tersebut, tidak hanya dari unsur jarak, waktu dan biaya, tetapi juga pola dan gaya hidup, trend. Informasi sebuah trend di satu tempat akan menyebar dengan sedemikian cepat ke tempat lain dalam waktu yang sangat singkat apalagi ketika trend tersebut kemudian dibarengi dengan motif-motif lain, biasanya ekonomi.
Di tengah semakin “menyatunya” dunia, lantas, apa yang kemudian membedakan seorang satu dengan lainnya? Apakah hanya dari nama? Apakah sebuah nama kemudian menunjukan identitas seseorang, atau sebuah bangsa secara utuh? Dari warna kulit? Dari status? Atau keyakinan? Sementara batasan-batasan tadi sudah menjadi semakin luntur, meski tidak habis sama sekali, lantas apa yang kemudian bisa menjadi identitas seorang individu? Atau sebuah bangsa? Ketika dunia sama sekali tidak memiliki batas-batas nyata, apa yang membuat kita dapat “pulang ke rumah” dan merasa di “rumah”? Jawabannya sederhana ; Sejarah dan Budaya!
Ketika batas-batas Negara kemudian hanya menjadi sebuah syarat administratif belaka, ketika ras dan warna kulit kemudian hanya sekedar sebuah keragaman, maka sejarah dan budaya sebuah bangsa atau seorang individu akan menjadi sebuah petunjuk bagi identitas diri dan bangsanya. Pertanyaan yang kemudian muncul, apabila ketika semua perbedaan sudah “dihilangkan” sama sekali, semua manusia hidup dalam sebuah payung yang sama, lantas apa perlunya kemudian kita menggali sejarah dan budaya? Sejujurnya sejarah menyatakan bahwa mimpi penyatuan hingga saat ini tidak pernah ada yang benar-benar berhasil, karena manusia adalah mahluk yang sangat unik masing-masingnya, pun ketika kita berbicara tentang kembar identik, lagi pula sejarah menyatakan; ide kita “dikontrol dan dikendalikan” untuk umat manusia tidak pernah menemui keberhasilan, setidaknya sampai dengan saat ini.
Karena setiap individu unik, maka manusia sangat memerlukan eksistensi-keberadaan, pengakuan, aktualisasi terhadap hidup dan kehidupannya, dirinya dan lingkungannya sesederhana apapun itu, sehingga kemudian munculah apa yang disebut sebagai kebudayaan. Saya tidak dapat membayangkan seorang manusia/individu atau sebuah bangsa yang tidak memiliki budaya, kalau itu yang terjadi, apa bedanya manusia dengan sebuah mesin cuci di rumah kita?
Kematian sebuah bangsa! Itulah yang akan terjadi ketika sebuah bangsa tidak lagi memiliki budaya, dan itu sedang terjadi di Negara yang kita cintai ini, Indonesia, sebuah negara warisan konsep Nusantara yang dibangun berabad silam ini sedang menemui titik nadirnya, dan itu terjadi di pusat warisan bangsa Nusantara yang dititipkan oleh para leluhur kita untuk Indonesia, Yogyakarta!
Sebagai sebuah benteng terakhir budaya bangsa, ketika legitimasi kekuasaannya “dirampas”, maka fungsi Yogyakarta, dalam hal ini Sultan sebagai pewaris Matahari Nusantara nampaknya tidak cukup ngeuh ketika legitimasinya perlahan-lahan tercerabut satu persatu, sisa legitimasi terakhirnya, yaitu budaya-pun nampaknya perlahan-lahan mulai hilang satu-persatu, entah itu karena digerogoti dengan sebuah teori konspirasi multinasional yang tidak mau bangsa ini bangkit, atau hanya karena sekedar Sultan sudah tidak “sadar” lagi, Sultan sudah meninggalkan rakyatnya sendiri, karena salah satu budaya yang “seharusnya” hidup di bawah naungan payung sang Sultan, kini sedang sekarat, dan memutuskan, daripada menunggu mati, lebih baik pamit mati untuk bertempur untuk yang terakhir kalinya. Ironisnya, “medan pertempuran” itu ada di halaman istana Sultan itu sendiri.
Budaya yang pamit mati itu adalah Ketoprak Tobong , minimnya perhatian, ditutupnya kesempatan-membuat ketoprak tobong Kelana Bakti Budaya, yang tinggal satu-satunya itu tidak dapat bernafas lagi, mirip cerita-cerita yang beredar di masyarakat tentang dinding dalam keputren di keraton, ketika sudah tidak cantik lagi, jangan harap berkah akan menghampiri. Ketika fungsi ketoprak tobong sudah tergantikan oleh kemajuan teknologi, maka ketoprak tobong pun tidak lagi didekati.
Ketoprak tobong, apapun itu, tidak hanya berfungsi sebagai sebuah pentas kesenian belaka, tidak hanya berfungsi sebagai alat propaganda semata, atau panggung boneka dengan kostum warna-warni. Ketoprak tobong sesungguhnya menyimpan dan menjadi bagian dari pembentuk DNA bangsa ini, layaknya jenis-jenis kebudayaan lain yang tersebar dari Sabang sampai Merauke, karena dari kebudayaan-kebudayaan tersebut kita dapat menggali banyak hal tentang karakter masyarakat pembentuknya, menelaah jaman pengembangannya, fungsinya, sampai kepada hal-hal kecil yang menjadi hiasannya, sehingga kita dapat merekonstruksi dan menerjemahkan unsur-unsur pembentuk jatidiri bangsa ini.


Kehilangan penonton

Ketoprak tobong masa kini memang tak bisa lagi hidup mandiri. Mereka sudah kehilangan penonton. Setiap kali pentas, jumlah penonton hanya puluhan, bahkan pernah hanya empat orang. Dengan tiket Rp 5.000 per orang, pendapatan dari tiket tidak pernah bisa menutup biaya operasional. Padahal, mereka harus menjamin hidup para pemain setiap harinya.

Risang mengatakan, Kelana Bhakti Budaya telah mencoba bertahan karena melihat semangat para pemain yang masih ingin menghidupi ketoprak. Namun, kini mereka sudah tak lagi sanggup terus bertahan. Mereka sudah sekarat sejak lama dan memutuskan pamit mati.

Para pemain pun sudah pasrah. Mereka mulai menyadari, era ketoprak tobong sudah lewat. Andai bisa memilih, antara bertahan atau mati, mereka sesungguhnya memilih bertahan. Apa pun kondisinya.

”Saya lahir di sini. Selama ini masih bisa hidup, saya akan tetap main ketoprak. Namun, kalau akhirnya harus mati, saya akan pulang ke Tulungagung. Mungkin saya hanya bisa melamun dalam waktu lama,” tutur Bandung Bondowoso (23), pemain yang lahir dalam ”ziarah” kelompok ini di Magetan.

Dalam dunia ketoprak tobong, nasib tragis Kelana Bhakti Budaya sesungguhnya bukan cerita baru. Di Yogyakarta, kelompok ketoprak tobong terakhir, yakni Sapta Mandala, bahkan sudah punah tahun 1994.

Bondan Nusantara, seniman Yogyakarta yang pernah jadi sutradara ketoprak tobong Sapta Mandala, menuturkan, era ketoprak tobong memang sudah lewat. ”Ketoprak tobong tidak mungkin lagi hidup di Yogya karena ongkos produksi dibanding pendapatan tak sepadan. Penonton sudah pergi,” ungkapnya.

Sajian ketoprak tobong sudah tak lagi sesuai selera masyarakat yang kian industrialistik. Pilihan jenis hiburan kian beragam. Jika mau bertahan, ketoprak tobong mesti berinovasi agar bisa menangkap selera masyarakat. Namun, diakui, itu tidaklah mudah.

Meski begitu, jeritan putus asa Kelana Bhakti Budaya tetap perlu didengarkan. Menurut Bondan, seni tradisi apa pun bentuknya tidak bisa dibiarkan bertempur sendirian melawan industrialisasi. Pemerintah harus turun tangan. Bukan untuk menyelamatkan seniman, melainkan menyelamatkan kesenian dan kebudayaan.

Bagi Kelana Bhakti Budaya, pentas pamit mati yang disusul dengan topo pepe itu dipersembahkan kepada raja dan warga Yogyakarta. Di depan mereka, satu lagi kelompok seni tradisi meregang nyawa. Tidak terdengar satu tangis pun untuknya.


Peninggalan Kebudayaan pada Zaman Purba


Dan zaman yang lampau telah diketahui berbagai hasil kebudayaan yang berupa benda-benda buatan manusia. sedangkan alam pikirannya masih tersembunyi atau tersimpul dalam benda-benda tersebut. Hanya apabila benda-benda itu bisa berbicara atau mempunyai keterangan tertulis. barulah dapat diketahui alam pikiran pendukung kebudayaan termaksud serta latar belakangnya

Adalah suatu kenyataan bahwa semakin dekat ke masa kini. semakin banyak jenis ragam dan jumlah benda-benda yang tinggal dan sampai kepada kita. Oleh sebab itu uraian di bawah ini akan ditekankan kepada benda peninggalan yang bercorak khusus untuk suatu masa. serta yang dianggap memiliki kekhususan apabila dibandingkan dengan benda-benda budaya di masa yang lain. Dengan demikian uraian tentang kebudayaan yang dihasilkan pada zaman purba ini lebih ditekankan sebagai sejarah kesenian.

Menurut ERR. Soekmono. zaman purba di Indonesia ditandai dengan berdirinya kerajaan-kerajaan baik di Pulau Jawa maupun di luar Pulau Jawa khususnya di Sumatera dan Kalimantan Timur. Diawali dengan Kerajaan Kutai di Kalimantan Timur yang diperkirakan berdiri tahun 400 Masehi. selanjutnya kerajaan- kerajaan lain di Pulau Jawa misalnya Purnawarman di Jawa Barat yang diperkirakan berdiri antara tahun 400-500 Masehi, berturut-turut tumbuh dan berkembang kerajaan lainnya dengan bebagai peradaban yang ditinggalkannnya kemudian.

Berdasarkan prasasti-prasasti yang ditemukan di berbagai tempat. diperoleh keterangan bahwa hasil kebudayaan yang ditinggalkan oleh kerajaan-kerajaan tersebut mempunyai warna dan corak yang berbeda. oleh karena masing-masing kerajaan menganut sistem kepercayaan yang berlainan. Meskipun demikian, menurut pakar arkeologi tersebut, religi yang umum dianut oleh sebagian besar masyarakat masa itu adalah Hindu dan Budha.

Dan sekian banyaknya peninggalan zaman purba, dan yang hingga kini dapat disaksikan keberadaannya antara lain candi. Bangunan yang merupakan peninggalan paling monumental tersebut terbuat dan batu dan sangat erat hubungannya dengan unsur keagamaan, sehingga bangunan ini bersifat suci. Perkataan candi itu sendiri, sebenarnya berawal dan salah satu nama untuk Durga sebagai Dewi Maut, yaitu Candika. Memang candi dimaksudkan untuk memuliakan orang yang telah wafat khususnya para raja dan orang-orang terkemuka. Adapun yang dikuburkan di situ bukan hanya jasad si mati, melainkan juga benda-benda seperti potongan berbagai jenis logam, batu-batu berharga, disertai saji-sajian. Benda-benda tersebut dinamakan pripih dan dipandang sebagai lambang zat-zat jasmaniah dan sang raja yang telah bersatu kembali dengan penitisnya.

Batu Tulis, Bogor, Jawa Barat, peninggalan Raja Punawarman
Setelah seorang raja meninggal dunia jenasah raja tersebut dibakar dan abunya dibuang ke laut. Kegiatan ini dilakukan dengan serangkaian upacara. Maksudnya adalah untuk menyempurnakan roh agar dapat bersatu kembali dengan dewa yang dahulu menitis dan menjelma di dalam diri sang raja tersebut. Selain mendirikan candi, biasanya dibuat pula patung raja sebagai bentuk perwujudan sang raja sebagai dewa.

Candi yang dipergunakan sebagai pemakaman hanya terdapat dalam agama Hindu, sedangkan candi-candi agama Budha di-maksudkan sebagai tempat pemujaan kepada dewa belaka. Bagi masyarakat penganut agama Budha, candi bukanlah tempat penyimpangan pripih. Raja yang telah wafatpun tidak dibuatkan patung dirinya. Abu jenasah para raja atau biksu yang wafat akan ditanam di sekitar candi dalam bangunan stupa.

Menurut kepercayaan dan alam pikiran masyarakat pada masa itu, candi merupakan tempat scmentara dan merupakan tiruan dan tempat dewa yang sebenarnya, yaitu Gunung Mahamcru. Qich karena itulah candi dihias dengan berbagai macam ukiran dan pahatan yang terdiri atas pola-pola yang disesuaikan dengan alam gunung tersebut; seperti bunga-bunga teratai, binatang--binatang ajaib, bidadari-bidadari, dewa-dewi dan sebagainya. Selain itu ditemukan juga ukiran daun-daunan dan sulur-sulur yang melingkar memenuhi bidang di antara hiasan-hiasan lainnya.

Berdasarkan tata letaknya, candi ada yang berdiri sendiri namun ada pula yang mengelompok dan terdiri atas sebuah candi induk. Susunan letak candi yang demikian rupanya sangat berkaitan dengan alam pikiran serta susunan masyarakatnya. Seperti halnya kelompok candi di bagian Selatan Jawa Tengah selalu disusun dengan candi induk berdiri di tengah dan candi-candi kecil lain di sekelilingnya. Di bagian Utara jawa Tengah, candi -candi itu berkelompok tak beraturan dan lebih merupakan gugusan candi yang masing-masing berdiri sendiri. Hal seperti ini mencerminkan adanya pemerintahan pusat yang kuat di Jawa Tengah Selatan dan pemerintah federalnya yang terdiri atas daerah-daerah swatara yang sederajat di Jawa Tengah Utara. Dengan demikian dapat dibayangkan bahwa pemerintahan keluarga Qailendra sifatnya feodal dengan raja sebagai pusatnya, sedangkan keluarga Sanjaya bersifat lebih demokratis.
Di Jawa Timur, sejak zaman Singhasari, susunan candinya berlainan pula. Candi induk terletak di bagian belakang halaman candi, sedangkan candi-candi perwaranya serta bangunan- bangunan yang lain ada di bagian depan. Candi induk adalah tersuci dan di dalam kelompok menduduki tempat yang tertinggi. Susunan yang demikian menggambarkan pemerintahan feodal yang terdiri atas negara-negara bagian yang memiliki otonomi penuh, sedangkan pemerintah pusat sebagai penguasa tertinggi berdiri di bagian belakang mempersatukan pemerintahan-pemerintahan daerah dalam rangka kesatuan.

Melihat aspek pengelompokkan candi di Indonesia, kiranya dapat dikategorikan menjadi tiga jenis yaitu jenis Jawa Tengah Utara, jenis Jawa Tengah Selatan, dan jenis Jawa Timur termasuk di dalamnya candi-candi yang terdapat di Bali, dan di Sumatera Tengah (Muara Takus) serta utara (Padanglawas). Pembagian ini sangat sesuai dengan pembagian sistem keagamaan yang mereka anut, yaitu agama Hindu (terutama Siwa), agama Budha (Mahayana) dan aliran Tantrayana (baik yang bersifat Siwa maupun Budha).

Dan berbagai candi yang ada, candi Loro Jonggrang merupakan pengecualian. Susunan candi ini sesuai dengan apa yang ada di Jawa Tcngah Sciatan akan tetapi sistcm keagamaan yang diwakilinya adalah agama Hindu. Penyebabnya adalah candi-candi tersebut bcrasal dan zaman setelah bersatunya keluarga Sanjaya dengan keluarga Cailendra.

Pada dasarnya yang membedakan antara jenis candi di Jawa Tcngah Utara dan Jawa Tengah Selatan adalah candi-candi Jawa Tengah litara bentuk dan hiasannya sangat sederhana, sedangkan candi-candi di Jawa Tengah Selatan lcbih mewah dan megah. Perbedaan kedua tipe candi tersebut juga sesuai dengan batas waktu dalam sejarah. Termasuk langgam Jawa Tengah ialah candi-candi yang berasal dan pra tahun 1000 masehi. Beberapa candi dan Jawa Timur yang digolongkan langgam/tipe Jawa Timur ialah candi-candi yang dibangun sejak abad ke-li (termasuk di dalamnya candi di Muara Takus dan Gunung Tua).
Bangunan lain yang dihasilkan pada zaman pra sejarah ialah gapura Meskipun letaknya tidak terpisah dan candi, akan tetapi gapura hanya berfungsi sebagai pintu untuk keluar masuk. Qich sebab itu. pada bagian tubuh gapura terdapat lubang pintu. Gapura demikian dapat dilihat pada Candi Jedong. Candi Plumbangan dan Candi Bajang Ratu.

Jcnis gapura kcdua ialah, yang bentuknya seperti bangunan candi yang dibclah dua. Maksudnya untuk memp~rmudah jalan keluar dan masuk. Contoh gapura semacam ini muncul dalam scni banguan Indonesia pada zaman Majapait. sebagaimana yang ditemukan pada relief-relief. Di bekas kota majapahit sendiri masih tegak berdiri Candi Wringin Lawang, yaitu sebuah candi bentar yang sangat besar. Demikian pula di kelompok candi Panataran terdapat candi bentar. Sayangnya kini telah roboh.

Seperti telah dijelaskan bahwa untuk raja yang wafat dan dipandang telah bersatu kembali dengan dewa panitisnya. akan dibuatkan sebuah patung. Patung tersebutlah yang akan menjadi arca induk di dalam candi. Biasanya pula, candi itu memuat/ menyimpan banyak patung dewa-dewa lainnya.

Oleh karena patung itu menggambarkan dewa-dewi, maka dapatlah dikatakan bahwa seni pahat patung pada zarnan itu sangat erat berkaitan dengan aspek keagamaan. Untuk membedakan kedudukan masing-masing dewa, dibuatlah tanda-tanda khusus yang disebut laksana atau ciri.

Bunga bangkai, Rafflesia arnoldii

Bunga bangkai atau suweg raksasa atau batang krebuit (nama lokal untuk fase vegetatif), Amorphophallus titanum Becc., merupakan tumbuhan dari suku talas-talasan (Araceae) endemik dari Sumatra, Indonesia, yang dikenal sebagai tumbuhan dengan bunga (majemuk) terbesar di dunia, meskipun catatan menyebutkan bahwa kerabatnya, A. gigas (juga endemik dari Sumatera) dapat menghasilkan bunga setinggi 5m.

Padma raksasa (Rafflesia arnoldii) merupakan Tumbuhan parasit obligat yang terkenal karena memiliki bunga berukuran sangat besar, bahkan merupakan bunga terbesar di dunia. Ia tumbuh di jaringan tumbuhan merambat (liana) Tetrastigma dan tidak memiliki daun sehingga tidak mampu berfotosontesis. Tumbuhan ini endemik di Pulau Sumatera, terutama bagian selatan (Bengkulu, jambi dan sumatra selatan). Taman nasional kerinci seblat merupakan daerah konservasi utama spesies ini. Jenis ini, bersama-sama dengan anggota genus Rafflesia yang lainnya, terancam statusnya akibat penggundulan hutan yang dahsyat. Di Pulau Jawa tumbuh hanya satu jenis patma parasit, Rafflesia patma.

Bunga merupakan parasit tidak berakar, tidak berdaun, dan tidak bertangkai. Diameter bunga ketika sedang mekar bisa mencapai 1 meter dengan berat sekitar 11 kilogram. Bunga menghisap unsur anorganik dan organik dari tanaman inang Tetrastigma. Satu-satunya bagian yang bisa disebut sebagai “tanaman” adalah jaringan yang tumbuh di tumbuhan merambat Tetrastigma. Bunga mempunyai lima daun mahkota yang mengelilingi bagian yang terlihat seperti mulut gentong. Di dasar bunga terdapat bagian seperti piringan berduri, berisi benang sari atau putik bergantung pada jenis kelamin bunga, jantan atau betina. Hewan penyerbuk adalah lalat yang tertarik dengan bau busuk yang dikeluarkan bunga. Bunga hanya berumur sekitar satu minggu (5-7 hari) dan setelah itu layu dan mati. Presentase pembuahan sangat kecil, karena bunga jantan dan bunga betina sangat jarang bisa mekar bersamaan dalam satu minggu, itu pun kalau ada lalat yang datang membuahi.

Namanya berasal dari bunganya yang mengeluarkan bau seperti bangkai yang membusuk, yang dimaksudkan sebenarnya untuk mengundang kumbang dan lalat penyerbuk bagi bunganya. Bunga bangkai juga sering digunakan sebagai julukan bagi patma raksasa Rafflesia arnoldii. Di alam tumbuhan ini hidup di daerah hutan hujan basah. Bunga bangkai adalah bunga resmi bagi Provinsi Bengkulu.

Tumbuhan ini memiliki dua fase dalam kehidupannya yang muncul secara bergantian, fase vegetatif dan fase generatif. Pada fase vegetatif muncul daun dan batang semunya. Tingginya dapat mencapai 6m. Setelah beberapa waktu (tahun), organ vegetatif ini layu dan ombinya dorman. Apabila cadangan makanan di umbi mencukupi dan lingkungan mendukung, bunga majemuknya akan muncul. Apabila cadangan makanan kurang tumbuh kembali daunnya.

Bunganya sangat besar dan tinggi, berbentuk seperti lingga (sebenarnya adalah tongkol atau spadix) yang dikelilingi oleh seludang bunga yang juga berukuran besar. Bunganya berumah satu dan protogini: bunga betina reseptif terlebih dahulu, lalu diikuti masaknya bunga jantan, sebagai mekanisme untuk mencegah penyerbukan sendiri. Hingga tahun 2005, rekor bunga tertinggi di penangkaran dipegang oleh Kebun Raya Bonn, jerman yang menghasilkan bunga setinggi 2,74m pada tahun 2003. Pada tanggal 20 Oktober 2005, mekar bunga dengan ketinggian 2,91m di Kebun Botani dan Hewan Wilhelma, stuttgart, juga di Jerman. Namun demikian, kebon raya cibodas, Indonesia mengklaim bahwa bunga yang mekar di sana mencapai ketinggian 3,17m pada dini hari tanggal 11 Maret 2004. Bunga mekar untuk waktu sekitar seminggu, kemudian layu. Apabila pembuahan terjadi, akan terbentuk buah-buah berwarna merah dengan biji di pada bagian bekas pangkal bunga. biji-biji ini dapat ditanam. Setelah bunga masak, seluruh bagian generatif layu. Pada saat itu umbi mengempis dan dorman. Apabila mendapat cukup air, akan tumbuh tunas daun dan dimulailah fase vegetatif kembali.karena keunikan bunga ini, bunga ini sering diperjual belikan oleh manusia, itulah faktor utama bunga ini langka.

Mengapa bau busuk

DENGAN tinggi hingga 3 meter dan memancarkan bau busuk yang menyengat, bunga bangkai cukup menarik perhatian makhluk lain tertutama serangga yang akan membantu penyerbukannya. Namun, apa yang membuat bunga tertinggi di dunia itu melakukan taktik tersebut menjadi rahasia alam yang mengesankan.”Kami penasaran mengapa sesekali bunga tersebut berbau busuk seperti keledai busuk dan di waktu lainnya lebih busuk,” ujar Wilhelm Barthlott dari Universitas Bonn, Jerman. Ia yakin ada ritme produksi bau busuk yang dilepas bunga bangkai.

Untuk membuktikan dugaan siklus bau tersebut, Barthlott dan timnya merekam masa pertumbuhan bunga tersebut menggunakan kamera inframerah. Dengan merekam perubahan suhunya dari waktu ke waktu, mereka terkejut karena bagian phallus atau batang yang tegak di tengah memancarkan panas yang sangat tinggi.

Dalam investigasi tersebut, mereka telah merekam tiga kali pertumbuhan bunga bangkai. Seluruhnya mempewrlihatkan aliran panas dari batang ke ujung paling atas hingga 36 derajat Celcius dan mengepulkan uap.”Kami melihat uap mengepul di sekitar kolom bunga di tengah. Kami pikir tumbuhan tersebut menyala,” ujar Barthlott. Radiasi panas yang dikeluarkannya naik turun seiring perubahan baunya. Aliran panas dimanfaatkan untuk memompa bau busuk ke udara.

Panas dan bau busuk mungkin cara alami bunga bangkai meniru bangkai binatang untuk menarik perhatian kumbang dan lalat. Namun, siklus bau tentu memiliki fungsi alami yang lebih dari sekadar menarik perhatian.

Bunga bangkai yang biasa disebut titan arum atau dalam bahas ilmiah Amorpophallus titanum yang berarti ‘penis raksasa yang bentuknya tak karuan’ banyak tumbuh di ruang terbuka lantai hutan di Sumatera. Dengan habitat seperti itu, bunga bangkai kesulitan menyebarkan baunya terutama pada malam hari saat terbentuk lapisan udara dingin di dekat permukaan tanah.

Dengan tumbuh begitu tinggi dan memancarkan uap, bunga tersebut dapat mengatasi hambatan tersebut. Uap hangat akan naik ke atas dan dapat menyebar lebih luas dan lebih jauh.”Ini menjelaskan mengapa bunga tersebut sangat besar. Ibaratnya sebuah obor di hutan belantara yang memancarkan bau ke atas,” jelas Barthlott. Kebutuhan energi yang besar untuk tumbuh raksasa dan menghasilkan panas ini pula yang menjelaskan mengapa bunga bangkai hanya bertahan selama dua malam.

Bunga bangkai sekarang telah tersebar di berbagai tempat di penjuru dunia, terutama dimiliki oleh kebun botani atau penangkar-penangkar spesialis. Di Amerika, bunga yang muncul seringkali diberi julukan atau nama tertentu dan selalu menarik perhatian banyak pengunjung. Uniknya banyak pengunjung datang untuk “menikmati bau”nya.

Penyakit Spiritual yang Menular

Yang umum diketahui orang penyakit
menular adalah yang disebabkan infeksi virus, bakteri atau mikroorganisme lainnya. Tapi tanpa disadari ada juga penyakit spiritual yang bisa menular satu sama lain. Ini dia 3 penyakit spiritual yang bisa menular.

Seperti dikutip dari HuffingtonPost, Minggu (20/6/2010) terdapat penyakit yang bisa disadari sebagai penyakit spiritual menular yang umum, yaitu:

Spiritual imitasi
Kondisi ini adalah kecenderungan untuk berbicara, berpakaian dan berindak seperti yang dibayangkan orang tersebut terhadap spiritual seseorang. Jadi orang dengan kondisi ini hanya berusaha mengikuti orang lain saja.

Karena pengalaman spiritual
Pada penyakit ini, ego seseorang diidentifikasi berdasarkan pengalaman rohani yang dialaminya. Kondisi ini terkadang bisa mempengaruhi pemikiran orang lain. Dalam kebanyakan kasus kondisi ini tidak berlangsung selamanya, tapi terkadang berlangsung dalam jangka waktu yang panjang.

Ego spiritual
Penyakit ini terjadi ketika struktur dan ego kepribadian seseorang menjadi sangat tertanam dengan konsep spiritual mendalam. Ketika ego menjadi spiritual, maka seseorang menjadi tidak bisa dipahami dan semua ini atas nama spiritualitas.

Penyakit spiritual menular ini berasal dari ego seseorang dan merupakan suatu kondisi yang menipu dirinya sendiri. Karena sebagian besar kondisi ini tidak berasal dari dirinya tapi akibat pengaruh dari orang atau lingkungan di sekitarnya.

Air Rasa Asin, Manis & Bersoda Sumber Air Tiga Rasa Diyakini Mampu Sembuhkan Penyakit

Keberadaan sumber air tiga rasa asin, manis dan bersoda ini muncul 3 bulan lalu. Saat itu sekelompok tani yakni Tani Jaya Desa Lembah mendapatkan bantuan proyek sumur P2T dari Pemkab Madiun.

Saat pengeboran sekitar 125 meter dengan ukuran pipa 3 dim air, tiba-tiba langsung menyembur air yang mengalir tanpa menggunakan mesin penyedot.

"Saat sumurnya dibor sekitar 125 meter, tiba-tiba langsung menyembur air tanpa ada mesin pompa penyedot. Airnya juga hangat buat mandi. Bahkan air ini tak hanya menyembuhkan penyakit kulit, warga yang mengalami stroke juga sembuh," ungkap Kepala Desa Lembah

Tasir mengaku setelah menyembur air tiga rasa, sekelompok tani itu akhirnya menyalurkan air ke sawah untuk irigasi. Namun setelah dibuatkan rumah pompa dan mengalir, diketahui air tersebut hangat. Ternyata hangatnya air ini membuat warga penasaran dan akhirnya dibuat mandi.

Rupanya, kata Tasir, saat warga mencoba mandi ada khasiat sendiri bagi orang yang memiliki penyakit kulit. Mengetahui hal tersebut, pihak kelompok tani membuatkan kolam renang mini ukuran 24 x 14 meter terdiri 2 skat dengan kedalaman 1 meter. Tempat itu dibangun dengan biaya warga yang memberi sumbangan seikhlasnya dari kotak yang disediakan.

Kini sumber air tiga rasa tersebut didatangi sekitar 400 hingga 500 pengunjung setiap hari. Sedangkan saat hari libur Sabtu dan Minggu pengunjung mencapai lebih dari 1.000 orang.

"Kalau hari biasa ada 500-an pengunjung dan bila hari libur bisa mencapai 1.000 lebih sehari," tuturnya.
Mereka yang datang ke lokasi ada yang dari Jawa Timur atau Jawa Tengah. Salah satu warga yang mengaku mengalami gatal-gatal yakni Agus (40) asal Ponorogo. Dia mengaku gatal-gatal di kulitnya agak membaik setelah 2 kali mandi.

"Saya sudah 2 kali ke sini untuk mandi. Sejak pertama kali mandi 2 minggu lalu sudah ada reaksi dari air hangat 3 rasa ini," jelas Agus.

Agus menambahkan, dirinya sudah berobat kemana-mana namun gatal-gatal di kulitnya tak kunjung. Namun setelah mandi, ada perkembangan baik di kulitnya.

Hal senada juga diungkapkan oleh Sri (40) warga Ponorogo. Dirinya datang bersama rombongan menggunakan pick up. Menurut Sri, suaminya sedang maag dan gatal-gatal. Menurut Sri, suaminya cukup berkumur dan mandi dengan air yang dibawanya.

"Ini nanti buat suami saya yang sering kambuh sakit maagnya. Semoga sembuh kalau berkumur atau mandi di sini," jelas Sri sambil memasukkan air melalui botol dan dan jerigen.

Sabtu, 19 Juni 2010

gimana caranya ngilangin cegukan?


Cegukan sebenarnya adalah gangguan otot diafragma kalo gak salah, apapun itu saya pake cara ini..

  1. Duduk bersila dan luruskan badan, kemudian tarik nafas dalam-dalam. Usahakan selama mungkin menahan nafas, lalu keluarkan melalui hidung sedikit demi sedikit. Ulangi 3-4 kali..
  2. dengan cara di kageti
  3. dengan di takuti
  4. minum air
  5. menahan nafas tapi jangan terlalu lama yang ke lima adalah berbaring

menurut pengalaman saya, klo sedang cegukan jika sudah minum tp cegukan masih ada yakni dengan menahan nafas beberapa saat lalu minum air setelah itu berbaring...... Insya allah dalam beberapa menit cegukanmu akan hilang

Jumat, 18 Juni 2010

Pamungkas dari ramalan Joyoboyo


Dalam bait-bait terakhir ramalan Joyoboyo digambarkan suasana negara yang kacau penuh carut marut serta terjadi kerusakan moral yang luar biasa. Namun dengan adanya fenomena tersebut kemudian digambarkan munculnya seseorang yang arif dan bijaksana yang mampu mengatasi keadaan. Berikut adalah cuplikan bait-bait tersebut yang menggambarkan ciri-ciri atau karakter seseorang itu :

159.
selet-selete yen mbesuk ngancik tutuping tahun sinungkalan dewa wolu, ngasta manggalaning ratu; bakal ana dewa ngejawantah; apengawak manungsa; apasurya padha bethara Kresna; awatak Baladewa; agegaman trisula wedha; jinejer wolak-waliking zaman; …
(selambat-lambatnya kelak menjelang tutup tahun (akhir Kalabendu, menjelang Kalasuba); akan ada dewa tampil; berbadan manusia; berparas seperti Batara Kresna; berwatak seperti Baladewa; bersenjata trisula wedha; tanda datangnya perubahan zaman; …)

160.
…; iku tandane putra Bethara Indra wus katon; tumeka ing arcapada ambebantu wong Jawa
(…; itulah tanda putra Batara Indra sudah nampak; datang di bumi untuk membantu orang Jawa)

162.
…; bala prewangan makhluk halus padha baris, pada rebut benere garis; tan kasat mata, tan arupa; sing madhegani putrane Bethara Indra; agegaman trisula wedha; momongane padha dadi nayaka perang perange tanpa bala; sakti mandraguna tanpa aji-aji
(…; pasukan makhluk halus sama-sama berbaris, berebut garis yang benar tak kelihatan, tak berbentuk; yang memimpin adalah putra Batara Indra, bersenjatakan trisula wedha; para asuhannya menjadi perwira perang; jika berperang tanpa pasukan; sakti mandraguna tanpa azimat)

163.
apeparap pangeraning prang; tan pokro anggoning nyandhang; ning iya bisa nyembadani ruwet rentenging wong sakpirang-pirang; …
(bergelar pangeran perang; kelihatan berpakaian kurang pantas; namun dapat mengatasi keruwetan banyak orang; …)

164.
…; mumpuni sakabehing laku; nugel tanah Jawa kaping pindho; ngerahake jin setan; kumara prewangan, para lelembut ke bawah perintah saeko proyo kinen ambantu manungso Jawa padha asesanti trisula weda; landhepe triniji suci; bener, jejeg, jujur; kadherekake Sabdopalon lan Noyogenggong
(…; menguasai seluruh ajaran (ngelmu); memotong tanah Jawa kedua kali; mengerahkan jin dan setan; seluruh makhluk halus berada dibawah perintahnya bersatu padu membantu manusia Jawa berpedoman pada trisula weda; tajamnya tritunggal nan suci; benar, lurus, jujur; didampingi Sabdopalon dan Noyogenggong)

166.
idune idu geni; sabdane malati; sing mbregendhul mesti mati; ora tuwo, enom padha dene bayi; wong ora ndayani nyuwun apa bae mesthi sembada; garis sabda ora gentalan dina; beja-bejane sing yakin lan tuhu setya sabdanira; tan karsa sinuyudan wong sak tanah Jawa; nanging inung pilih-pilih sapa
(ludahnya ludah api, sabdanya sakti (terbukti), yang membantah pasti mati; orang tua, muda maupun bayi; orang yang tidak berdaya minta apa saja pasti terpenuhi; garis sabdanya tidak akan lama; beruntunglah bagi yang yakin dan percaya serta menaati sabdanya; tidak mau dihormati orang se tanah Jawa; tetapi hanya memilih beberapa saja)

167.
waskita pindha dewa; bisa nyumurupi lahire mbahira, buyutira, canggahira; pindha lahir bareng sadina; ora bisa diapusi marga bisa maca ati; wasis, wegig, waskita; ngerti sakdurunge winarah; bisa pirsa mbah-mbahira; angawuningani jantraning zaman Jawa; ngerti garise siji-sijining umat; Tan kewran sasuruping zaman
(pandai meramal seperti dewa; dapat mengetahui lahirnya kakek, buyut dan canggah anda; seolah-olah lahir di waktu yang sama; tidak bisa ditipu karena dapat membaca isi hati; bijak, cermat dan sakti; mengerti sebelum sesuatu terjadi; mengetahui leluhur anda; memahami putaran roda zaman Jawa; mengerti garis hidup setiap umat; tidak khawatir tertelan zaman)

168.
mula den upadinen sinatriya iku; wus tan abapa, tan bibi, lola; awus aputus weda Jawa; mung angandelake trisula; landheping trisula pucuk; gegawe pati utawa utang nyawa; sing tengah sirik gawe kapitunaning liyan; sing pinggir-pinggir tolak colong njupuk winanda
(oleh sebab itu carilah satria itu; yatim piatu, tak bersanak saudara; sudah lulus weda Jawa; hanya berpedoman trisula; ujung trisulanya sangat tajam; membawa maut atau utang nyawa; yang tengah pantang berbuat merugikan orang lain; yang di kiri dan kanan menolak pencurian dan kejahatan)

170.
ing ngarsa Begawan; dudu pandhita sinebut pandhita; dudu dewa sinebut dewa; kaya dene manungsa; …
(di hadapan Begawan; bukan pendeta disebut pendeta; bukan dewa disebut dewa; namun manusia biasa; …)

171.
aja gumun, aja ngungun; hiya iku putrane Bethara Indra; kang pambayun tur isih kuwasa nundhung setan; tumurune tirta brajamusti pisah kaya ngundhuh; hiya siji iki kang bisa paring pituduh marang jarwane jangka kalaningsun; tan kena den apusi; marga bisa manjing jroning ati; ana manungso kaiden ketemu; uga ana jalma sing durung mangsane; aja sirik aja gela; iku dudu wektunira; nganggo simbol ratu tanpa makutha; mula sing menangi enggala den leluri; aja kongsi zaman kendhata madhepa den marikelu; beja-bejane anak putu
(jangan heran, jangan bingung; itulah putranya Batara Indra; yang sulung dan masih kuasa mengusir setan; turunnya air brajamusti pecah memercik; hanya satu ini yang dapat memberi petunjuk tentang arti dan makna ramalan saya; tidak bisa ditipu; karena dapat masuk ke dalam hati; ada manusia yang bisa bertemu; tapi ada manusia yang belum saatnya; jangan iri dan kecewa; itu bukan waktu anda; memakai lambang ratu tanpa mahkota; sebab itu yang menjumpai segeralah menghormati; jangan sampai terputus, menghadaplah dengan patuh; keberuntungan ada di anak cucu)

172.
iki dalan kanggo sing eling lan waspada; ing zaman kalabendu Jawa; aja nglarang dalem ngleluri wong apengawak dewa; cures ludhes saka braja jelma kumara; aja-aja kleru pandhita samusana; larinen pandhita asenjata trisula wedha; iku hiya pinaringaning dewa
(inilah jalan bagi yang ingat dan waspada; pada zaman kalabendu Jawa; jangan melarang dalam menghormati orang berupa dewa; yang menghalangi akan sirna seluruh keluarga; jangan keliru mencari dewa; carilah dewa bersenjata trisula wedha; itulah pemberian dewa)

173.
nglurug tanpa bala; yen menang tan ngasorake liyan; para kawula padha suka-suka; marga adiling pangeran wus teka; ratune nyembah kawula; angagem trisula wedha; para pandhita hiya padha muja; hiya iku momongane kaki Sabdopalon; sing wis adu wirang nanging kondhang; genaha kacetha kanthi njingglang; nora ana wong ngresula kurang; hiya iku tandane kalabendu wis minger; centi wektu jejering kalamukti; andayani indering jagad raya; padha asung bhekti
(menyerang tanpa pasukan; bila menang tak menghina yang lain; rakyat bersuka ria; karena keadilan Yang Kuasa telah tiba; raja menyembah rakyat; bersenjatakan trisula wedha; para pendeta juga pada memuja; itulah asuhannya Sabdopalon; yang sudah menanggung malu tetapi termasyhur; segalanya tampak terang benderang; tak ada yang mengeluh kekurangan; itulah tanda zaman kalabendu telah usai; berganti zaman penuh kemuliaan; memperkokoh tatanan jagad raya; semuanya menaruh rasa hormat yang tinggi)

Sampai di sini kita akan dapat mulai memahami siapakah yang dikatakan oleh Joyoboyo dengan istilah Putra Betara Indra itu ? Bait-bait tersebut telah mengurai secara rinci tentang ciri-ciri dan karakter orang tersebut. Putra Betara Indra tidak lain dan tidak bukan adalah Waliyullah (aulia) yang tertulis di dalam sinom bait 28 pada Kitab Musarar Joyoboyo. Perlambang paras Kresna dan watak Baladewa bermakna satria pinandhita. Karena hakekat dua bersaudara Kresna dan Baladewa (Krishna Balarama) melambangkan kepribadian Tuhan Yang Maha Esa. Dimana Kresna melambangkan pencipta, sedangkan Baladewa melambangkan potensi kreativitas-Nya. Dua bersaudara Kresna dan Baladewa menghabiskan masa kanak-kanaknya sebagai penggembala sapi. Dengan hakekat ini setidaknya kita dapat meraba bahwa Putra Betara Indra adalah juga Pemuda Gembala (budak angon) yang telah dikatakan oleh Prabu Siliwangi di dalam Uga Wangsit Siliwangi.

Majapahit dalam sejarah

Raden Wijaya wafat pada tahun 1309 digantikan oleh Jayanāgara. Seperti pada masa akhir pemerintahan ayahnya, masa pemerintahan raja Jayanāgara banyak dirongrong oleh pemberontakan orang-orang yang sebelumnya membantu Raden Wijaya mendirikan kerajaan Majapahit.

Perebutan pengaruh dan penghianatan menyebabkan banyak pahlawan yang berjasa besar akhirnya dicap sebagai musuh kerajaan. Pada mulanya Jayanāgara juga terpengaruh oleh hasutan Mahāpati yang menjadi biang keladi perselisihan tersebut, namun kemudian ia menyadari kesalahan ini dan memerintahkan pengawalnya untuk menghukum mati orang kepercayaannya itu. Dalam situasi yang demikian muncul seorang prajurit yang cerdas dan gagah berani bernama Gajah Mada. Ia muncul sebagai tokoh yang berhasil mamadamkan pemberontakan Kuti, padahal kedudukannya pada waktu itu hanya berstatus sebagai pengawal raja (běkěl bhayangkāri). Kemahirannya mengatur siasat dan berdiplomasi dikemudian hari akan membawa Gajah Mada pada posisi yang sangat tinggi di jajaran pemerintahan kerajaan Majapahit, yaitu sebagai Mahamantri kerajaan.

Pada masa Jayanāgara hubungan dengan Cina kembali pulih. Perdagangan antara kedua negara meningkat dan banyak orang Cina yang menetap di Majapahit. Jayanāgara memerintah sekitar 11 tahun, pada tahun 1328 ia dibunuh oleh tabibnya yang bernama Tanca karena berbuat serong dengan isterinya. Tanca kemudian dihukum mati oleh Gajah Mada.

Karena tidak memiliki putera, tampuk pimpinan Majapahit akhirnya diambil alih oleh adik perempuan Jayanāgara bernama Jayawisnuwarddhani, atau dikenal sebagai Bhre Kahuripan sesuai dengan wilayah yang diperintah olehnya sebelum menjadi ratu. Namun pemberontakan di dalam negeri yang terus berlangsung menyebabkan Majapahit selalu dalam keadaan berperang. Salah satunya adalah pemberontakan Sadĕng dan Keta tahun 1331 memunculkan kembali nama Gajah Mada ke permukaan. Keduanya dapat dipadamkan dengan kemenangan mutlak pada pihak Majapahit. Setelah persitiwa ini, Mahapatih Gajah Mada mengucapkan sumpahnya yang terkenal, bahwa ia tidak akan amukti palapa sebelum menundukkan daerah-daerah di Nusantara, seperti Gurun (di Kalimantan), Seran (?), Tanjungpura (Kalimantan), Haru (Maluku?), Pahang (Malaysia), Dompo (Sumbawa), Bali, Sunda (Jawa Barat), Palembang (Sumatera), dan Tumasik (Singapura). Untuk membuktikan sumpahnya, pada tahun 1343 Bali berhasil ia ditundukan.

Ratu Jayawisnuwaddhani memerintah cukup lama, 22 tahun sebelum mengundurkan diri dan digantikan oleh anaknya yang bernama Hayam wuruk dari perkimpoiannya dengan Cakradhara, penguasa wilayah Singhāsari. Hayam Wuruk dinobatkan sebagai raja tahun 1350 dengan gelar Śri Rajasanāgara. Gajah Mada tetap mengabdi sebagai Patih Hamangkubhūmi (mahāpatih) yang sudah diperolehnya ketika mengabdi kepada ibunda sang raja.
Di masa pemerintahan Hayam Wuruk inilah Majapahit mencapai puncak kebesarannya. Ambisi Gajah Mada untuk menundukkan nusantara mencapai hasilnya di masa ini sehingga pengaruh kekuasaan Majapahit dirasakan sampai ke Semenanjung Malaysia, Sumatera, Kalimantan, Maluku, hingga Papua.

Tetapi Jawa Barat baru dapat ditaklukkan pada tahun 1357 melalui sebuah peperangan yang dikenal dengan peristiwa Bubat, yaitu ketika rencana pernikahan antara Dyah Pitalokā, puteri raja Pajajaran, dengan Hayam Wuruk berubah menjadi peperangan terbuka di lapangan Bubat, yaitu sebuah lapangan di ibukota kerajaan yang menjadi lokasi perkemahan rombongan kerajaan tersebut. Akibat peperangan itu Dyah Pitalokā bunuh diri yang menyebabkan perkimpoian politik dua kerajaan di Pulau Jawa ini gagal. Dalam kitab Pararaton disebutkan bahwa setelah peristiwa itu Hayam Wuruk menyelenggarakan upacara besar untuk menghormati orang-orang Sunda yang tewas dalam peristiwa tersebut. Perlu dicatat bawa pada waktu yang bersamaan sebenarnya kerajaan Majapahit juga tengah melakukan eskpedisi ke Dompo (Padompo) dipimpin oleh seorang petinggi bernama Nala.

Setelah peristiwa Bubat, Mahāpatih Gajah Mada mengundurkan diri dari jabatannya karena usia lanjut, sedangkan Hayam Wuruk akhirnya menikah dengan sepupunya sendiri bernama Pāduka Śori, anak dari Bhre Wĕngkĕr yang masih terhitung bibinya.

Di bawah kekuasaan Hayam Wuruk kerajaan Majapahit menjadi sebuah kerajaan besar yang kuat, baik di bidang ekonomi maupun politik. Hayam Wuruk memerintahkan pembuatan bendungan-bendungan dan saluran-saluran air untuk kepentingan irigasi dan mengendalikan banjir. Sejumlah pelabuhan sungai pun dibuat untuk memudahkan transportasi dan bongkar muat barang. Empat belas tahun setelah ia memerintah, Mahāpatih Gajah Mada meninggal dunia di tahun 1364. Jabatan patih Hamangkubhūmi tidak terisi selama tiga tahun sebelum akhirnya Gajah Enggon ditunjuk Hayam Wuruk mengisi jabatan itu. Sayangnya tidak banyak informasi tentang Gajah Enggon di dalam prasasti atau pun naskah-naskah masa Majapahit yang dapat mengungkap sepak terjangnya.

Raja Hayam Wuruk wafat tahun 1389. Menantu yang sekaligus merupakan keponakannya sendiri yang bernama Wikramawarddhana naik tahta sebagai raja, justru bukan Kusumawarddhani yang merupakan garis keturunan langsung dari Hayam Wuruk. Ia memerintah selama duabelas tahun sebelum mengundurkan diri sebagai pendeta. Sebelum turun tahta ia menujuk puterinya, Suhita menjadi ratu. Hal ini tidak disetujui oleh Bhre Wirabhūmi, anak Hayam Wuruk dari seorang selir yang menghendaki tahta itu dari keponakannya. Perebutan kekuasaan ini membuahkan sebuah perang saudara yang dikenal dengan Perang Parěgrěg. Bhre Wirabhumi yang semula memperoleh kemenanggan akhirnya harus melarikan diri setelah Bhre Tumapĕl ikut campur membantu pihak Suhita. Bhre Wirabhūmi kalah bahkan akhirnya terbunuh oleh Raden Gajah. Perselisihan keluarga ini membawa dendam yang tidak berkesudahan. Beberapa tahun setelah terbunuhnya Bhre Wirabhūmi kini giliran Raden Gajah yang dihukum mati karena dianggap bersalah membunuh bangsawan tersebut.

Suhita wafat tahun 1477, dan karena tidak mempunyai anak maka kedudukannya digantikan oleh adiknya, Bhre Tumapĕl Dyah Kĕrtawijaya. Tidak lama ia memerintah digantikan oleh Bhre Pamotan bergelar Śri Rājasawardhana yang juga hanya tiga tahun memegang tampuk pemerintahan. Bahkan antara tahun 1453-1456 kerajaan Majapahit tidak memiliki seorang raja pun karena pertentangan di dalam keluarga yang semakin meruncing. Situasi sedikit mereda ketika Dyah Sūryawikrama Giriśawardhana naik tahta. Ia pun tidak lama memegang kendali kerajaan karena setelah itu perebutan kekuasaan kembali berkecambuk. Demikianlah kekuasaan silih berganti beberapa kali dari tahun 1466 sampai menjelang tahun 1500. Berita-berita Cina, Italia, dan Portugis masih menyebutkan nama Majapahit di tahun 1499 tanpa menyebutkan nama rajanya. Semakin meluasnya pengaruh kerajaan kecil Demak di pesisir utara Jawa yang menganut agama Islam, merupakan salah satu penyebab runtuhnya kerajaan Majapahit. Tahun 1522 Majapahit tidak lagi disebut sebagai sebuah kerajaan melainkan hanya sebuah kota. Pemerintahan di Pulau Jawa telah beralih ke Demak di bawah kekuasaan Adipati Unus, anak Raden Patah, pendiri kerajaan Demak yang masih keturunan Bhre Kertabhūmi. Ia menghancurkan Majapahit karena ingin membalas sakit hati neneknya yang pernah dikalahkan raja Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya. Demikianlah maka pada tahun 1478 hancurlah Majapahit sebagai sebuah kerajaan penguasa nusantara dan berubah satusnya sebagai daerah taklukan raja Demak. Berakhir pula rangkaian penguasaan raja-raja Hindu di Jawa Timur yang dimulai oleh Keng Angrok saat mendirikan kerajaan Singhāsari, digantikan oleh sebuah bentuk kerajaan baru bercorak agama Islam.

Ironisnya, pertikaian keluarga dan dendam yang berkelanjutan menyebabkan ambruknya kerajaan ini, bukan disebabkan oleh serbuan dari bangsa lain yang menduduki Pulau Jawa.

Jambu bol

Jambu bol (atau jambu kepal dan jambu merah) adalah pohon buah kerabat jambu-jambuan. Buah jambu ini memiliki tekstur daging yang lebih lembut dan lebih padat dibandingkan dengan jambu air. Tidak begitu jelas mengapa namanya demikian karena bol (bahasa Melayu) atau bool (bahasa Sunda) berarti "pantat".

Nama-nama daerahnya di antaranya jambu bo, jambu jambak (Min.), jambu bool (Sd.), nyambu bol (Bl.), jambu bolo (Mak.), jambu bolu (Bug.). Juga, jambu darsana, dersana, tersana (Jw., Md.); kupa maaimu (Sulut); nutune, lutune, lutu kau, rutuul (Mal.) dan lain-lain.

Dalam bahasa Inggris dikenal sebagai Malay apple, sementara nama ilmiahnya adalah Syzygium malaccense (yang berarti: ‘berasal dari Malaka’) menunjuk pada salah satu wilayah asal-usulnya.

Pohon yang tidak seberapa tinggi, hingga sekitar 15 m. Batang lurus, gemangnya hingga 20-45 cm, bercabang rendah dan bertajuk rimbun padat sampai membulat, memberikan naungan yang berat.

Daun tunggal terletak berhadapan, dengan tangkai pendek 1-1,5 cm, yang tebal dan kemerahan ketika muda. Helaian daun lonjong menjorong, 15-38 x 7-20 cm, tebal agak kaku seperti jangat.

Karangan bunga muncul pada bagian ranting yang tak berdaun (sering pula pada cabang dekat batang utama), bertangkai pendek dan menggerombol, berisi 1-12 kuntum. Bunga merah agak ungu atau jambon, berbilangan 4, bergaris tengah 5-7 cm; tabung kelopak panjang 1,5-2 cm; helai mahkota merah, lonjong, bundar telur atau bundar, 1,5-2 cm; benang sari banyak, panjang s/d 3,5 cm; panjang tangkai putik 3-4,5 cm.

Buah buni berbentuk bulat sampai menjorong, dengan garis tengah 5-8 cm, merah tua, kuning keunguan, atau keputihan. Daging buah padat, tebal 0,5-2,5 cm, putih dengan banyak sari buah dan wangi yang khas, asam manis sampai manis. Bijinya sebutir, bulat kecoklatan, berdiamater 2,5-3,5 cm.

Buah jambu bol biasa disajikan sebagai buah meja. Jambu bol, bersama dengan Jambu air dan jambu semarang atau jambu cincalo memiliki pemanfaatan yang kurang lebih serupa dan dapat saling menggantikan. Buah-buah ini umumnya dimakan segar, atau dijadikan sebagai salah satu bahan rujak. Aneka jenis jambu ini juga dapat disetup atau dijadikan asinan.

Karena rasa dan aromanya, jambu bol pada umumnya lebih disukai orang dan karena itu harganya juga umumnya lebih tinggi daripada jambu air atau jambu semarang.

Kulit batangnya digunakan sebagai obat sariawan. Sedangkan kayunya yang keras dan kemerahan cukup baik sebagai bahan bangunan, asalkan tidak kena tanah.

Asal usul pohon buah ini tidak diketahui dengan pasti, akan tetapi jambu bol ditanam luas sejak lama di semenanjung Malaya, sumatra dan jawa.

Karena manfaatnya, jambu bol kini ditanam di banyak negara tropis, termasuk di negara-negara Karibia seperti jamaika serta Trinidad dan Tobago.

Rabu, 16 Juni 2010

Kekuatan Asia unjuk gigi di Afsel

Asia masanya berjaya. Kemenangan Korea Selatan atas Yunani, dan Jepang atas Kamerun amat membahagiakan. Kendati jalan masih panjang, ini sinyal dominasi Eropa mulai keropos. Akankah mampu dua negara itu membuka sejarah baru?

Di Asia, Jepang dan Korsel adalah pioner. Di tahun 40-an kolonialisme Eropa meresahkan Negeri Samurai. Melalui semangat Asianisme Jepang mengajak sesama Asia untuk bersatu membentuk kekuatan. Itu melahirkan sebutan Jepang sebagai saudara tua.

Dalam tingkat praktek, bukan persaudaraan yang dibangun. Pasukan pribumi embrio Peta dididik bukan agar rakyat negeri ini pandai berperang. Itu diformat mengatasi serangan bangsa Eropa yang hendak kembali. Jepang berkepentingan melestarikan kekuasaannya di negeri jajahan.

Sebab semangat Asianisme itu lumer tatkala melihat kekayaan Nusantara. Mata mereka "hijau" dan mengusung kekayaan negeri ini menuju Negara Matahari Terbit. Saudara tua itu ingkar dari niat mula. Dan sejarah memberi kesaksian, penjajah sesama Asia itu lebih keji ketimbang Belanda.

Jepang yang 'pioner' itu membangun trauma bagi sesama bangsa Asia. Tak hanya China dan Indonesia, tapi juga Filipina serta Korea. Ini memberi pengertian, solidaritas tidak sebangun soliditas negeri jika itu menyangkut hubungan bilateral. Tak terkecuali soal apa saja di masa kini.

Korea Selatan adalah macan Asia. Ekonominya yang jauh di bawah Jepang dan imbang dengan Indonesia, ternyata mampu digenjot dengan kekuatan maksimal. Negeri Ginseng tak sampai sepuluh tahun berhasil mensejajarkan diri dengan Dai Nippon dan menepis sederajat dengan Indonesia. Kita tetap lenggang kangkung, alon-alon waton klakon.

Dalam dunia sepakbola, dua negara itu telah berubah menjadi raksasa. Dominasi Asia yang biasanya dikuasai negara-negara Timur Tengah diambil-alih. Mutual shohibul hajat Piala Dunia 2002 menahbiskan kekuataan keduanya. Dan kini mereka masih punya kans mengukir prestasi yang lebih mulia lagi. Masuk delapan besar, empat besar, dan mungkin tampil sebagai juara dunia.

Sepakbola sekarang memang bukan hak prerogatif Eropa. Globalisasi positif memberi pasokan gizi yang sama di belahan dunia mana saja. Berkat itu tubuh tinggi, besar dan kokoh menyebar. Dan teori Abdul Kadir melewati lawan melalui selangkangan tak perlu dipikir lagi.

Sepakbola kini dan mendatang adalah gabungan antara talenta, intelejensia dan speed. Keahlian menggocek bola ditopang kecerdasan dan kecepatan, maka itulah yang bakal menjadikan sebuah kesebelasan tampil sebagai juara. Jangan kaget jika yang unggul dalam Piala Dunia 2010 ini juga yang memenuhi kriteria itu.

Sejauh ini yang selalu menang adalah tim yang mempunyai kecepatan. Tampil ngotot hukum wajib dalam sepakbola moderen. Untuk itu lupakan Yunani yang tetap pada pakem ritus di Olympus. Dan lupakan Samba jika tetap berusaha menampilkan sepak bola indah. Wong Spanyol yang dihuni pemain-pemain hebat itu saja bisa digilas Swiss.

Sepakbola tetaplah sepakbola. Butuh skor dan kemenangan. Dia bagian dari olahraga. Termasuk doktrin sakralnya, terkuat, tercepat, terhebat. Bukan yang "berkesenian" dalam permainan yang bakal menjadi juara. Adakah di Piala Dunia 2014 nanti negeri ini mampu mengikuti jejak Korea Selatan sebagai sesama mantan jajahan Jepang?