Reog Ponorogo adalah ikon budaya kebanggaan Kabupaten Ponorogo. Tidak
ada yang tahu pasti apa arti kata ‘reog’ itu. Ada yang bependapat bahwa
‘reog’ berasal dari kata Jawa ‘rèyog’, yang terkadang mengalami repetisi menjadi ‘rèyag-rèyog’. Dalam bahasa Jawa, ‘rèyog’ dan ‘rèyag-rèyog’, berarti sesuatu yang berayun atau bergerak menyamping bergantian ke setiap sisi.
Hubungan kata ‘rèyog’ dengan Reog Ponorogo, terletak pada gerakan barongan ‘Dhadhak Mêrak’ ketika dimainkan. ‘Dhadhak Mêrak’ berupa kepala macan di bawah seekor burung merak yang sedang mengembangkan keindahan ekornya. Wujud ‘Dhadhak Mêrak’ ketika dimainkan memang sangat atraktif, dengan gerakan yang gesit dan lincah menyambar-nyambar. Nah, dari gerakan ‘Dhadhak Mêrak’ yang meliuk dan menyambar ke sana ke mari itulah kemungkinan nama Reog Ponorogo bermula.
Selain Reog Ponorogo, ada juga kesenian Reog Tulungagung dan Reog
Sunda. Reog Tulungagung adalah kesenian yang berkembang di Kabupaten
Tulungagung, yang melibatkan beberapa pemain gendang berukuran kecil,
yang bergerak menari bergoyang meliuk-liuk, sambil bergantian menabuh
gendang. Adapun, Reog Sunda juga masih mirip dengan Reog Tulungagung,
namun ditambah dengan sya’ir dan dialog berbahasa Sunda.
Asal Usul Reog Ponorogo
Sejarah awal-mula kemunculan kesenian Reog Ponorogo masih belum dapat
direkonstruksi secara rinci. Namun, dari cerita rakyat yang berkembang
di daerah Ponorogo, kita dapat merunut kesenian Reog Ponorogo
berdasarkan legenda tokoh Bathara Katong, Ki Ageng Surya Ngalam, dan Ki
Ageng Mirah.
Dahulu, pada masa Majapahit akhir, bertahtalah Sang Prabhu
Kertabhumi. Sang Raja mempunyai istri cantik dari kerajaan Cina, yang
biasa disebut Putri Cina. Dalam cerita rakyat, tokoh Putri Cina sering
rancu dengan tokoh Putri Cempa. Dikisahkan, bahwa Raja Majapahit itu
sangat sayang kepada istrinya, putri Raja Cina yang sulit disamai
kecantikannya. Karena rasa sayangnya itu, hampir semua permintaan Sang
Putri Cina selalu dikabulkan.
Ada ahli sastra dari pulau Bali, yang dipanggil ke Majapahit karena
kehebatannya. Sastrawan yang bernama Kutu ini, diangkat menjadi Pujangga
Anom di Majapahit. Dalam bahasa Jawa kuna, ‘pujangga’ sering dilafalkan dengan ‘bujangga’. Sang Bujangga Anom lalu dianugerahi tanah Pêrdikan
(wilayah yang dibebaskan dari pajak) Wengker (sekarang menjadi
Ponorogo) karena jasa dan kesetiaannya kepada Majapahit, bergelar Ki
Gedhe Surya Bhuwana atau Ki Ageng Surya Ngalam.
Bujangga Anom Majapahit sekaligus Ki Gedhe di Pêrdikan
Wengker itu, lambat laun menjadi muak melihat perilaku Putri Cina yang
sangat mendominasi keputusan Raja Majapahit. Sudah seringkali Sang Raja
diperingatkan akan kemungkinan kewibawaannya di mata rakyat dapat
merosot bila terus menuruti Sang Putri Cina, tetapi tetap tak
dihiraukannya.
Sang Bujangga Anom kemudian memutuskan untuk berdiam di Perdikan
Wengker, dan tidak akan pernah menghadap rajanya di Trowulan, sampai
Raja Majapahit itu bersikap tegas kepada istrinya itu. Sang Raja sangat
sedih kehilangan pujangganya yang pandai, sekaligus marah besar karena
merasa dikhianati oleh salah seorang pejabatnya.
Tiga tahun sudah, kejengkelan mendera Sang Bujangga Anom. Tiga tahun
pula dia berusaha menyadarkan rajanya dengan pesan-pesan yang dibungkus
karya seni. Ia membuat tontonan berupa tokoh yang memakai topeng macan,
dengan seekor burung merak di atas kepalanya, sedang memamerkan
keindahan bulu-bulu ekor. Lalu ada tokoh yang memakai topeng buruk rupa,
sedang berusaha menggangu tokoh pertama. Sepanjang pertunjukan itu,
selalu dikawal oleh para pendekar yang dikatakan setangguh ‘warak’ (dalam bahasa Jawa kuna berarti hewan badak).
Tokoh yang memakai topeng macan dengan burung merak di atasnya,
menggambarkan Raja Majapahit yang sakti bagaikan harimau tetapi tunduk
terhadap Putri Cina yang cantik seperti merak. Sedangkan, tokoh yang
memakai topeng buruk rupa dan selalu mengganggu tokoh pertama,
menggambarkan Sang Bujangga Anom yang berusaha memperingati Raja
Majapahit namun selalu diabaikan. Adapun, Para pengawal pertunjukkan
yang merupakan orang pilihan yang sehebat binatang ‘warok’, menggambarkan barisan tentara Majapahit yang gagah perkasa.
Murka Raja Kertabhumi tak dapat dibendung lagi, setelah mengetahui
pujangganya yang menjadi Ki Ageng Wengker tidak pernah menghadiri
upacara di Majapahit. Sedangkan dalam tata negara Majapahit, seorang
pejabat dikatakan makar bila tak menghadap dalam upacara tahunan
kerajaan sebanyak tiga kali. Sang Raja bertambah marah, ketika mendengar
Ki Ageng Wengker sudah berani membuat tontonan yang menyindir dirinya.
Raja Majapahit memerintahkan putranya dari selir Putri Bagelen yang
bernama Raden Talijiwa, untuk menggempur Wengker yang dianggap
memberontak kepada Majapahit. Pangeran Talijiwa hanya membawa pasukan
kecil, karena Pêrdikan Wengker dianggap lemah, dan dilarang
pulang sebelum menang. Namun setelah menghadapi pasukan Wengker,
ternyata dugaan tersebut salah. Pasukan Majapahit hancur kocar-kacir
oleh para ‘warak’ pertunjukan, yang ternyata adalah para
pendekar sakti. Sedangkan, Sang Pangeran kalah oleh kesaktian keris
pusaka andalan Ki Ageng Kutu.
Tubuh Raden Talijiwa, yang dibiarkan tergeletak karena dikira sudah
mati oleh Ki Ageng Surya Ngalam, malah dirawat oleh putri Ki Ageng Kutu
sendiri, yang jatuh cinta akan ketampanan dan keberanian pangeran dari
Majapahit itu. Pangeran muda tersebut disadarkan dari pingsannya dan
disembuhkan luka-lukanya, di sebuah pondok yang tersembuyi di pinggir
hutan. Selama masa perawatan, Raden Talijiwa pun akhirnya jatuh cinta
kepada anak perempuan Ki Ageng Surya Ngalam.
Setelah pulih kekuatannya, Raden Talijiwa lalu pamit kepada putri Ki
Gedhe Kutu untuk bertapa di telaga Ngebel, demi mendapat petunjuk
Dewata. Dalam tapa kungkumnya (berendam di air), Raden Talijiwa
mendengar wangsit bahwa kelak akan ada orang yang membantunya menjadi
penguasa semulia dewa (dalam bahasa Jawa Kuna yaitu: ‘bathara katong’) di tanah Wengker.
Alkisah di padepokan Kangjeng Sunan Kalijaga, seseorang telah
dipersiapkan untuk membantu pangeran dari Majapahit berjuang menggapai
takdirnya. Kiyai Mirah diperintahkan oleh gurunya, untuk mengajarkan
Islam kepada Raden Talijiwa. Kangjeng Sunan Kalijaga berpesan kepada
muridnya, bahwa kelak Pangeran Talijiwa akan berandil besar dalam
mengembangkan Islam di wilayah Wengker dan sekitarnya.
Kaget Sang Pangeran Majapahit, ketika melihat ada orang yang telah
menunggunya di pinggir telaga. Dalam perbincangan mereka, Kiyai Mirah
menyatakan kesanggupannya untuk membantu tugas Raden Talijiwa. Selama
pertemuan itu, Pangeran Talijiwa sangat tertarik dengan ajaran Islam,
karena kepandaian Kiyai Mirah dalam menjelaskan ilmu kehidupan. Akhirnya
pangeran Majapahit itu menyatakan diri masuk Islam.
Kiyai Mirah menyarankan Raden Talijiwa agar merayu putri Ki Gedhe
Kutu untuk mengambil keris pusaka ayahnya, supaya tugas negara dari
Majapahit dapat segera terpenuhi. Kemudian pangeran muda itu segera
menemui kekasihnya, dan memintanya untuk mengambilkan keris ayahnya demi
tercapai cita-cita mereka untuk segera bersatu.
Pangeran Talijiwa lalu mendatangi banjar Pêrdikan Wengker,
beserta para prajurit Majapahit yang selamat dari pertempuran terdahulu.
Lemas lunglai Ki Ageng Surya Ngalam, ketika mendapati keris pusakanya
telah berpindah tangan. Akhirnya ia menyerah, dan mengikhlaskan putri
satu-satunya untuk dinikahi oleh putra rajanya itu. Tiada yang tahu
nasib Ki Ageng Surya Ngalam selanjutnya. Ada yang mengatakan ia bunuh
diri, ada yang menyebutkan ia dibawa ke Majapahit untuk dihukum, ada
pula yang berkata bahwa ia pulang menyepi ke Bali.
Raja Kertabhumi gembira menerima kemenangan putranya itu. Pêrdikan
Wengker lalu dihadiahkan kepada Pangeran Talijiwa, dan dititahkan
menjadi sebuah kadipaten (kerajaan kecil) di bawah Majapahit. Di
Wengker, Pangeran Talijiwa dengan gelar Kangjeng Adipati Bathara Katong,
membangun kadipaten baru dengan nama Ponorogo (dalam bahasa Jawa ‘panaraga’ berarti sadar akan kesejatian dirinya). Sedangkan banjar Pêrdikan Wengker lama, dihadiahkan kepada Kiyai Mirah, yang kemudian bergelar Ki Ageng Mirah.
Ki Ageng Mirah berinisiatif untuk tetap melestarikan kesenian ciptaan
Ki Ageng Surya Ngalam, dengan sedikit perubahan. Dikaranglah cerita
yang bergenre Cerita Panji, yang memang sangat populer pada zaman
Majapahit. Dalam cerita itu, tersebutlah seorang putri cantik yang mau
menikah bila ada pemuda yang dapat menghadirkan hewan berkepala dua.
Tiada seorang pun dari para raja dan pangeran yang mampu memenuhi
sayembara tersebut.
Alkisah, ada seorang raja bernama Prabhu Singabarong yang hendak
mengikuti sayembara. Di tengah perjalanan, bertemu dengan serombongan
pasukan berkuda yang dipimpin oleh Pangeran Panji Kelana Sewandana, yang
juga berniat memenangkan sayembara. Mereka berdua segera terlibat dalam
sebuah pertempuran seru. Karena sama-sama sakti, Raja Singabarong lalu
bertiwikrama menjadi siluman yang sakti serupa macan sekaligus luwes
seperti merak.
Pangeran Panji Kelana Sewandana kemudian menggunakan cemeti pusakanya
untuk meringkus siluman berkepala harimau dan merak itu. Raja
Singabarong yang berperang bersama para prajuritnya dan punakawannya
yang bernama Ki Bujangganong itu, takluk oleh kesaktian cemeti andalan
musuhnya. Alhasil, Panji Kelana Sewandana berhasil memenangkan
sayembara, ketika menghadirkan Raja Singabarong yang berwujud siluman
berkepala dua.
Macan merak yang menyindir Raja Kertabhumi, diubah menjadi tokoh Raja
Singabarong. Tokoh yang menggambarkan Bujangga Anom yang berusaha
memperingati Raja Majapahit, diubah menjadi punakawan Ki Bujangganong.
Para ‘warak’ berubah menjadi ‘warok’, yang menjadi pendekar pelindung Pêrdikan
Wengker. Lalu muncul tokoh tambahan Panji Kelana Sewandana yang
bersenjata cemeti, diringi oleh barisan kuda lumping yang menggambarkan
pasukan berkuda. Melihat gerak yang ditampilkan para pelaku jenis
kesenian khas Ponorogo, Jawa Timur, Reog Ponorogo, terlintas kesan
mistis di dalamnya.
Perkembangan Reog Ponorogo
Perkembangan Reog Ponorogo
Reog, sering diidentikkan dengan dunia hitam, preman atau jagoan.
Minuman keras dan juga kendalanya. Tak lepas pula kekuatan supra
natural. Barung mempertontonkan keperkasaan dalam mengangkat dadak berat
seberat sekitar 40 kilogram dengan kekuatan gigitan gigi sepanjang
pertunjukan berlangsung. terutama salompret, menyuarakan nada slendro
dan pelog yang memunculkan atmosfir mistis, aneh, eksotis sekaligus
membangkitkan gairah. Tidak hanya satu versi yang diceritakan asal
muasal kesenian Reog Ponorogo. Sebuah buku terbitan Pemda Kabupaten
Ponorogo pada tahun 1993 menyebutkan, sejarah lahirnya kesenian ini pada
saat Raja Brawijaya ke-5 bertahta di Kerajaan Majapahit.
Untuk menyindir sang raja yang amat dipengaruhi oleh permaisurinya
ini, dibuatlah barongan yang ditunggangi burung merak oleh Ki Ageng Tutu
Suryo. Lebih lanjut cerita rakyat yang bersumber dari Babad Jawa
menyatakan pada jaman kekuasaan Batera Katong, penambing yang bernama Ki
Ageng Mirah menilai kesenian barongan perlu dilestarikan. Ki Ageng
Mirah lalu membuat cerita legendaris tentang terciptanya Kerajaan Bantar
Angin dengan rajanya Kelono Suwandono. Kesenian Reog ini pertama
bernama Singa Barong atau Singa Besar mulai ada pada sekitar tahun saka
900 dan berhubungan dengan kehidupan pengikut agama Hindu Siwa. Masuknya
Raden Patah untuk mengembangkan agama Islam disekitar Gunung Wilis
termasuk Ponorogo, berpengaruh pada kesenian reog ini. Yang lalu
beradaptasi dengan adanya Kelono Suwandono dan senjata Pecut Samagini.
Biar bagaimanapun cerita yang menyebutkan asal usul Reog Ponorogo
bersumber yang jelas. Kini kesenian ini tidak hanya dijumpai di daerah
kelahirannya saja.
Biasanya satu group Reog terdiri dari seorang Warok Tua, sejumlah
warok muda, pembarong dan penari Bujang Ganong dan Prabu Kelono
Suwandono. Jumlahnya berkisar antara 20 hingga 30-an orang, peran
sentral berada pada tangan warok dan pembarongnya. Kedasyatan Reog
Ponorogo dalam mengumpulkan dan mengerakkan massa sempat membuat
sertifikat sebuah organisasi sosial politik sejak tahun 1950-an untuk
mendomplengnya sebagai alat. Tahun 1955 misalnya terbentuk cakra cabang
kesenian reog agama milik NU, untuk memenangkan partainya pada pemilu.
Kemudian Bren Barisan Reog Nasional atau BRP atau Barisan Reog Ponorogo
milik Tegak. Hal ini membuat Reog Ponorogo dalam perkembangannya nyaris
tiba jurang kematian.
Pada tahun 1965 sampai 1971 saat pemerintah menumpas PKI, BRP
dibubarkan dan imbasnya membuat reog-reog lain ikut ujungnya. Ribuan
unit reog terpaksa dibakar akibat terpaan isu kesenian ini menjadi
penggalak komunis dalam mengumpulkan dan mengerakan massa. Para pelaku
kesenian ini akhirnya menjadi pekan atau pencari rumput. Beruntung di
akhir 1976, Reog Ponorogo kembali dihidupkan dengan pendirian INTI
(Insan Tagwa Illahi Ponorogo). Belajar dari sejarah ini, banyak pelaku
seni ini yang tidak ingin lagi ditunggangi. Biarlah reog menjadi milik
rakyat tanpa batasan dan diklaim milik golongan tertentu. Reog Ponorogo
terus berkibar hingga sekarang, bahkan sejumlah pengembangan bentuk
dalam pengarapan kesenian ini banyak dilakukan. Terutama dengan
menjamurnya lembaga formil untuk mengembangkan kesenian reog dalam
bentuk konterporer. Ini soal kesenian yang terlanjur dicap berbau mistis
ini, upaya pelestarian dan pemulihan melalui festival rutin tahunan
terkadang justru mengorbankan kemurnian dan kekhasan kesenian itu
sendiri. Padahal unsur mistis, justru merupakan kekuatan spiritual yang
memberikan nafas pada kesenian Reog Ponorogo.
Banyak hal yang terkesan mistis dibalik kesenian Reog Ponorogo. Warok
misalnya, adalah tokoh sentral dalam kesenian ini yang hingga kini
menyimpan banyak hal yang cukup kontroversial. Tidak sedikit orang yang
menganggap profil warok telah menimbulkan citra kurang baik atas
kesenian ini. Warok adalah pasukan yang bersandar pada kebenaran dalam
pertarungan antara yang baik dan jahat dalam cerita kesenian reog. Warok
Tua, adalah tokoh pengayom, sedangkan Warok Muda adalah warok yang
masih dalam taraf menuntut ilmu. Kendati demikian, kehidupan warok
sangat bertolak belakang dengan peran yang mereka mainkan di pentas.
Konon warok hingga saat ini dipersepsikan sebagai tokoh yang
pemerannya harus memiliki kekuatan gaib tertentu. Bahkan tidak sedikit
cerita buruk seputar kehidupan warok, seperti pendekatannya dengan
minuman keras dan dunia preman. Untuk menjadi warok, perjalanan yang
cukup panjang, lama, penuh liku dan sejuta goda. Paling tidak itulah
yang dituturkan tokoh Warok Ponorogo, Mbah Wo Kucing. Untuk menuju
kesana, harus menguasai apa yang disebut Reh Kamusankan Sejati, jalan
kemanusiaan yang sejati.
Warok Tua, sampai sekarang masih mendapat tempat sebagai sesepuh di
masyarakatnya. Kedekatannya dengan dunia spiritual sering membuat
seorang warok dimintai nasehatnya atas sebagai pegangan spiritual
ataupun ketentraman hidup. Petuah yang disitir seorang warok tua
sebenarnya sudah sering didengar namun kata-kata yang keluar dari
mulutnya seolah bertenaga.
Dulunya warok dikenal mempunyai banyak gemblak, yakni lelaki belasan
tahun yang kadang lebih disayangi ketimbang istri dan anaknya.
Memelihara gemblak adalah tradisi yang telah berakar kuat pada komunitas
seniman reog. Seolah menjadi kewajiban setiap warok untuk memelihara
gemblak agar bisa mempertahankan kesaktiannya. Apalagi ada kepercayaan
kuat di kalangan warok, hubungan intim dengan perempuan bahkan dengan
istri sendiri, bisa menjadi pemicu lunturnya seluruh kesaktian. Saling
mengasihi, menyayangi dan berusaha menyenangkan adalah ciri khas relaksi
khusus antara gemblak dan waroknya.
Sebegitu jauh persepsi buruk atas warok, diakui mulai dihilangkan.
Upaya mengembalikan citra kesenian ini dilakukan secara perlahan-lahan.
Profil warok saat ini misalnya mulai diarahkan kepada nilai kepimpinan
yang positif dan menjadi panutan masyarakat. Termasuk pula memelihara
gemblak yang kini semakin luntur. Gemblak yang biasa berperan sebagai
penari jatilan, kini perannya digantikan oleh remaja putri. Padahal
dulu-dulunya kesenian ini tampil tanpa seorang wanita pun. Selain warok,
peran pembarong atau pemanggul darak merak, dalam kesenian Reog
Ponorogo, tidak bisa disepelekan. Apalagi kesenian ini nyata
mengandalkan kekuatan tubuh dan atraksi akrobatiknya.
Seorang pembarong, harus memiliki kekuatan ekstra. Dia harus
mempunyai kekuatan rahang yang baik, untuk menahan dengan gigitannya
beban darak merak yakni sebentuk kepala harimau dihiasi ratusan helai
bulu-bulu burung merak setinggi dua meter yang beratnya bisa mencapai
40-an kilogram selama masa pertunjukan. Sekali lagi kekuatan gaib sering
dipakai pembarong untuk menambah kekuatan ekstra ini.
Semisal, dengan cara memakai susuk, di leher pembarong. Untuk menjadi
pembarong tidak cukup hanya dengan tubuh yang kuat. Seorang pembarong
pun harus dilengkapi dengan sesuatu yang disebut kalangan pembarong
dengan wahyu. Wahyu inilah yang diyakini para pembarong sebagai sesuatu
yang amat penting dalam hidup mereka. Bila tak diberkati wahyu, tarian
yang diperagakan seorang pembarong akan tampak tidak enak dan tidak pas
untuk ditonton. Semula banyak orang tua di Ponorogo khawatir, akan
kelangsungan kesenian khas Ponorogo ini. Pasalnya kemajuan jaman akan
membuat pemuda di Ponorogo tidak akan mau lagi ikut berreog. Apalagi
menjadi pembarong.
Namun kini telah banyak lahir pembarong muda, yang sedikit demi
sedikit meninggalkan hal-hal yang berbau mistis. Mereka lebih rasional.
Seorang pembarong, harus tahu persis teori untuk menarikan dadak merak.
Bila tidak, gerakan seorang pembarong bisa terhambat dan mengakibatkan
cedera. Setiap gerakan semisal mengibaskan barongan ada aturan bagaimana
posisi kaki, gerakan leher serta tangannya. Biasanya seorang pembarong
tampil pada usia muda dan segar. Menjelang usia 40-an tahun, biasanya
kekuatan fisik seorang pembarong, mulai termakan dan perlahan dia akan
meninggalkan profesinya. Saat ini, banyak pembarong yang menyangkal
penggunaan kekuatan gaib dalam pementasan namun sebenarnya kekuatan gaib
adalah elemen spiritual yang menjadi nafas dari kesenian ini. Sama
halnya dengan warok, kini pun persepsi pembarong digeser. Lebih banyak
dilakukan dengan pendekatan rasional.
Pementasan Seni Reog
Reog modern biasanya dipentaskan dalam beberapa acara seperti
khitanan, pernikahan, dan hari besar nasional. Seni reog ponorogo
terdiri dari beberapa rangkaian tarian, sekitar 2 sampai 3 rangkaian
tarian pembukaan. Tarian pertama biasanya dibawakan oleh 6-8 orang pria
yang bertubuh gagah berani dengan pakaian yang serba hitam dan dengan
muka yang dipoleh merah. Para penari ini menggambarkan sosok singa yang
pemberani. Berikutnya adalah tarian yang dibawakan oleh 6-8 orang gadis
yang membawa kuda. Pada awalnya (pementasan reog tradisional) tarian ini
dibawakan oleh pria yang berpakaian wanita. Tarian ini dinamakan tarian
Jaran Kepang, yang sangat berbeda dengan tarian kuda lumping.
lalu tarian pembukaan yang lainnya biasanya dibawakan oleh anak kecil
yang beraktraksi salto dan membawakan adegan lucu yang menghibur.
Setelah tarian pembukaan selesai, baru ditampilkan adegan inti yang
isinya bergantung kondisi dimana seni reog ditampilkan. Jika berhubungan
dengan pernikahan maka yang ditampilkan adalah adegan percintaan. Untuk
hajatan khitanan atau sunatan, biasanya cerita pendekar.
Adegan dalam seni reog biasanya tidak mengikuti skenario yang
tersusun rapi. Disini selalu ada interaksi antara pemain dan dalang
(biasanya pemimpin rombongan) dan kadang-kadang dengan penonton.
Terkadang seorang pemain yang sedang pentas dapat digantikan oleh pemain
lain bila pemain tersebut kelelahan. Yang lebih dipentingkan dalam
pementasan seni reog adalah memberikan kepuasan kepada penontonnya.
Adegan terakhir adalah singa barong, dimana pelaku memakai topeng
berbentuk kepala singa dengan mahkota yang terbuat dari bulu burung
merak. Berat topeng ini bisa mencapai 50-150 kg. Topeng yang berat ini
dibawa oleh penarinya dengan gigi. Kemampuan untuk membawakan topeng ini
selain diperoleh dengan latihan yang berat, juga dipercaya diproleh
dengan latihan spiritual seperti puasa dan tapa.
Warok
Warok sampai sekarang masih mendapat tempat sebagai sesepuh di
masyarakatnya. Kedekatannya dengan dunia spiritual sering membuat
seorang warok dimintai nasehatnya atas sebagai pegangan spiritual
ataupun ketentraman hidup. Seorang warok konon harus menguasai apa yang
disebut Reh Kamusankan Sejati, jalan kemanusiaan yang sejati.
Warok adalah pasukan yang bersandar pada kebenaran dalam pertarungan
antara kebaikan dan kejahatan dalam cerita kesenian reog. Warok Tua
adalah tokoh pengayom, sedangkan Warok Muda adalah warok yang masih
dalam taraf menuntut ilmu. Hingga saat ini, Warok dipersepsikan sebagai
tokoh yang pemerannya harus memiliki kekuatan gaib tertentu. Bahkan
tidak sedikit cerita buruk seputar kehidupan warok. Warok adalah sosok
dengan stereotip: memakai kolor, berpakaian hitam-hitam, memiliki
kesaktian dan gemblakan. Menurut sesepuh warok, Kasni Gunopati atau yang
dikenal Mbah Wo Kucing, warok bukanlah seorang yang takabur karena
kekuatan yang dimilikinya. Warok adalah orang yang mempunyai tekad suci,
siap memberikan tuntunan dan perlindungan tanpa pamrih. “Warok itu
berasal dari kata wewarah. Warok adalah wong kang sugih wewarah.
Artinya, seseorang menjadi warok karena mampu memberi petunjuk atau
pengajaran kepada orang lain tentang hidup yang baik”.“Warok iku wong kang wus purna saka sakabehing laku, lan wus menep ing rasa” (Warok adalah orang yang sudah sempurna dalam laku hidupnya, dan sampai pada pengendapan batin).
Syarat menjadi Warok
Warok harus menjalankan laku. “Syaratnya, tubuh harus bersih karena
akan diisi. Warok harus bisa mengekang segala hawa nafsu, menahan lapar
dan haus, juga tidak bersentuhan dengan perempuan. Persyaratan lainnya,
seorang calon warok harus menyediakan seekor ayam jago, kain mori 2,5
meter, tikar pandan, dan selamatan bersama. Setelah itu, calon warok
akan ditempa dengan berbagai ilmu kanuragan dan ilmu kebatinan.
Setelah
dinyatakan menguasai ilmu tersebut, ia lalu dikukuhkan menjadi seorang
warok sejati. Ia memperoleh senjata yang disebut kolor wasiat, serupa
tali panjang berwarna putih, senjata andalan para warok. Warok sejati
pada masa sekarang hanya menjadi legenda yang tersisa. Beberapa kelompok
warok di daerah-daerah tertentu masih ada yang memegang teguh budaya
mereka dan masih dipandang sebagai seseorang yang dituakan dan disegani,
bahkan kadang para pejabat pemerintah selalu meminta restunya.
Gemblakan
Selain segala persyaratan yang harus dijalani oleh para warok tersebut, selanjutnya muncul disebut dengan Gemblakan.
Dahulu warok dikenal mempunyai banyak gemblak, yaitu lelaki belasan
tahun usia 12-15 tahun berparas tampan dan terawat yang dipelihara
sebagai kelangenan, yang kadang lebih disayangi ketimbang istri
dan anaknya. Memelihara gemblak adalah tradisi yang telah berakar kuat
pada komunitas seniman reog. Bagi seorang warok hal tersebut adalah hal
yang wajar dan diterima masyarakat. Konon sesama warok pernah beradu
kesaktian untuk memperebutkan seorang gemblak idaman dan selain itu
kadang terjadi pinjam meminjam gemblak. Biaya yang dikeluarkan warok
untuk seorang gemblak tidak murah. Bila gemblak bersekolah maka warok
yang memeliharanya harus membiayai keperluan sekolahnya di samping
memberinya makan dan tempat tinggal. Sedangkan jika gemblak tidak
bersekolah maka setiap tahun warok memberikannya seekor sapi. Dalam
tradisi yang dibawa oleh Ki Ageng Suryongalam, kesaktian bisa diperoleh
bila seorang warok rela tidak berhubungan seksual dengan perempuan. Hal
itu konon merupakan sebuah keharusan yang berasal dari perintah sang
guru untuk memperoleh kesaktian.
Kewajiban setiap warok untuk memelihara gemblak dipercaya agar bisa
mempertahankan kesaktiannya. Selain itu ada kepercayaan kuat di kalangan
warok, hubungan intim dengan perempuan biarpun dengan istri sendiri,
bisa melunturkan seluruh kesaktian warok. Saling mengasihi, menyayangi
dan berusaha menyenangkan merupakan ciri khas hubungan khusus antara
gemblak dan waroknya. Praktik gemblakan di kalangan warok,
diidentifikasi sebagai praktik homoseksual karena warok tak boleh
mengumbar hawa nafsu kepada perempuan.
Saat ini memang sudah terjadi pergeseran dalam hubungannya dengan
gemblakan. Di masa sekarang gemblak sulit ditemui. Tradisi memelihara
gemblak, kini semakin luntur. Gemblak yang dahulu biasa berperan sebagai
penari jatilan (kuda lumping), kini perannya digantikan oleh remaja
putri. Padahal dahulu kesenian ini ditampilkan tanpa seorang wanita pun.
Pembarong
Selain warok, peran pembarong atau pemanggul darak merak, dalam
kesenian Reog Ponorogo, tidak bisa disepelekan. Apalagi kesenian ini
nyata mengandalkan kekuatan tubuh dan atraksi akrobatiknya. Seorang
pembarong, harus memiliki kekuatan ekstra. Dia harus mempunyai kekuatan
rahang yang baik, untuk menahan dengan gigitannya beban darak merak
yakni sebentuk kepala harimau dihiasi ratusan helai bulu-bulu burung
merak setinggi dua meter yang beratnya bisa mencapai 100-an kilogram
selama masa pertunjukan.
Sekali lagi kekuatan gaib sering dipakai pembarong untuk menambah
kekuatan ekstra ini. Semisal, dengan cara memakai susuk, di leher
pembarong. Untuk menjadi pembarong tidak cukup hanya dengan tubuh yang
kuat. Seorang pembarong pun harus dilengkapi dengan sesuatu yang disebut
kalangan pembarong dengan wahyu. Wahyu inilah yang diyakini para
pembarong sebagai sesuatu yang amat penting dalam hidup mereka. Bila tak
diberkati wahyu, tarian yang diperagakan seorang pembarong akan tampak
tidak enak dan tidak pas untuk ditonton.
Beberapa tahun yang lalu Yayasan Reog Ponorogo memprakarsai
berdirinya Paguyuban Reog Nusantara yang anggotanya terdiri atas
grup-grup reog dari berbagai daerah di Indonesia yang pernah ambil
bagian dalam Festival Reog Nasional. Hingga saat ini Reog ponorogo
menjadi sangat terbuka akan pengayaan dan perubahan ragam geraknya.
Bujang Ganong
Bujang Ganong juga memiliki titik sentral dalam pertunjukan Reog.
Bujang Ganong berperan sebagai pengalur cerita dalam pertunjukan. Bujang
Ganong juga biasanya beratraksi di dekat reog agar reog tersebut
bereaksi untuk menghampiri Bujang Ganong. Bujang Ganong juga beratraksi
lucu agar menarik tawa penonton. Biasanya mereka melakukan
kesalahan-kesalahan agar penonton tidak bosan dan merasa monoton. Dalam
alur cerita reog, tokoh bujang anom tersebut mengambarkan seseorang yang
memiliki ilmu kanuragan sangat tinggi melebihi warok tetapi berkarakter
lucu dan selalu membuat kekonyolan saat beratraksi. Bujang Ganong
merupakan gambaran dari Bujangga Anom yang berperan untuk memperingati
Raja Majapahit dari pemberontakan akan tetapi gagal karena tertahan oleh
pasukan raja. Karena itu dalam perannya Bujang Ganong sering meledek
Warok yang menggambarkan pasukan Raja yang kuat.
Untuk memainkan peran sebagai Bujang Ganong tidak mudah. Karena peran
tersebut mengharuskan pemainnya untuk pintar beratraksi salto dan
berbadan atletis. Apabila tidak sesuai dengan persyaratanya akan
menyebabkan kegagalan dalam atraksi reog ponorogo. Atraksi salto wajib
dimainkan karena itulah seni dari peran Bujang Ganong.
Kesimpulan
Indonesia memiliki seni budaya yang beranekaragam yang tersebar di
seluruh wilayah tanah air, dimana masing-masing daerah mempunyai seni
budaya tradisional yang khas, seperti Reog Ponorogo dari kabupaten
Ponorogo. Dalam kehidupan masyarakat, Reog Ponorogo digunakan sebagai
pengikat pergaulan sosial, perarakan pengantin pada acara perkawinan,
aset pariwisata serta sarana kritik bagi penguasa.
Karena itu kita harus menjaga kelestariannya karena sekarang ini
masyarakat mulai banyak yang melupakan tradisi kebudayaan Indonesia.
Masyarakat lebih bangga terhadap budaya asing dibandingkan budaya
sendiri. Bahkan budaya kita juga bayak yang diklaim oleh bangsa asing
salah satunya Reog Ponorogo ini yang diklaim oleh Malaysia. Padahal Reog
merupakan budaya asli Indonesia. Jadi siapa lagi yang harus
mempertahankan budaya negeri, kalau bukan kita sebagai generasi muda
yang harus tergerak hatinya untuk mempertahankan budaya tersebut.
Berikut Video Reog Ponorogo - Asli Indonesia :
seni budaya Indonesia memang sangat kaya. Informasi yang bagus gan. mohon mampirnya di blog sy ya di Media Budaya
BalasHapusseni budaya nasional harus kita jaga dan lestarikan, hidup Indonesia...ditunggu kunjungannya ya gan di blog sy Media Budaya
BalasHapus