Pura Giri Selaka, Alas Purwo, Banyuwangi
Ingin Jadi Sumbu Kebangkitan Majapahit
Ketika Kerajaan Majapahit runtuh abad ke-14, para manggala kerajaan
berucap, ”Boleh saja kerajaan mereka dihancurkan, tetapi tunggu lima
ratus tahun lagi anak cucu mereka akan bangkit dan menagih kembali
bekas wilayah Majapahit.
” Itulah yang diyakini sebagian besar umat Hindu Banyuwangi,
sehingga kini ada kebanggaan bagi mereka untuk kembali ke agama Hindu.
Semangat itulah yang menyertai pelaksanaan piodalan di Pura Giri
Selaka, Alas Purwo, pada hari Pagerwesi, Rabu (11/9) lalu. Bagaimana
kondisi umat Hindu di sekitar Ala Purwo saat ini? Masalah apa yang
dihadapi umat Hindu di sana untuk kembali kepada jati diri sebagai
Hindu?
Mendengar nama Alas Purwo, imajinasi orang pasti akan tertuju pada
sebuah kawasan hutan lebat. Hal itu memang benar, Alas Purwo adalah
sebuah kawasan hutan Taman Nasional di bawah lingkup Departemen
Kehutanan dan Perkebunan. Lantas apa hubungannya antara Pura Giri
Selaka dan Alas Purwo itu?
Itulah fenomena yang tampaknya mengiringi keberadaan hampir semua
pura bersejarah, tidak saja di Bali namun juga di Jawa. Untuk menuju
Pura Alas Purwo yang disungsung umat Hindu Kecamatan Tegaldlimo,
Banyuwangi, para pemedek mesti memasuki kawasan hutan Taman Nasional
Alas Purwo. Dari pintu depan kawasan hutan Taman Nasional, diperlukan
waktu satu jam menuju Pura Giri Selaka dengan kondisi jalan yang belum
beraspal.
Di kanan-kiri kita hanya berjejer hutan jati, dan jumlah masyarakat
yang lewat pun bisa dihitung dengan jari. Bagi pemedek yang tidak
menggunakan kendaraan pribadi, masyarakat sekitar menyiapkan sebuah
angkutan tradisional yang lazim disebut grandong. Angkutan ini mirip
sebuah mobil truk, akan tetapi mesinnya menggunakan mesin genset. Harga
sewanya menuju Pura Giri Selaka sekitar Rp 2.500 per sekali angkut.
Untuk menemukan Pura Giri Selaka, memang harus siap banyak bertanya
kepada masyarakat di sepanjang perjalanan. Jika tidak, jangan harap
perjalanan bisa lancar, apalagi baru sekali-dua kali ke tempat tujuan.
Pasalnya, banyak cabang jalan yang tanpa pelang nama Alas Purwo,
sehingga perjalanan dari Bali menuju Alas Purwo bisa kita tempuh 9-10
jam dengan kondisi seperti itu.
Pura Giri Selaka berada di tengah hutan dan sekitar tiga
kilometernya adalah kawasan wisata pantai Plengkung, bibir Alas Purwo
itu sendiri. Di kawasan ini, memang tidak ada satu pun rumah penduduk.
Kalau mau bermalam, pihak pengelola Taman Wisata menyediakan sejumlah
penginapan sederhana, jaraknya sekitar satu kilometer dari Pura Giri
Selaka. Meski tersedia sejumlah penginapan, tampaknya para pemedek yang
ingin tangkil ke Pura Giri Selaka lebih memilih makemit di areal pura.
Apalagi, areal pura saat ini telah mencapai luas dua hektar hasil
pemberian Menteri Kehutanan sebagai penanggung jawab Taman Nasional
bersangkutan.
Menurut sesepuh umat Hindu Tegaldlimo, Pemangku Ali Wahono,
sebetulnya Pura Giri Selaka ditemukan secara tidak sengaja oleh umat di
sekitarnya pada tahun 1967. Saat itu, masyarakat Kecamatan Tegaldlimo
melakukan perabasan terhadap sejumlah kawasan hutan Alas Purwo untuk
bercocok tanam. Daerah di sekitar pura pun tampak cukup makmur dengan
hasil palawijanya. Suatu ketika, di tempat berdirinya Pura Alas Purwo
yang oleh masyarakat disebut Situs Alas Purwo, ada sebuah gundukan
tanah.
Masyarakat ingin meratakan dan menjadikan lahan cocok tanam. Tanpa
diduga, ada bungkahan-bungkahan bata besar yang masih tertumpuk. Persis
seperti gapura kecil. Lantas masyarakat sekitarnya membawa bungkahan
bata-bata itu ke rumahnya. Ada yang menjadikan bahan membuat tungku
dapur, ada juga untuk membuat alas rumah. Rupanya, keluguan masyarakat
itu telah menyebabkan munculnya musibah bagi warga yang mengambil
bata-bata tersebut.
Selang beberapa saat setelah mengambil bata itu, semuanya jatuh
sakit. Pada saat itulah, ada sabda agar bongkahan batu bata tersebut
dikembalikan ke tempatnya semula. Bongkahan-bongkahan itu adalah tempat
petapakan maharesi suci Hindu zaman dulu. Meski belum ada catatan
resmi dalam prasasti, masyarakat mempercayai yang malinggih di situs
Pura Alas Purwo adalah Empu Bharadah. Tetapi, ada juga yang menyebut
Rsi Markandiya sebelum mereka menuju Bali. Selanjutnya, masyarakat
setempat sangat yakin dengan kekuatan dan kesucian situs Alas Purwo
tersebut. Sampai ada keinginan seorang warga untuk memagari situs itu
agar aman dari jangkauan orang jahil. Akan tetapi, belum sampai tuntas
mewujudkan keinginannya, warga tersebut keburu meninggal. Dari kejadian
itu didapatkan sabda, kalau situs Alas Purwo itu wajib dipuja semua
umat manusia di muka bumi ini tanpa dibatasi sekat-sekat golongan.
Kemudian ada upaya dari pihak Dinas Purbakala untuk menjadikan situs
Alas Purwo sebagai benda peninggalan sejarah. Di sisi lain, umat Hindu
yang mayoritas bertempat tinggal di sekitar Mariyan — nama kawasan
yang telah dibabat hutannya itu — tetap meyakini kalau situs itu adalah
milik nenek moyang Hindu zaman dulu. Untuk menghindari adanya kejadian
yang tak diinginkan, umat Hindu akhirnya membuatkan sebuah pura,
sekitar 65 meter dari situs Alas Purwo saat ini. Sementara situs itu
sendiri dibiarkan seperti semula, namun tetap menjadi tempat pemujaan
bagi semua umat manusia, tak terbatas hanya umat Hindu.
Bicara soal kesucian dan keajaiban situs Alas Purwo ini, memang
berderet peristiwa menjadi pengalaman masyarakat penyungsung-nya.
Itulah sebabnya, sejumlah pejabat maupun mantan pejabat terkenal pernah
melakukan pemujaan di situs Alas Purwo ini. Tujuannya pun
bermacam-macam. ”Hampir semua yang di-tunas, kesuecan Ida Batara yang
malinggih di sini. Hanya, semua kembali kepada swakarma-nya,” ujar
Mangku Adi, salah seorang pemangku setempat. Seiring dengan perjalanan
waktu, pada tahun 1972 ada kebijakan Departemen Kehutanan dan Perkebunan
untuk menagih kembali lahan hasil rabasan penduduk di kawasan Mariyan
tersebut. Secara bertahap lahan dikembalikan menjadi hutan jati seperti
sekarang ini, dan semua penduduk yang melakukan perabasan hutan itu
kembali ke kampung masing-masing. Proses pengembaliannya ini selesai
pada tahun 1975. Setelah itulah, situs Alas Purwo tinggal pada
kesendiriannya, jauh dari rumah penduduk.
Meski demikian, Departemen Kehutanan memberikan kebebasan kepada
mayarakat yang ingin melakukan persembahyangan atau pun meditasi di
situs tersebut. Apalagi, umat Hindu yang kini telah kembali ”pulang” ke
kawitan-nya setelah peristiwa G-30-S/PKI tahun 1965 lalu. Mereka
beranggapan sekaranglah kebangkitan Hindu itu akan terbukti, setelah
500 tahun runtuhnya Majapahit pada abad ke-14. Dan, itu salah satunya
dimulai dari kerinduan umat Hindu Banyuwangi untuk menelesuri jejak
nenek moyangnya. Diharapkan, dari situs Alas Purwo inilah bisa jadi
sumbu penghubung Hindu tanah Jawa kelak. * Agus Astapa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar