Geng motor bukan fenomena baru. Jika ditelisik, akarnya sudah ada
sejak tahun 1970-an. Di dekade itu pula, motor muncul tidak sebagai
benda tunggangan, tapi juga ikon pemberontakan. Hal ini terwujud lewat
film-film kita masa itu.
Tengok adegan ini. Jalanan yang damai itu tiba-tiba dibikin ribut
oleh deru suara motor. Beberapa motor melintas. Pengendaranya
ugal-ugalan. Ada yang naik motor sambil berdiri. Kamera lalu menyorot
rambu lalu lintas dilarang masuk seolah hendak mengatakan mereka telah
melanggar hukum.
Geng motor tersebut berhenti di sebuah bar. Menjemput teman yang minum-minum lalu bayar hanya 100 rupiah. Mau latihan band, kata salah seorang dari mereka. Mereka mengusai jalanan lagi seolah milik nenek moyangnya. Ada tukang roti melintas mereka ganggu sampai si tukang roti kabur. Ke tukang rokok pinggir jalan, mereka ambil rokok satu dus tanpa membayar. Sepanjang jalan geng motor ini ugal-ugalan tiada henti. Jalan meliuk-liuk, ciuman di tengah jalan, sampai berhenti di lampu merah bikin jalanan macet.
Geng motor tersebut berhenti di sebuah bar. Menjemput teman yang minum-minum lalu bayar hanya 100 rupiah. Mau latihan band, kata salah seorang dari mereka. Mereka mengusai jalanan lagi seolah milik nenek moyangnya. Ada tukang roti melintas mereka ganggu sampai si tukang roti kabur. Ke tukang rokok pinggir jalan, mereka ambil rokok satu dus tanpa membayar. Sepanjang jalan geng motor ini ugal-ugalan tiada henti. Jalan meliuk-liuk, ciuman di tengah jalan, sampai berhenti di lampu merah bikin jalanan macet.
Itulah bagian awal film Darah Muda (1977) yang dibintangi
Rhoma Irama yang sedang menapaki karier menuju tahta sang raja dangdut.
Tentu, bukan Rhoma yang bertingkah ugal-ugalan di jalanan itu. Justru
Rhoma yang kemudian berhadapan dengan geng motor kelompok musisi rock
Apache, tempatnya dulu bernaung sebagai anggota band sebelum akhirnya
memilih dangdut.
Filmnya utamanya berkisah soal konflik musisi rock versus penyanyi
dangdut. Namun, menarik juga menengok bagaimana motor digambarkan di
film ini.
Rocker Bermotor
Pertama-tama, sineasnya (film ini disutradarai Maman Firmansjah dan skenarionya ditulis Sjuman Djaya) melabelkan motor identik dengan musisi rock. Kayaknya nggak keren kalau anak rock tak pakai motor. Tapi pakai motor saja tak cukup. Rocker kalau pakai motor menguasai jalanan selayaknya raja. Di jalan, rocker bertingkah ugal-ugalan seenaknya dengan motor.
Bagi kebanyakan anak muda hingga tahun 1970-an, motor adalah impian.
Hanya segelintir anak muda yang punya motor. Kebanyakan mereka ke
sekolah naik sepeda atau naik angkutan umum becak, opelet, atau bus. Tak
jarang anak muda zaman itu memajang gambar motor di kamar. Motor telah
menjadi citra cowok gagah. Mereka terkesan pada geng motor yang
bertingkah ugal-ugalan seperti di film-film Hollywood, seperti
dicitrakan geng motor Hells Angels.
Hells Angels menjadi nama yang tenar karena kebrutalannya. Mereka disebut sebagai outlaw motorcycle club,
geng motor liar yang pertama dibentuk di California, AS, pada 1948.
Catatan buruk mereka terpatri hingga kini ketika Hells Angels disewa
menjaga keamanan konser grup rock Rolling Stones di Altamont,
California, pada 1969. Bukannya menjaga keamanan, konser itu malah rusuh
hingga jatuh korban tewas. Namun, peristiwa itu malah makin membuat
nama Hells Angels makin dikenal. Mereka dianggap sebagai counter
culture, simbol anti kemapanan, tak takut hukum. Pengaruh anti kemapanan
geng motor motor klop dengan citra rocker. Maka, rocker pun bermotor
agar citra yang disampaikannya makin kentara.
Namun, di era Orde Lama Soekarno sikap anti kemapanan ini relatif
berhasil dibendung. Soekarrno melarang musik Barat yang disebutnya “ngak
ngik ngok” hingga memenjara Koes Plus segala. Saat Soekarno jatuh dan
Orde Baru yang lebih pro Barat berkuasa di akhir 1960-an, pengaruh
budaya Barat, termasuk counter culture-nya pula ikut terimpor tanpa
filter ke sini.
Namun, karena pada dasarnya kita orang Asia, pasar motor kemudian
dikuasai Jepang, bukan Amerika atau Eropa. Produk Jepang yang relatif
lebih murah dan ukuran motornya lebih sesuai dengan postur orang Asia,
membuatnya jadi pilihan. Produk motor Jepang muncul sejak awal tahun
1960-an. Waktu itu yang punya motor masih sedikit, hanya anak muda dari
kalangan menengah atas.
Di
paruh kedua 1960-an, motor Jepang makin mengusai jalanan menyingkirkan
motor-motor Eropa seperti BMW, Harley Davidson, Norton, Ducatti, dan
beberapa merek lain. Di akhir 1960-an dan awal 1970-an, saat Orde Baru
semakin membuka hubungan baik dengan Jepang, motor-motor Jepang juga
semakin banyak di jalanan jadi tunggangan pribadi anak-anak muda.
Roy Marten dan Ali Topan, Simbol Anak Muda ’70-an
Salah satunya Roy Marten. Aktor gaek ini mengalami masa muda di era 1960-an dan 1970-an di Salatiga, Jawa Tengah. Roy termasuk anak muda yang punya motor di kota itu. “Saya hitung waktu itu anak muda Salatiga yang punya motor hanya 9 orang. Jadi, dengan mendengar suara motornya saja, saya tahu itu motor siapa,” kata Roy seperti dikutip Kompas, 20 November 2005.
Dari kecintaannya pada motor, Roy mereka-reka cerita dengan Masmbez membuat skenario film Roda-roda Gila
pada 1978. Dibesut Dasri Yacob, film itu melibatkan Roy dan Yati
Octavia sebagai bintang utama. Roy mengisahkan seorang superstar balap
motor yang egois bernama Troy yang diperankannya sendiri. Dia tidak saja
jago balap motor, tapi juga jago merayu cewek. Salah satu pengagumnya,
Inggrid (Yati Octavia) dikencaninya lalu hamil. Tapi, Troy ogah tanggung
jawab. Kakak Ingrid, Yopie (Rudy Salam) yang juga pembalap ingin
menghancurkan Troy.
Menarik menyimak bagaimana Troy yang sombong dan ogah bertanggung
jawab pada cewek yang dihamilinya justru tetap ditempatkan sebagai
protagonis di film ini. Penonton diajak berpihak padanya, walau sifatnya
tak terpuji. Sineasnya malah tetap mencitrakan Troy dan motornya
sebagai sosok keren. Seolah-olah dengan tampang ganteng dan tunggangan
motor keren, bertingkah sombong dan tak bertanggung jawab pun tak
mengapa.
Roy Marten di era 1970-an memang sosok hero pujaan di layar lebar.
Para wanita menginginkannya, sedang para pria mendamba ingin seperti
dirinya. Remaja zaman itu melihatnya lagi jadi sosok keren penakluk
cewek di film Kampus Biru.
Motor yang digunakan Roy di Roda-roda Gila adalah jenis
motor yang saat itu lazim disebut motor trail, jenis motor hyang
digunakan di lomba motocross yang mulai ngetren di tahun 1970-an. Jenis
motor ini pula yang digunakan Ali Topan si anak jalanan. Di film Ali Topan Anak Jalanan,
Ali dan kawan-kawannya mengarungi jalanan dengan motor trail. Filmnya
yang rilis 1977 diangkat dari cerita bersambung di majalah Stop pada
awal 1970-an karya Teguh Esha.
Baik di novel dan filmnya, Ali Topan digambarkan sebagai anak yang
dibesarkan di jalanan. Ibunya sibuk dengan urusannya sendiri, sedang
ayahnya keluar masuk hotel dengan perempuan lain. Di jalan, dengan
motornya, Ali menemukan jati dirinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar