Jumat, 25 Mei 2012

Lady Gaga Dipastikan Tampil Sesuai dengan Budaya Indonesia

Pihak promotor dan berbagai instansi pemerintahan akan menggelar sosialisasi mengenai konser Lady Gaga. Si 'Mother Monster' dipastikan akan tampil sesuai dengan budaya Indonesia.

Promotor konser Lady Gaga, Big Daddy mengirimkan surat undangan yang diterima detikHOT, Kamis (24/5/2012). Dalam surat tersebut pihaknya mengundang media untuk meliput jalannya sosialisasi mengenai pelaksanaan konser tersebut.

"Bahwa sesuai dengan hasil rapat koordinasi instansi terkait mengenai pelaksanaan konser 'Lady Gaga' pada tanggal 24 Mei 2012 di Kantor Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta yang dihadiri oleh Dinas Pariwisata Provinsi DKI Jakarta, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi DKI Jakarta, Polda Metro Jaya, Kementrian Politik Hukum Keamanan, Kementrian Pariwisata, Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta dan Komisi Penilai Kegiatan Hiburan Daerah yang meminta kami selaku pihak promotor konser 'Lady Gaga' untuk melakukan sosialisasi terkait dengan tata cara konser Lady Gaga di Indonesia," tulisnya.

Sosialisasi tersebut akan digelar di kawasan Senayan, Jumat 25 Mei 2012. Pihak promotor juga mengaku akan menyesuaikan penampilan pelantun 'Born This Way' itu.

"Big Daddy selaku promotor konser akan mensosialisaikan tata cara Lady Gaga pada saat konser di Jakarta nanti, pihak promotor akan menyesuaikan penampilannya pada saat konser sesuai dengan budaya bangsa Indonesia," terangnya.

Jejak Nazi di Megamendung Bogor Jawa Barat


Deretan makam itu tampak asri dan teduh dalam rimbun pohon Kamboja. Hawa terasa sejuk dan segar karena berada di daratan setinggi 1.000 meter di atas permukaan laut Gunung Pangrango menjadi penghias latar pemandangan menjadi semakin indah.

Tugu Makam Tentara Jerman yang gugur dalam perang dunia I di sebuah pegunungan di Megamendung, Bogor, Jawa Barat.


Namun, ini bukan makam warga setempat, nama yang tertera adalah nama asing. Salib menjadi penanda batu nisan makam tersebut. Salib ini pun berbeda bentuknya, yaitu simetris dengan bentuk melebar ke arah setiap ujungnya, hampir seperti kembang empat helai. Eisernes Kreuz atau Salib Besi, itulah nama asli salib ini. Ini adalah salib lambang militer tentara Jerman.

Pemakaman seluas 300 meter persegi ini ada di dalam wilayah perkebunan PTP Nusantara VIII di Cikopo, Desa Sukaresmi, Kecamatan Megamendung, Bogor, Jawa Barat. Hanya sekitar 70 km ke selatan Jakarta. Namun untuk menuju lokasi, jalannya memang berkelak-kelok lalu melewati dua pesantren.

Pemakaman yang berisi 10 jenazah tentara Jerman ini adalah saksi bisu kehadiran pasukan Nazi Jerman di Indonesia dalam Perang Dunia II. Namun, warga setempat pun tidak menyadarinya. Mereka justru menduga itu makam orang Belanda. Padahal di dekat pintu masuk pemakaman, ada prasasti dari Kedubes Republik Federal Jerman di Jakarta. 'Deutscher Soldatenfriedhof' atau Taman Makam Tentara Jerman.


Lurah Sukaresmi, Asep Sudayat, juga tidak bisa bercerita banyak. Menurut dia, makam ini sudah ada sejak tahun 1930-an. "Memang orang sini tidak begitu tahu persis sejarah keberadaan mereka ini, tahu-tahu sudah ada. Soalnya dulu ini sulit ditempuh, karena jalanan yang masih berbatu dan baru satu tahun lalu diaspal," jelasnya.

Namun, sejumlah dokumen ilmiah yang ditelusuri detikcom akhirnya bisa mengungkap
kisahnya lebih jelas. Adalah Herwig Zahorka, sejarawan Jerman yang pernah menerbitkan tulisan soal makam ini pada 2001 dalam sejumlah artikel. Menurut Herwig, ini adalah makam para tentara angkatan laut Jerman pada Perang Dunia II. Namun, lokasi ini sudah dimiliki orang Jerman sejak 1920-an.

Adalah kakak beradik dari Jerman, Emil dan Theodor Hellferich yang membeli tanah di Sukaresmi seluas 900 hektar dan membangun perkebunan teh, usai Perang Dunia I. Pada 1926, mereka lalu membangun tugu untuk mengenang teman-teman mereka yang gugur dalam PD I. Tugu itu bertuliskan, 'Dem Tapferen Deutsch-Ostasiatischen Geschwader 1914' atau Armada Jerman-Asia Timur yang Gagah Berani 1914. Nah, selama mereka membangun perkebunan teh, banyak orang Jerman lain yang bergabung dengan mereka. Ada dokter, insinyur, tukang kayu, seniman dan lain-lain. Helfferich bersaudara kembali ke Jerman pada tahun 1928 dan perkebunan teh diurus oleh Albert Vehring.

Akhirnya Perang Dunia II meletus pada 1939. Adolf Hitler yang disokong oleh Partai Nazi mendeklarasikan perang. Belanda ikut diinvasi Jerman. Hal itu pun berbalas di Hindia Belanda. Tentara Belanda menangkapi warga Jerman di Hindia Belanda, termasuk para pengurus perkebunan teh. Mereka dikirim ke kamp tawanan perang dan perkebunan teh mereka diambil paksa oleh Belanda.

Namun hal itu pun tidak berlangsung lama. Jepang yang merupakan sekutu Jerman, menaklukkan Belanda pada 1943. Tentara Jerman pun masuk lagi ke Jawa bersama Jepang, namun rupanya masuknya tentara Adolf Hitler ini tidak tercatat dalam sejarah. Mereka adalah Angkatan Laut Nazi Jerman (Kriegsmarine) dari armada kapal selam (U-Boot) U-195 dan U-196. Mereka mengambil alih lagi kebun teh di Sukaresmi.

Seperti dicatat sejarah, Jerman dan Jepang kalah dalam Perang Dunia II. Para tentara Jerman ini pun gugur satu persatu, dan 10 di antaranya dimakamkan di Megamendung. Mereka adalah:

1. Letnan Friederich Steinfeld, meninggal karena disentri dalam tawanan pasukan sekutu
2. Letnan Satu Laut Willi Schlummer, dan
3. Letnan Insinyur Wilhelm Jens, keduanya gugur di tangan pejuang kemerdekaan Indonesia pada 1945 karena disangka tentara Belanda
4. Letnan Laut W Martens, terbunuh dalam perjalanan kereta api Jakarta-Bogor
5. Kopral Satu Willi Petschow, meninggal karena sakit di perkebunan teh mereka
6. Letnan Kapten Herman Tangermann meninggal karena kecelakaan
7. Dr Heinz Haake
8. Eduard Onnen
9 & 10. Dua makam 'Unbekannt' atau tanpa nama.

Goyang Dangdut Gerobak Keliling

Malam mulai larut saat empat orang mendorong gerobak di tepi jalan raya Lenteng Agung. Isi gerobaknya adalah seperangkat pengeras suara, gitar, gendang, suling dan organ tunggal. Mereka ditemani seorang perempuan yang berjalan sambil berlenggak-lenggok.

Di depan sebuah ruko yang punya parkiran lebar, mereka pun berhenti. Alat-alat musik yang mereka bawa mulai disetel. Denting gitar, tepuk gendang dan tiup suling sesekali dibunyikan sambil mencari nada yang pas. Alat musik siap, konser pun dimulai.

"Selamat malam duhai kekasih......" sang biduan membawakan lagu milik Evie Tamala.

Orang-orang yang lalu lalang sejenak berhenti. Para pedagang, tukang rokok, semua ikut mendengarkan musik Melayu ini sambil berharap lebih banyak lagi orang yang berkumpul. Syukur-syukur mereka membeli sesuatu. Sang biduan pun berkeliling tempat konsernya sambil meminta imbalan penonton. Uang Rp 1.000-10.000 pun berpindah tangan.

"Kalau ramai penontonnya, kita mangkalnya agak lamaan, Mas," kata Leni (30), sang biduan, di sela-sela pentasnya di Jalan Lenteng Agung, Jakarta Pusat, Minggu (10/4/2010) malam.

Belum lama bercakap-cakap, seorang tukang ojek meminta Leni menyanyikan lagu 'SMS' dari Trio Macan. Leni pun langsung meminta keempat rekannya, Bejo, Anto, Rudi dan
Koirul memainkan alat musiknya masing-masing. Pengeras suara bertenaga aki mobil ini pun langsung berdentum kencang mengikuti irama enerjik lagu dangdut itu. Leni pun menggoyang pinggulnya sambil bernyanyi. Para penonton pun terlihat senang dan berjoget ria.

Aksi mereka pun menjadi perhatian sejumlah pengendara mobil dan motor. Hitung-hitung melepas lelah dalam perjalanan. Beberapa pengendara motor beristirahat tak jauh dari sebuah warung rokok untuk minum teh botol sambil melihat biduan orkes keliling itu. Hampir satu jam lebih, grup orkes 'OM Obral' beraksi. Uang hasil pentas di jalanan itupun langsung dihitung Bejo.

"Nama orkes Obral, itu diambil dari nama depan kita semua. Rute kita biasanya Depok, Lenteng Agung hingga Pasar Minggu," kata Leni usai bernyanyi dangdut.

Sambil mengepulkan asa rokoknya, Leni bercerita kalau dia sudah 6 tahun menyanyi dangdut keliling. Dia adalah satu-satunya perempuan di grup orkes dangdut keliling ini. Tapi, Leni mengaku tidak risi. Memang selama mentas di jalanan, ada saja pria yang mengodanya.

"Tapi saya nggak takut, kan ada temen laki-laki di sini. Tapi ya namanya mengoda biasa itu mah. Jarang yah, kalau yang sampai kurang ajar," ujarnya.

Hal itu juga dibenarkan Anto, pria berumur 35 asal Sragen, Jawa Tengah ini. Anto sudah hampir 10 tahun menjalani profesi sebagai pemain orkes dangdut keliling. Tapi, selama itu belum pernah ada penonton yang mengganggu termasuk kepada vokalisnya. "Ya, biasa saja. Masyarakat yang menonton atau yang memanggil kita juga masih menghormati. Mungkin mereka ini pengemar musik yang kepingin hiburan, Mas," kata Anto.

Anto menceritakan, dalam sehari mereka bisa mengumpulkan Rp 200.000-400.000. Namun itu harus dibagi lima. Artinya dalam sehari mereka mengantungi uang Rp 40.000-80.000. Anto mengaku, sebagian besar personel OM Obral ini mengontrak di rumah petak sederhana di kawasan Jagakarsa, Jakarta Selatan. Namun, kalau sedang bertugas berkeliling untuk mengamen, kadang mereka tidak pulang satu hingga dua hari.

"Ya kalau belum dapat atau memang kita lagi cari tempat bermain baru. Lumayan Mas, dorongnya juga jauh, ditambah nggak mandi-mandi," kata dia tergelak.

Dangdut keliling seperti OM Obral ini bisa ditemukan di berbagai tempat di Jakarta, misalnya Jatinegara, Klender, Jagakarsa, Senen, termasuk Blok M dan Melawai. Satu hal lagi, dangdut keliling biasanya hanya muncul malam hari. "Biasanya kita keluar antara sore hari hingga malam hari, bahkan pagi baru pulang," pungkas Anto.

Tetap Dangdut Sepanjang Jalan

Para pengamen jalanan banyak yang belajar bermusik otodidak. Sebagian memilih musik dangdut, seperti misalnya gerobak dangdut keliling. Orkes Melayu ini tidak pernah kehilangan penggemar di jalanan.

Misalnya saja Orkes Melayu (OM) Obral. Setiap malam mereka beredar dengan gerobak dari Lenteng Agung sampai Pasar Minggu. Mereka mengajak warga bergoyang lewat irama dangdut. Meskipun hanya pengamen dangdut jalanan, musik mereka bukan asal-asalan.
"Nggak asal jrang-jreng main gitar. Orang bisa main gitar banyak, tapi untuk mengklopkan dengan irama alat musik lainnya termasuk dengan nada dan syair lagu, ini yang harus diasah tiap hari," kata Anto, pemain gitar melodi OM Obral kepada detikcom, saat rehat pentas dangdut di Lenteng Agung, Jakarta Selatan, Minggu (10/4/2010) malam.

Anto belajar main gitar sejak SMP di Sragen, Jawa Tengah. Dia belajar dari teman-temannya. Kenapa dangdut? Anto mengaku, mulai menggemari lagu dangdut sejak kecil. Dari kegemarannya mendengarkan lagu dangdut itu, tentunya setiap lagu dia menghapal kunci dan nada, serta iramanya. Tapi sebenarnya, Anto bisa juga memainkan lagu pop atau rock.

"Tapi biasanya masyarakat yang senang orkes keliling, pasti dangdut. Dan ini pasti cepat menyedot perhatian juga," ungkapnya.

Anto dan teman-teman OM Obral, berlatih dengan mendengarkan lagu dangdut dari VCD atau DVD. Leni, sang vokalis juga berlatih bernyanyi sambil karaokean. Menurut Leni, walaupun suaranya tidak terlalu bagus, yang penting harmonis dengan pemain musik lainnya.

"Keluarga di Sragen mendukung saja. Mereka nggak marah. Kan ini kerja halal dan bukan yang enggak-enggak," imbuhnya.

Semua personel OM Obral, punya harapan mereka tidak selamanya berada di jalanan. Mereka juga punya mimpi bisa tampil di panggung dangdut bahkan jadi penyanyi terkenal. "Tapi kalo takdir Tuhan berkata lain, mungkin terus ngamen sampai tua atau alih profesi," pungkas Anto.

Pentas dangdut di parkiran ruko Lenteng Agung itu pun selesai. OM Obral kembali mendorong gerobak mereka. Tujuannya adalah Pasar Minggu. Di sana mereka akan kembali menggoyang warga dengan irama dangdut sepanjang jalan.