Kamis, 07 April 2011

A Long Bocah Yatim Piatu yang Terkucilkan

A Long, seorang anak pengidap HIV yang hidup sebatang kara di kaki gunung di daerah Guangxi, China. Kedua orang tuanya udah meninggal akibat digerogoti AIDS. Yang bikin gua miris, orang-orang di kampungnya mengucilkan anak itu, sehingga si A Long (nama anak itu) harus melakukan segala sesuatunya SENDIRI. Mulai dari bangun tidur, mencuci pakaian, memberi makan ayam, anjing, hingga belajar dikerjakan sendiri. Malah si A Long belajar membaca sendiri!


Si Tegar A Long

Satu-satunya yang menemani A Long hanyalah seekor anjing hitam yang bernama Lao Hei. Yah, si anjing memang najis, tapi jauh lebih bermartabat daripada orang-orang desanya yang tega mengucilkannya. Mereka takut kalo keberadaan si A Long bikin desanya tertular wabah AIDS. Satu-satunya sanak keluarga yang dimiliki oleh A Long adalah neneknya. Kadang si nenek datang ke lokasi A Long dikucilkan untuk berkunjung. Kalo sudah begitu, si A Long untuk beberapa saat terbebas dari pekerjaannya sehari-hari dan bebas bermain-main dengan anjing kesayangannya. Itu pun si nenek gak datang tiap hari. Patut disayangkan kalo si A Long tidak tinggal bersama neneknya, bisa jadi si nenek agak takut tertular virus HIV.


Kamar Si A Long yang sederhana banget

Meski di desanya punya klinik, tapi klinik tersebut kadang dokternya gak mau mengobati si A Long. Dulu si A Long sempat kena luka bakar. Dokter kliniknya gak berani mengobatinya. Akhirnya hanya diolesi sendiri oleh A Long pake salep antiseptik. Soal sekolah, pernah si A Long dimasukkan ke sekolah dasar di desanya selama 1 semester. Tapi karena para wali murid keberatan atas keberadaan si A Long dan HIV-nya, akhirnya pihak sekolah tidak bisa berbuat banyak.



A Long lagi asyik bermain


Yang bikin gua terenyuh adalah ketegaran si A Long. Dia begitu tegar menjalani hidup yang sangat keras untuk anak seumurannya. Mungkin baginya, kehadiran si Lao Hei dan orang-orang baik yang kadang datang mengunjunginya sudah cukup membuatnya bahagia. Makannya pun dia masak sendiri, kadang hanya ditemani oleh nasi dan sayur tanpa garam dan minyak. Bagi A Long, itu sudah cukup. Apalagi dapat kiriman mie dan buah-buahan. Semuanya ia sukuri dengan sepenuh hati.


Anjing Kesayangannya si A Long









Sedang metikin sayuran buat dimasak sendiri



manggul kayu bakar



Ini neneknya



lagi belajar



Santap makan yang sangat sederhana


Mungkin di Indonesia anak semacam A Long juga ada, malah cukup banyak jangan-jangan. Tapi bagi saya, kisah si A Long sudah cukup membuat hati saya bergetar. Saya berharap semoga A Long segera mendapat penanganan yang semestinya. Dan saya berharap gak perlu ada lagi A Long- A Long yang lain di muka bumi ini.

sumber: chinasmack.com


Gagahnya Jalasveva Jayamahe


Monumen Jalesveva Jayamahe (Monjaya) merupakan suatu bukti hasil karya besar dan sangat mengagumkan karya anak bangsa. Suatu pewarisan nilai sejarah yang tinggi, sebagai cerminan kebesaran bangsa Indonesia sebagai bangsa bahari. Makna lain dari sosok patung ini adalah sebagai simbol kesiapan menerima tongkat estapet pengabdian dari generasi ke generasi berikutnya.

Monumen ini berbentuk patung setinggi 30,6 meter yang ditopang oleh Gedung setinggi 30 meter. Patung ini menggambarkan seorang Perwira TNI Angkatan Laut lengkap dengan pedang kehormatannya berdiri tegak menatap ke arah laut dengan penuh keyakinan dan kesungguhan siap menerjang ombak dan menempuh badai menuju arah yang telah ditunjukkan yaitu cita-cita bangsa Indonesia.


Monumen yang dibangun atas inisiatif Kepala Staf TNI Angkatan Laut pada waktu itu, Laksamana TNI Muhamad Arifin dan dirancang oleh Nyoman Nuarta tersebut dapat berfungsi pula sebagai menara Lampu Pemandu (Mercu Suar) bagi kapal-kapal yang berlayar di sekitarnya. Persis dibawah monumen terdapat gong raksasa Kyai Tentrem, bergaris tengah 6 meter dan berat lebih dari 2 ton.

Monumen Jalesveva Jayamahe diambil dari semboyan TNI AL yang berarti "di laut kita jaya" tingginya 60 meter. Bangunan itu terdiri dari gedung beton bundar empat lantai 30 meter yang dijadikan tumpuan patung tembaga setinggi 30 meter. Pada bagian dinding gedung ini dibuat diorama sejarah kepahlawanan pejuang-pejuang bahari (TNI AL) sejak jaman prarevolusi phisik sampai tahun 90-an.


Sedangkan gedung penopangnya berfungsi sebagai Museum TNI AL dan sekaligus juga sebagai “Eksekutif Meeting Room”. Patung itu menggambarkan seorang Kolonel TNI Angkatan Laut dengan pakaian dinas upacara (PDU 1). Tangan kanannya berkacak pinggang dan tangan kirinya memegang pedang komando. Mata sang kolonel menatap ke laut luas. Pada lantai dasar bangunan bundar itu gong Kyai Tentrem dipajang.

Menurut Kepala Staf TNI AL Laksamana Madya Arief Kushariadi, perwira yang dipatungkan sengaja diberi pangkat Kolonel. "Karena kolonel merupakan jenjang seorang perwira memasuki tahap matang dan siap memasuki jabatan teras," katanya. Mengapa memandang ke laut ?
" Karena masa depan kita ada di lautan," katanya lagi. Pihak Angkatan Laut,
kata Arief, ”berharap pula agar monumen ini akan menjadi andalan wisata
pantai di Surabaya.


Monumen ini dibangun sejak 1990 dan diresmikan pada bulan Desember 1996 yaitu bertepatan dengan hari Armada RI tanggal 5 Desember 1996 oleh Presiden Soeharto, dengan biaya Rp 27 milyar. Patung itu disebut-sebut tertinggi kedua di dunia setelah Patung Liberty, 85 meter, yang berada di mulut pelabuhan New York. Sang kolonel itu berangka baja dan berkulit tembaga.

Motto atau seruan TNI Angkatan Laut Indonesia adalah: "Jalesveva Jayamahe" yang seringkali diterjemahkan dengan kalimat: "Di Lautan Kita Jaya".

Sebenarnya ungkapan ini berasal dari Bahasa Sanskerta; "Jales.eva Jayamahe" dan bisa dianalisa sebagai berikut:


* jales.veva terdiri dari dua bagian: jales.u dan eva. Jales.u berasal dari kata dasar jala (maskulinum) yang berarti air dan jales.u adalah bentuk pluralis, lokativus dan secara harafiah bisa diterjemahkan sebagai: "di air-air".
* eva adalah sebuah partikel emfatik dan bisa diterjemahkan dengan kata "-lah".
* jayamahe, berasal dari kata kerja (verbum), ji, yang dikonjugasi menurut waktu presens, persona ketiga pluaralis dalam modus indikatif dan secara harafiah bisa diterjemahkan sebagai: "kita berjaya".

Jadi kalimat ini secara harafiah artinya adalah: "Di air-airlah kita berjaya!"