Selasa, 22 Juni 2010

Isyarat Alam dalam Serat Centhini

Centhini adalah nama kumpulan serat-serat atau yang ditulis oleh sebuah tim, atas perintah Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Amangkunagara III. Penulisan kitab Centhini dimulai pada hari Sabtu Pahing 26 Sura 1742 Tahun Jawa atau 1814 Tahun Masehi. Apa saja isi serat tersebut?

Tim yang ditugaskan oleh Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Amangkunagara III, diantaranya Raden Ngabehi Yasadipura II (Raden Tumenggung Sastranagara, red), abdidalem bupati pujangga kadipaten, Raden Ngabehi Sastradipura, abdidalem Kliwon carik kadipaten, dan Pangeran Jungut Mandurareja, pradikan krajan Wangga, Klaten Surakarta.

Selain itu masih ada nama lain yang ditunjuk, yaitu Kyai Kasan Besari, ngulama agung ing Gebangtinatar, Panaraga, menantu Sinuhun Paku Buwana IV, Kyai Mohamad Minhad, ngulama agung ing Surakarta, dan diketuai oleh Ki Ngabei Ranggasutrasna, abdidalem kliwon carik kadipaten.

Yang menjadi acuan tim dalam menulis, menyusun serat-serat tersebut adalah serat “Suluk Jatiswara” yang ditulis pada masa pemerintahan Paku Buwono III tahun 1711 Jawa.

Sebenarnya kumpulan serat-serat tersebut diberi nama “Suluk Tambangraras” namun sosialisasinya lebih populer dengan sebutan serat Centhini. Nama Centhini diambil dari nama seseorang yang mengabdi kepada Niken Tambangraras istri Syeh Amongraga tokoh penting dalam serat tersebut.

Serat Centhini berisi berbagai macam pengetahuan, antara lain; kawruh agama, sastra, seks, situs, pawukon, primbon, keris, obat dan lain sebagainya. Karena isinya bermacam-macam, maka serat Centhini dianggap sebagai Ensiklopedi Kebudayaan Jawa.

Kepeduliannya untuk menggali kembali nilai-nilai yang terkandung dalam serat-serat warisan adiluhung, telah dilakukan oleh berbagai pihak, termasuk Yayasan Centhini yang telah melatinkan teks Centhini berbahasa Jawa dalam tembang macapat dan menerbitkannya sebanyak 12 jilid.

Bagi masyarakat yang berminat mengenal dan memahami isi Serat Centhini, dapat mengikuti sarasehan dan macapatan setiap Selasa Pahing atau malam Rabu Pon yang digelar oleh paguyuban pelestari budaya Jawa, di Rumah Budaya Tembi, Jogjakarta.

Dalam serat Centhini Jilid 1 Pupuh 22 dengan tembang Mijil, dikisahkan, ketika perjalanan Raden Jayengresmi bersama kedua abdinya, Gathak dan Gathuk sampai di Tuban, di hutan Bagor, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara meriam menggelegar bagaikan gempa.

Bersamaan dengan suara tersebut, munculah seorang putri cantik yang mengaku bernama Kangjeng Ratu Mas Trengganawulan. Menurut penuturannya, Kanjeng Ratu Mas Trengganawulan adalah putri Prabu Brawijaya, raja Majapahit terakhir.

Ketika Majapahit runtuh ia melarikkan diri dan sampai di hutan Bagor wilayah Tuban. Di hutan tersebut Trengganawulan mendapat perintah dari Hyang Widdhi untuk merajai para makhluk halus. Setiap hari Sukra Manis Trenggana Wulan muncul di sendang Sugihwaras, tempat ia mandi, untuk menemui seseorang yang sedang menjalani laku tirakat.

Dalam pertemuannya dengan Kangjeng Ratu Trengganawulan, Raden Jayengresmi, menyatakan keprihatinannya, karena hingga kini belum dapat menemukan kedua adiknya yang bernama Raden Jayengsari dan Niken Rangcangkapti.

“Jangan kecewa Raden, bersabarlah, akan tiba saatnya engkau bertemu dengan ke dua adikmu. Nanti sewaktu engkau menjalani hukuman dibuang ke laut, di Tunjungbang, engkau akan bertemu dengan ke dua adikmu.” (Jilid 1 Pupuh 22 Pada 12 & 13).

Isyarat Burung Dhandhang

Selain meramal bertemunya Raden Jayengresmi dengan kedua adiknya, Kangjeng Ratu Mas Trengganawulan menuturkan kaweruh alam kepada Raden Jayengresmi, kaweruh tersebut diantaranya:

Pertanda alam melalui suara Burung Dhandhang. Dhandhang adalah jenis burung, berwarna hitam, bentuknya mirip burung Gagak namun lebih kecil.

Jika burung Dhandhang bersuara, dari arah Timur ke Barat rumah, itu pertanda baik, akan ada tamu seorang pandhita atau orang luhur.

Jika burung Dhandhang bersuara dari arah Timur ke Selatan rumah, itu pertanda baik, apa yang dikerjakan akan mendapatkan hasil yang memuaskan.

Jika burung Dhandhang bersuara, dari arah Selatan rumah, itu pertanda baik, akan mendapat rejeki.

Jika burung Dhandhang bersuara, dari arah Selatan Barat rumah, itu pertanda jelek, akan ada pertengkaran merebutkan hal-hal sepele.

Jika burung Dhandhang bersuara, dari arah Barat rumah, itu pertanda baik, akan segera mendapat jodhoh.

Jika burung Dhandhang bersuara, dari arah Utara Barat rumah, itu pertanda jelek, akan menderita sakit dan kekecewaan yang mendalam.

Jika burung Dhandhang bersuara, dari arah Utara rumah, itu pertanda jelek, akan mendapat malu.

Jika burung Dhandhang bersuara, dari arah Utara Timur rumah, itu pertanda baik, akan kedatangan saudara jauh.

Jika burung Dhandhang bersuara, di atap rumah, itu pertanda jelek, akan ada anggota keluarga yang meninggal.

Isyarat Burung Prenjak

Masih dalam serat Centhini, pertanda alam bisa ditengarai berdasarkan suara burung Prenjak.

Jika ada dua burung Prenjak berkicau bersautan di arah Selatan rumah, itu pertanda baik, akan ada tamu bangsawan yang berkendak baik.

Jika ada burung Prenjak berkicau di arah Barat rumah, itu pertanda jelek, akan ada tamu yang mengajak bertengkar.

Jika ada burung Prenjak berkicau di arah Utara rumah, itu pertanda baik, akan ada tamu seorang guru memberi wangsit yang baik dan suci

Jika ada burung Prenjak berkicau di arah Timur rumah, itu pertanda jelek, akan ada kebakaran.

Jika ada burung Prenjak berkicau mengitari rumah, itu pertanda baik, akan mendapat rejeki yang khalal.

Setelah menjelaskan pertanda burung Dhandhang dan Burung Prenjak, Kangjeng Ratu Mas Trengganawulan menggarisbawahi, bahwa sebenarnya kawruh tersebut merupakan tinggalan jaman dahulu, benar salahnya diserahkan pada kehendak Hyang Widdhi.

Pada awalnya alam memang bersahabat dengan manusia, ketika manusia menghargai alam karena merasakan hidupnya tergantung kepada alam. Sehingga melalui alam ada tanda-tanda yang sangat berguna bagi kehidupan. Apa yang dituliskan dalam Kitab Centhini memberi gambaran hubungan yang harmonis antara manusia dan alam.

Namun apakah pertanda alam itu masih cocok jika diterapkan pada jaman sekarang. Tentunya tidak! Karena jaman sekarang, Kicau burung Prenjak yang merdu indah hanya memberi satu tanda, yaitu “uang.” Orang akan berebut menangkapnya untuk kemudian menjualnya. Demikian juga suara Burung Dhandhang yang semakin jarang, memberi pertanda bahwa ada yang sudah hilang dalam hidup ini, yaitu penghargaan akan hidup, penghargaan akan alam yang menghidupi

Rahasia Dua Belas Tahapan Kehidupan


Masyarakat Jawa percaya bahwa manusia akan mengalami 12 tahapan kehidupan. Tiap tahapan berlangsung satu tahun dengan naungan dewa masing-masing. Setelah 12 tahun, nasibnya akan kembali ke semula. Jadi siklus nasib manusia, menurut kepercayaan orang Jawa, berlangsung dalam 12 tahun.

Pada saat berumur satu tahun, seseorang dinaungi oleh Batara Surya. Mereka yang berada dalam naungan dewa ini termasuk juga orang-orang yang berusia 13, 25, 37, 49, 61, 73, 85, dan seterusnya (ditambah 12). Pada masa ini, mereka umumnya manja dan bergantung pada orang lain. Candranya Batara Surya adalah sunaring Bagaskara tumusing kalbu dengan kelinci sebagai lambang.

Karena itu, orang yang berada dalam naungan dewa ini hatinya selalu terang dan berani. Terang di hatinya membuatnya dapat ‘melihat’ yang akan terjadi atau dengan kata lain firasatnya cukup kuat. Kesehatannya selalu berhubungan dengan air dan sakit panas.

Seseorang yang menemukan jodoh pada usia dibawah naungan Batara Surya akan mendapatkan banyak anak, hidup tenteram dan tenang di rumah. Tapi Anda harus hati-hati karena akan banyak orang yang iri.

Ketika menginjak umur 2, 14, 26, 38, 50, 62, 74, 86, dan seterusnya (ditambah 12), seseorang berada dalam naungan Batara Brahma. Candra Batara Brahma yang kemratu ratu hewan pilihannya yang harimau membuat mereka yang berada dalam naungannya cenderung keras hati, angkuh dan ingin berkuasa.

Keinginan tersebut membuat kariernya cepat menanjak. Sayangnya seringkali ia tidak menyadari kalau sedang dimanfaatkan oleh atasannya. Setelah sadar, semuanya sudah terlambat dan hanya ada penyesalan. Karena itu pada usia ini Anda dianjurkan untuk tidak mudah percaya pada orang lain.

Kesehatan boleh dikatakan prima, tidak mudah terserang penyakit. Jika menemukan jodoh pada usia tersebut, akan selalu rukun sampai kakek nenek. Hal-hal yang membuat apes adalah terkena benda tajam seperti pisau, pedang, dan keris.

Tahun berikutnya, yaitu ketika seseorang berumur 3, 15, 27, 39, 51, 63, 75, 87 dan seterusnya (ditambah 12), ia berada dalam naungan Batari Durga.

Candranya dewa ini dugang mirowang dengan hewan perlambang kerbau. Mereka yang berada dalam naungannya umumnya menjadi mudah bingung dan tidak dapat berkonsentrasi.

Mereka umumnya kehilangan pegangan dan gairah hidup. Semua yang dikerjakannya hanya ikut-ikutan orang lain. Dengan demikian mereka manjadi mudah kena tipu. Jika ia seorang karyawan, posisinya dalam bahaya karena kairernya cenderung mandeg. Pendekatan pada Tuhan yang Maha Esa dan dukungan keluarga atau desakan kebutuhan bisa memperbaiki suasana.

Pada usia-usia ini, orang cenderung peka terhadap udara malam, air, serangan batuk, perut, dada dan kepala. Bertemu jodoh pada usia dibawah naungan Batari Durga haruslah hati-hati, karena hidup cenderung susah. Bahaya yang harus dihindari adalah terkena jerat, seperti jerat hutang dan kecelakaan.

Tapal Batas Kota Malang Kuno


Balai Penyelamatan Benda Purbakala Mpu Purwa Malang, beberapa waktu lalu telah mengekskavasi dua buah stambha dari Kelurahan Buring di Kota Malang. Temuan dari Zaman Majapahit ini diduga merupakan tapal batas wilayah Malang kuno.

Stambha atau batu tugu tersebut ditemukan di RT 2/RW 4 Kelurahan Buring, Kecamatan Kedungkandang. Saat ditemukan, kondisi sebuah stambha masih utuh dan sebuah stambha lainnya terpotong sebagian dan hanya menyisakan sekitar 50 cm bagian atasnya.

Kondisi stambha yang ditemukan di bagian bawahnya berbentuk segi empat dan di bagian atas bersegi delapan. "Hingga kini fungsi stambha ini belum jelas. Namun diperkirakan ini merupakan penanda wilayah atau kerajaan," tutur Suwardono-arkeolog bidang klasik yang turut membantu Balai Penyelamatan Benda Purbakala Mpu Purwa Malang, Kamis (14/1/10`0) di Malang.

Menurut Suwardono, stambha ini diperkirakan sebagai tugu tapal batas kerajaan atau kadipaten. Jika berdasar prasasti Wijayapranakramawardhana (Trenggalek), di daerah seputar Buring tersebut dahulunya merupakan bekas kerajaan Majapahit dengan ratunya Dyah Mahamahisi. Istananya berada di Kadipaten Kabalon atau yang sekarang dikenal sebagai Madyopuro. Jika berdasar Kitab Negarakertagama, dimungkinkan di sana juga bekas istana Kusumawardhani.

"Jika benar hal itu, maka tugu tersebut dimungkinkan merupakan tapal batas Kadipaten Kabalon. Ini bisa dihubungkan dengan sejarah Kota Malang kuno," ujar Suwardono.

Stambha tersebut ditemukan di wilayah selatan Madyopuro. Jika dihubungkan dengan.
prasasti dan kitab tersebut, sangat dimungkinkan bahwa batas Kadipaten Kabalon tersebut di sisi selatan ditandai dengan stambha yang ditemukan, di sisi barat dibatasi oleh Sungai Brantas, dan di sisi Timur dibatasi oleh Buring (penandanya alam), dan di sebelah utara mestinya ada lagi sebuah stambha.

Saat ini, stambha tersebut dirawat di halaman Balai Penyelamatan Benda Purbakala Mpu Purwa Malang. Benda bersejarah peninggalan agama Hindu ini beratnya mencapai 700 kg, tinggi 110 cm, lebar dasar segi empat selebar 35 cm, jari-jari stambha selebar 42 cm.Â

"Stambha seberat ini untuk mengangkatnya saja butuh enam orang. Sehingga memang saat ini dirawat di halaman museum, diberi semacam dasar (pedestal) dan dibersihkan secara rutin," ujar Sumantri, juru rawat arca di Balai Penyelamatan Benda Purbakala Mpu Purwa Malang.

Jika merujuk pada bentuk stambha di mana bagian bawah bersegi empat dan di bagian atas bersegi delapan, maka menurut Suwardono dipastikan berkaitan erat dengan kebudayaan Hindu.

Segi empat dan delapan itu menggambarkan astadigpalaka atau delapan dewa penjaga mata angin. Yaitu Dewa Wisnu (sisi utara), Dewa Iswara (timur), Dewa Brahma (selatan), dan Mahadewa (barat).

Selain itu juga menggambarkan penjagaan Dewa Sangkara (di sisi timur laut), Dewa Agni (di sisi tenggara), Dewa Bayu (di sisi barat daya), dan Dewa Baruna (di sisi barat laut).
sumber : kompas