Selasa, 22 Juni 2010

Tapal Batas Kota Malang Kuno


Balai Penyelamatan Benda Purbakala Mpu Purwa Malang, beberapa waktu lalu telah mengekskavasi dua buah stambha dari Kelurahan Buring di Kota Malang. Temuan dari Zaman Majapahit ini diduga merupakan tapal batas wilayah Malang kuno.

Stambha atau batu tugu tersebut ditemukan di RT 2/RW 4 Kelurahan Buring, Kecamatan Kedungkandang. Saat ditemukan, kondisi sebuah stambha masih utuh dan sebuah stambha lainnya terpotong sebagian dan hanya menyisakan sekitar 50 cm bagian atasnya.

Kondisi stambha yang ditemukan di bagian bawahnya berbentuk segi empat dan di bagian atas bersegi delapan. "Hingga kini fungsi stambha ini belum jelas. Namun diperkirakan ini merupakan penanda wilayah atau kerajaan," tutur Suwardono-arkeolog bidang klasik yang turut membantu Balai Penyelamatan Benda Purbakala Mpu Purwa Malang, Kamis (14/1/10`0) di Malang.

Menurut Suwardono, stambha ini diperkirakan sebagai tugu tapal batas kerajaan atau kadipaten. Jika berdasar prasasti Wijayapranakramawardhana (Trenggalek), di daerah seputar Buring tersebut dahulunya merupakan bekas kerajaan Majapahit dengan ratunya Dyah Mahamahisi. Istananya berada di Kadipaten Kabalon atau yang sekarang dikenal sebagai Madyopuro. Jika berdasar Kitab Negarakertagama, dimungkinkan di sana juga bekas istana Kusumawardhani.

"Jika benar hal itu, maka tugu tersebut dimungkinkan merupakan tapal batas Kadipaten Kabalon. Ini bisa dihubungkan dengan sejarah Kota Malang kuno," ujar Suwardono.

Stambha tersebut ditemukan di wilayah selatan Madyopuro. Jika dihubungkan dengan.
prasasti dan kitab tersebut, sangat dimungkinkan bahwa batas Kadipaten Kabalon tersebut di sisi selatan ditandai dengan stambha yang ditemukan, di sisi barat dibatasi oleh Sungai Brantas, dan di sisi Timur dibatasi oleh Buring (penandanya alam), dan di sebelah utara mestinya ada lagi sebuah stambha.

Saat ini, stambha tersebut dirawat di halaman Balai Penyelamatan Benda Purbakala Mpu Purwa Malang. Benda bersejarah peninggalan agama Hindu ini beratnya mencapai 700 kg, tinggi 110 cm, lebar dasar segi empat selebar 35 cm, jari-jari stambha selebar 42 cm.Â

"Stambha seberat ini untuk mengangkatnya saja butuh enam orang. Sehingga memang saat ini dirawat di halaman museum, diberi semacam dasar (pedestal) dan dibersihkan secara rutin," ujar Sumantri, juru rawat arca di Balai Penyelamatan Benda Purbakala Mpu Purwa Malang.

Jika merujuk pada bentuk stambha di mana bagian bawah bersegi empat dan di bagian atas bersegi delapan, maka menurut Suwardono dipastikan berkaitan erat dengan kebudayaan Hindu.

Segi empat dan delapan itu menggambarkan astadigpalaka atau delapan dewa penjaga mata angin. Yaitu Dewa Wisnu (sisi utara), Dewa Iswara (timur), Dewa Brahma (selatan), dan Mahadewa (barat).

Selain itu juga menggambarkan penjagaan Dewa Sangkara (di sisi timur laut), Dewa Agni (di sisi tenggara), Dewa Bayu (di sisi barat daya), dan Dewa Baruna (di sisi barat laut).
sumber : kompas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar