Rabu, 16 Juni 2010

Kekuatan Asia unjuk gigi di Afsel

Asia masanya berjaya. Kemenangan Korea Selatan atas Yunani, dan Jepang atas Kamerun amat membahagiakan. Kendati jalan masih panjang, ini sinyal dominasi Eropa mulai keropos. Akankah mampu dua negara itu membuka sejarah baru?

Di Asia, Jepang dan Korsel adalah pioner. Di tahun 40-an kolonialisme Eropa meresahkan Negeri Samurai. Melalui semangat Asianisme Jepang mengajak sesama Asia untuk bersatu membentuk kekuatan. Itu melahirkan sebutan Jepang sebagai saudara tua.

Dalam tingkat praktek, bukan persaudaraan yang dibangun. Pasukan pribumi embrio Peta dididik bukan agar rakyat negeri ini pandai berperang. Itu diformat mengatasi serangan bangsa Eropa yang hendak kembali. Jepang berkepentingan melestarikan kekuasaannya di negeri jajahan.

Sebab semangat Asianisme itu lumer tatkala melihat kekayaan Nusantara. Mata mereka "hijau" dan mengusung kekayaan negeri ini menuju Negara Matahari Terbit. Saudara tua itu ingkar dari niat mula. Dan sejarah memberi kesaksian, penjajah sesama Asia itu lebih keji ketimbang Belanda.

Jepang yang 'pioner' itu membangun trauma bagi sesama bangsa Asia. Tak hanya China dan Indonesia, tapi juga Filipina serta Korea. Ini memberi pengertian, solidaritas tidak sebangun soliditas negeri jika itu menyangkut hubungan bilateral. Tak terkecuali soal apa saja di masa kini.

Korea Selatan adalah macan Asia. Ekonominya yang jauh di bawah Jepang dan imbang dengan Indonesia, ternyata mampu digenjot dengan kekuatan maksimal. Negeri Ginseng tak sampai sepuluh tahun berhasil mensejajarkan diri dengan Dai Nippon dan menepis sederajat dengan Indonesia. Kita tetap lenggang kangkung, alon-alon waton klakon.

Dalam dunia sepakbola, dua negara itu telah berubah menjadi raksasa. Dominasi Asia yang biasanya dikuasai negara-negara Timur Tengah diambil-alih. Mutual shohibul hajat Piala Dunia 2002 menahbiskan kekuataan keduanya. Dan kini mereka masih punya kans mengukir prestasi yang lebih mulia lagi. Masuk delapan besar, empat besar, dan mungkin tampil sebagai juara dunia.

Sepakbola sekarang memang bukan hak prerogatif Eropa. Globalisasi positif memberi pasokan gizi yang sama di belahan dunia mana saja. Berkat itu tubuh tinggi, besar dan kokoh menyebar. Dan teori Abdul Kadir melewati lawan melalui selangkangan tak perlu dipikir lagi.

Sepakbola kini dan mendatang adalah gabungan antara talenta, intelejensia dan speed. Keahlian menggocek bola ditopang kecerdasan dan kecepatan, maka itulah yang bakal menjadikan sebuah kesebelasan tampil sebagai juara. Jangan kaget jika yang unggul dalam Piala Dunia 2010 ini juga yang memenuhi kriteria itu.

Sejauh ini yang selalu menang adalah tim yang mempunyai kecepatan. Tampil ngotot hukum wajib dalam sepakbola moderen. Untuk itu lupakan Yunani yang tetap pada pakem ritus di Olympus. Dan lupakan Samba jika tetap berusaha menampilkan sepak bola indah. Wong Spanyol yang dihuni pemain-pemain hebat itu saja bisa digilas Swiss.

Sepakbola tetaplah sepakbola. Butuh skor dan kemenangan. Dia bagian dari olahraga. Termasuk doktrin sakralnya, terkuat, tercepat, terhebat. Bukan yang "berkesenian" dalam permainan yang bakal menjadi juara. Adakah di Piala Dunia 2014 nanti negeri ini mampu mengikuti jejak Korea Selatan sebagai sesama mantan jajahan Jepang?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar