Rabu, 30 Maret 2011

Mengapa Keroncong (Hampir) Mati?


Konser keroncong mengenang almarhum Gesang. (Foto: Ninok Leksono/Kompas)

Berikut saya sarikan pandangan Puji Sasongko mengenai hilangnya pamor musik keroncong di kalangan orang muda Indonesia.

1. LEBIH COCOK SEBAGAI MUSIK KAMAR

Irama keroncong yang mendayu-dayu, legato, nyantai... lebih pas disajikan di dalam ruangan. Orkes kamar. Musik keroncong menggunakan instrumen akustik murni. Beda dengan band-band pop atau rock yang menghentak, beat-beat kuat, volume keras, sehingga cocok dibawakan di lapangan atau luar ruangan. Keroncong tidak bisa dipakai untuk jingkrak-jingkrak sampai mandi keringat.

2. TEMPO ANDANTE HINGGA MODERATO

Musik keroncong memang tidak bisa dibawakan secara cepat, kecuali dimodifikasi seperti dilakukan Klantink, juara Indonesia Mencari Bakat asal Surabaya. Hampir semua lagu keroncong (asli) bertempo andante alias tenang. Tempo ini juga untuk memudahkan penyanyi dan pemusik bisa merasakan ketukan.

Tempo andante pun memungkinkan penyanyi dan pemusik melakukan improvisasi pada frase-frase tertentu. Dan ini memang menjadi ciri khas keroncong. Tempo yang tenang bisa lebih menampilkan pesan dari lagu atau musik. Suasana yang tercipta pun tenang, tentram, ayem, ngelangut. Ini membuat anak-anak muda menyebut keroncong sebagai musik yang bikin ngantuk. Mengajak orang untuk bermalas-malasan atau tidur saja.

3. SULIT DAN RUMIT

Benarkah keroncong itu musik yang sukar? Jawabannya bisa ya, bisa tidak. Beberapa pemusik pop-rock senior pernah mengatakan kepada saya bahwa musik keroncong itu memang sulit. Pemain-pemainnya harus punya skill di atas rata-rata. Kunci-kunci atau akor yang dipakai lebih banyak ketimbang lagu-lagu pop sederhana.

4. MONOTON, KURANG VARIASI

Lagu-lagu keroncong yang muncul di televisi sejak dulu, ya, itu-itu saja. Gampang ditebak. Hampir tidak ada komposisi baru. Beda dengan lagu-lagu pop yang hampir tiap hari selalu ada yang baru. Saking banyaknya lagu pop dan band pop, sehingga kita sulit mengingat nama-nama penyanyi dan band-band hari ini. Beda banget dengan era sebelum tahun 2000.

Kemonotonan ini juga tak lepas dari struktur musik keroncong yang rupanya sudah lama dibakukan. Ada keroncong asli, langgam, stambul satu, stambul dua. Ini semacam rumus atau pakem standar yang tak bisa diotak-atik. Kalau ingin mendapatkan rasa keroncong beneran, seorang penulis lagu harus paham formula keroncong. Jumlah birama, penggunaan akor, pemilihan kata, teknik instrumentasi.

Ada juga 'lagu ekstra' yang disebutkan Harmunah. Maksudnya lagu-lagu pop yang dikeroncongkan seperti dulu sering dibuat Hetty Koes Endang dan Mus Mulyadi. Meskipun melenceng dari pakem keroncong, lagu ekstra sedikit banyak membantu memperluas penggemar musik keroncong ke kalangan muda. Tapi kendalanya tetap saja di tempo dan bentuk iringan yang tanpa beat dan santai itu.

5. TAK SESUAI DENGAN JIWA KAUM MUDA

Psikologi orang muda itu dinamis, tegas, meledak-ledak, energetik. Kawula muda juga suka hal-hal yang glamor, gebyar, wah, seksi. Dan itu hanya bisa diperoleh di konser pop, disco, rock, atau jazz. Penyanyi keroncong dari dulu memakai kebaya atau busana ala ibu-ibu yang datang ke resepsi pernikahan. Beda dengan kostum panggung Inul Daratista, Dewi Persik, atau Julia Perez.

6. TAK DAPAT TEMPAT DI TELEVISI

Setelah Reformasi 1998, televisi-televisi tumbuh bak jamur di musim hujan. Kita sudah sulit menghitung televisi di Indonesia hari ini. Terlalu banyak dan selalu bertambah. Beda dengan zaman Orde Baru, stasiun televisi kita hanya satu: TVRI. Ironisnya, televisi-televisi yang jumlahnya puluhan, bahkan ratusan kalau ditambah stasiun luar, itu tak ada yang mau menayangkan musik keroncong. Sekarang ini televisi-televisi kita hanya mau menyiarkan program yang bisa mendatangkan uang, uang, uang, uang.

Keroncong jelas bukanlah musik komersial yang bisa menyedot iklan. Dan keroncong tidak sendirian. Musik-musik budaya yang berkualitas macam orkes tradisional, orkes atau musik klasik Barat, bahkan jazz dan blues... sudah lama tidak muncul di televisi swasta. Mana ada program jazz di RCTI, Indosiar, Trans TV, ANTV, SCTV, atau Global TV.

Karena itu, wahai keroncong, jangan terlalu bersedih karena engkau tidak merana seorang diri. Masih banyak genre musik lain di Indonesia, yang justru punya kualitas, ternyata sudah ditendang keluar dari televisi. Kita patut berterima kasih kepada TVRI baik nasional maupun Jawa Timur yang masih mau menyediakan ruang kepada keroncong secara konsisten.

7. KURANG APRESIASI MUSIK DI SEKOLAH

Sebagian besar sekolah di Indonesia tidak punya guru musik yang baik. Asal comot untuk mengajar seni suara atau apresiasi musik. Guru-guru sekolah dasar, yang berada di garis depan, ternyata banyak yang tak punya pemahaman tentang musik. Bagaimana bisa mengajak anak-anak mencintai musik klasik, tradisional, atau keroncong? Maka, jangan heran, anak-anak justru mendapat 'apresiasi musik' dari acara-acara pop di televisi yang sejatinya dibuat untuk menjadikan anak-anak muda sebagai target pasar.

8. ORKES KERONCONG MAKIN LANGKA

Coba sebutkan orkes-orkes keroncong di kota anda! Saya pastikan anda kesulitan menyebut lima nama. Bahkan, satu orkes saja sudah sulit. Sebab, sudah lama orkes-orkes keroncong bubar karena sepi tanggapan. Selain itu, pemain-pemain senior sudah terlalu tua dan gagal melakukan regenerasi. Jangankan di kota-kota kecil, di Surabaya saja, yang disebut-sebut kota terbesar kedua di Indonesia, kita sangat sulit mendapatkan orkes keroncong yang solid dan rutin pentas.

9. MINIM PERHATIAN PEMERINTAH

Di Indonesia makin jarang ada pejabat yang punya apresiasi seni musik macam Presiden Soekarno. Visi kebudayaan para pemimpin Indonesia sejak 20 tahun terakhir sangat buruk. Bukannya membina dan mengembangkan kesenian tradisional, para bupati atau wali kota malah rame-rame ke Jakarta untuk mendukung peserta KDI, AFI, atau Indonesian Idol asal daerahnya. Jelas sekali bahwa si pejabat itu sudah masuk jebakan perangkap industri pop yang luar biasa canggih.

Sangat ironis, pejabat-pejabat kita dijadikan mainan industri musik pop dan televisi. Kita membutuhkan pemimpin-pemimpin yang punya visi seni budaya seperti Bung Karno. Oh ya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ternyata asyik menciptakan lagu-lagu pop manis, tapi kurang sadar bahwa kesenian tradisional kita sudah di mulut jurang kepunahan. SBY ikut arus pop & mass culture.

10. MASA DEPAN SURAM

Suramnya perkembangan musik keroncong, gagalnya regenerasi, hilangnya penggemar membuat praktisi keroncong merana. Tak ada masa depan. Banyak pemusik dan penyanyi keroncong di Jawa Timur yang hidup terlunta-lunta. Untuk sekadar makan sehari-hari saja susah. Sebaliknya, industri musik pop (termasuk rock dan sejenisnya) menawarkan karir yang gemerlap, nama besar, uang banyak.

Jangan heran, begitu banyak orang tua di Indonesia yang mendorong anak-anaknya untuk ikut kontes menyanyi di televisi ala KDI, AFI, atau Indonesia Idol. Siapa tahu jadi artis terkenal yang bergelimang uang dan kemewahan. Ada perubahan orientasi para orang tua dan anak-anaknya saat ini. Pelajaran di sekolah atau kampus tak lagi dipentingkan. Bahkan, banyak orang tua yang mengorbankan pendidikan formal anak-anaknya demi mengejar ambisi menjadi artis pop.

Mana ada orang tua di Indonesia yang ingin anak-anaknya jadi penyanyi keroncong?

Copyright © 2011 puji sasongko penulis musik Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar