Sabtu, 05 Mei 2012

Kerajaan Blambangan Cikal Bakal Kabupaten Banyuwangi

Kerajaan Blambangan adalah cikal bakal munculnya Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Kebesaran daerah di ujung timur pulau Jawa ini identik dengan keemasan masa kerajaan Majapahit. Sayangnya, sejumlah petilasan yang membuktikan kebesaran Blambangan sudah musnah. Hanya beberapa yang tersisa. Itu pun kondisinya cukup memprihatinkan.
 


Tidak ada sumber otentik terkait kerajaan Blambangan. Bahkan hampir seluruh budayawan Using Banyuwangi menyangsikan adanya kerajaan ini. Sejumlah tokoh di dalamnya pun dianggap fiktif atau sekedar cerita fiksi. Namun, bagi komunitas Jawa, Blambangan diyakini benar-benar ada. Termasuk raja dan serangkaian tokoh di dalamnya. Selain didasarkan petilasan yang tersisa, suku Jawa cukup kental mengagungkan kebesaran raja-raja di zaman Blambangan.

Menilik cerita sejarah, Blambangan ada sejak tahun 700 – 1400 masehi. Kurangnya bukti prasasti membuat kehadiran kerajaan ini hanya sebuah cerita rakyat. Bahkan silsilah keturunan bangsawannya pun sama sekali tidak ada. Alhasil, tidak ada satu pun penyebutan pasti waktu pemerintahan masing-masing raja.

Dari hikayat yang berkembang, ada lima raja yang pernah memerintah Blambangan. Raja pertama adalah Siung Manoro yang datang dari Kediri, Jawa Timur. Tokoh ini pertama kali masuk ke Alas Purwo dan tinggal di rumah penguasanya, mbah Dewi Roro Upas. Tidak disebutkan pasti sampai kapan pemerintahan Siung Manoro dan hubungannya dengan ratu Alas Purwo tersebut.
 
Raja kedua, Kebo Mancuet, putra seorang bangsawan dari Klungkung,Bali. Disebutkan, tokoh ini memiliki sepasang tanduk. Karena keanehan inilah, dia dibuang orang tuanya ke Alas Purwo. Di tempat ini, dia dirawat seorang rsi sakti, Ki Ajah Pamengger yang juga kakek Minak Jinggo atau Joko Umbaran, salah satu raja Blambangan.

Selanjutnya Blambangan dipegang Joko Umbaran, pemuda sakti asal daerah Brati, Pasuruan, Jawa Timur. Kala itu, kerajaan Majapahit dipimpin seorang ratu, Kencono Wungu yang cantik jelita. Naiknya Joko Umbaran menjadi raja diawali sayembara Ratu Kencono Wungu. Ratu cukup repot dengan kehadiran adipati Blambangan Kebo Mancuet yang mulai merongrong Majapahit. Akhirnya disayembarakan, barang siapa mampu membunuh Kebo Mancuet akan diberikan tanah Blambangan dan dijadikan suami Kencono Wungu. Singkat cerita, Joko Umbaran berhasil membunuhnya. Dia menang setelah dibantu seorang pemanjat kelapa, Dayun. Kemenangan itu harus dibayar mahal. Wajah Joko Umbaran rusak dan kakinya pincang.

Kemudian Joko Umbaran dinobatkan menjadi raja Blambangan bergelar Minak Jinggo atau Uru Bismo. Dalam hikayat suku Jawa, Minak Jinggo digambarkan seorang raja yang jahat. Dia memiliki senjata besi kuning yang sakti dan memiliki dua istri, Wahito dan Puyengan. Dua permaisuri ini konon berasal dari Bali.

Karena kesaktiannya inilah Minak Jinggo menjadi raja paling ditakuti. Bahkan kekuasannya terus meluas hingga Probolinggo,Jawa Timur. Kondisi ini menjadi ancaman bagi Ratu Kencono Wungu. Apalagi, Minak Jinggo mulai menagih janji untuk bisa dinikahi sesuai bunyi sayembara.

Dalam kondisi tegang, Ratu Kencono Wungu memerintahkan seorang pemuda sakti, Damarwulan untuk menumpas Minak Jinggo.  Usaha ini berhasil. Minak Jinggo terbunuh dan kepalanya dipenggal. Kisah perjuangan Damarwuan ini hingga sekarang menjadi cerita sejarah paling pupuler bagi komunitas warga Banyuwangi. Saking populernya, warga membuatnya menjadi sebuah kesenian Damarwulan yang dikenal dengan janger.

Tidak ada sumber pasti kisah Damarwulan ini. Bahkan Budayawan Banyuwangi sering menyebut hadirnya Damarwulan hanya simbol cerita yang mengandung beribu philosofi. Dikisahkan, setelah berhasil membunuh Minak Jinggo, Damarwulan dinikahi Ratu Kenconowungu dan menjadi raja Majapahit.
 
Setelah Minak Jinggo, Blambangan dipimpin adipati Siung Laut yang asli warga Blambangan. Dia memiliki seorang putri cantik, Dewi Sedah Merah. Putri ini rencananya diinikahkan dengan patihnya, Joto Suro. Namun gagal. Sang putri memilih kabur ke Mataram (Jawa Tengah) bersama kekasihnya, pangeran Julang. Kemudian, Siung Laut hijrah ke Bali bersama permaisurinya dan bergerlar Jaya Prana dan Layang Sari.

Raja terakhir Blambangan adalah Joto Suro. Setelah diangkat menjadi raja, Joto Suro kembali ingin mendapatkan Dewi Sedah Merah. Dengan kekuatan pasukannya, Joto Suro menyerang Mataram. Usahanya berhasil. Sedah Merah diboyong ke Blambangan. Sedangkan suaminya, Pangeran Julang memilih kabur. Meski menjadi tawanan, Dewi Sedah Merah menolak dinikahi. Dia memilih mati dengan bunuh diri. Selama menjadi raja, Joto Suro mengangkat patih Ario Bendung.

 
Ario Bendung kemudian ditipu agar menyerang Mataram. Padahal itu hanyalah akal-akalan Joto Suro untuk menikahi istri Ario Bendung. Namun gagal, istri Ario Bendung menolak,lalu dibunuh Joto Suro. Mendengar istrinya tewas, Ario Bendung mengamuk di Blambangan. Termasuk membunuh  Joto Suro dan seluruh rakyat Blambangan. Tanpa sebab yang jelas, Ari Bendung akhirnya bunuh diri dan tewas di Mataram. Kepergian Ario Bendung ke Mataram bertepatan munculnya banjir lahar yang melanda Blambangan. Saat itu penduduk Blambangan hanya tinggal 10 orang. Lima bertahan di Blambangan, sisanya memilih pindah ke Mataram. Konon, sejak itu Blambangan menjadi hutan belantara. Seluruh bekas kerajaan yang ditinggalkan hancur tertimbun lahar.

Kisah sejarah Blambangan versi Jawa tersebut dimentahkan seluruh budayawan Banyuwangi. Minimnya bukti di lapangan makin menguatkan pernyataan itu. Sampai kini, Blambangan tetap diyakini baru muncul sekitar tahun 1700. Yakni, selama kepemimpinan Prabu Tawangalun dengan kerajaannya di Desa Macanputih,Kabat,Banyuwangi.

Tawang Alun diyakini keturunan bangsawan Majapahit dari Jember,Jawa Timur. Kemudian mendirikan kerajaan Macan Putih sebagai ibu kota Blambangan. Sebelum menetap di Macan putih, Tawangalun memindahkan pusat pemerintahannya sebanyak tiga kali. Pertama di daerah Lateng,Rogojampi,lalu ke Bayu,Songgon dan terakhir di Macan Putih, Kabat.

Keturunan Tawang Alun, Rempeg Jogopati yang berperang puputan melawan Belanda juga diyakini masih memiliki ikatan darah dengan keraton Mengwi, Badung. Dari sinilah nama Banyuwangi muncul setelah menghilangnya Blambangan. Sejumlah sejarawan Banyuwangi mengatakan bukti sejarah Blambangan cukup minim. Apalagi tidak ada satu pun prasasti yang menyebutkannya. Selama ini, kesimpulan kerajaan ini didapat dengan menganalisa dari berbagai sumber yang otentik.

Keyakinan ini didasarkan pada berbagai bukti catatan sejarah. Konon, dari buku-buku sejarah yang ada di perpustakaan Leiden, Belanda, nama Blambangan hanya disebut sejak pemerintahan Tawangalun. Nama Blambangan sendiri pun juga simpang siur. Ada yang menyebut cikal bakalnya adalah tirto arum. Ada juga dari kesusastraan kerajaan Kediri menyebut Blambangan dengan Balamboangan. Artinya, daerah subur penghasil padi terbesar selama pemerintahan Majapahit. Bukti ini bisa dikaitkan dengan julukan Banyuwangi saat ini yang dikenal dengan lumbung padi nasional.
 
Penetepan hari jadi Banyuwangi 18 Desember 1771 juga didasarkan pada sejarah perjuangan Tawangalun dan keturunannya melawan penjajah Belanda.  Banyaknya bukti sejarah bekas kerajaan Blambangan yang tersisa diyakini tidak ada kaitannya dengan hikayat Damarwulan, Minak Jinggo dan Blambangan.

Diperkirakan beberapa situs sejarah Blambangan yang diyakini peninggalan Minak Jinggo justru bekas istana dari kerajaan Tawangalun. Konon, pernah ada penelitian tentang hal itu. Tapi hasilnya nihil, tidak ditemukan satu pun bukti yang mengaitkan dengan zaman Blambangan. Berdasar bukti itulah Blambangan tetap diyakini tidak pernah ada dan hanyalah sebuah hikayat.

Tinggal Puing, Jadi Tempat Semadi 

Kebesaran Blambangan hanya tinggal cerita. Meski banyak ditemukan situs dan bukti sejarah, riwayat kerajaan ini tetap misterius. Situs dan petilasan Blambangan banyak ditemukan di Kecamatan Muncar,Banyuwangi. Yang masih terlihat jelas bentuknya adalah situs Umpak songo dan Setinggil di Desa Tembokrejo,Muncar.

Umpak songo adalah tumpukan batu berlubang mirip penyangga tiang bangunan yang berjumlah sembilan. Umpak artinya tangga,songo berarti sembilan. Situs ini ditemukan pertama kali sekitar tahun 1916 oleh Mbah Nadi Gde,seorang warga dari Bantul, Yogyakarta.

Pertama ditemukan kondisinya sudah tertimbun tanah dan hutan belantara. Begitu digali, ternyata mirip sebuah candi. Diyakini,umpak songo dahulunya adalah balai pertemuan bagi raja Blambangan bersama bawahannya. Tahun 1938, seorang Raja dari Solo,Jawa Tengah, Mangku Bumi IX mengunjungi tempat itu. Kemudian, tempat ini diberi nama umpak songo. Mangku Bumi sempat mengisahkan lokasi itu adalah bekas peninggalan kerajaan Blambangan dengan rajanya Minak Jinggo.

Di sekitar umpak songo banyak ditemukan saksi sejarah kebesaran Blambangan. Ada gumuk sepur, bukit yang memanjang. Konon ini adalah benteng raksasa kerajaan Blambangan. Akibat kurangnya pemahaman masyarakat, gumuk sepur dihancurkan dan digunakan lahan pertanian.

Tak jauh dari umpak songo, ada umpak lima. Konon, tempat ini adalah ruangan semadi raja-raja Blambangan. Sayangnya, lokasi ini sudah musnah. Warga meratakannya dengan tanah, lalu dibangun sebuah mushola. Warga yang tinggal di sekitar situs umpak songo adalah keluarga besar. Jumlahnya 20 KK,mereka adalah keturunan Mbah Nadi Gde. Saat ini hanya tinggal umpak songo yang masih terlihat bentuknya. Itu pun kondisinya sudah memprihatinkan. Sejumlah batu dan benda-benda sejarah lainnya sudah hilang.

Meski sudah masuk cagar budaya, perhatian bagi umpak songo masih cukup minim. Baru tahun 2008 lalu, Pemkab Banyuwangi membuat tembok keliling di sekitar lokasi. Umpak songo juga masih berstatus lahan milik pribadi. Bukti adanya bekas kerajaan cukup dirasakan warga di sekitar umpak songo. Zaman dahulu,banyak warga menemukan benda-benda sejarah ketika menggali tanah di sekitar lokasi. Seperti, genta kuningan dan berbagai perabot terbuat dari keramik China. Ada juga pernah menemukan arca dan berbagai benda bertuah lainnya. Di seekitar umpak songo diyakini sebagai pusat kerajaan. Satu lagi bukti sejarah yang masih terlihat adalah pohon pakis raksasa. Pohon ini tumbuh tepat di depan situs umpak songo. Umur pohon ini diyakini sudah ratusan tahun.

Meski berstatus milik pribadi, situs umpak songo tetap dibuka untuk umum. Kawasan ini menjadi jujukan warga untuk bersemadi sejak zaman dahulu. Biasanya mereka datang pada malam Sabtu pahing. Kegiatannya, menggelar ritual tirakatan atau semadi semalam suntuk. Mereka yang datang kebanyakan meminta berkah atau ingin mendapatkan ilmu kejawen.

Puncak keramaian umpak songo adalah hari raya Kuningan. Umat Hindu Bali selalu antre bersembahyang di tempat ini. Hari biasa pun sejumlah pemedek dari Bali juga banyak mengalir. Situs umpak songo hanya berjarak satu kilometer arah timur pura Agung Blambangan,Banyuwangi. Pura terbesar di Banyuwangi ini pun erat kaitannya dengan kerajaan Blambangan. Saat dibangun sekitar tahun 1960-an, ditemukan sumur gaib di sekitar pura. Diyakini,sumur ini adalah bekas peninggalan Blambangan.

Selain umpak songo, ada situs Setinggil di Dusun Kalimati,Muncar,sekitar empat kilometer arah timur umpak songo. Lokasinya persis menghadap pantai. Setinggil berasal dari dua kata, siti artinya tanah dan inggil berarti tinggi. Setinggil diartikan tanah yang menjulang tinggi mirip sebuah bukti. Situs ini diyakini bekas menara pengintai kerajaan Blambangan. Lokasinya yang berdekatan laut cukup mudah mengawasi selat Bali yang digunakan berlayar kapal-kapal perdagangan. Sampai kini, pelabuhan Muncar menjadi  pelabuhan pendaratan terbesar pendaratan ikan di Indonesia. Konon, sejak zaman dahulu pelabuhan ini sudah ramai dan terkenal seperti sekarang.

Kondisi Setinggil juga memprihatinkan. Di sekitar lokasi sudah diserbu perumahan warga yang penuh sesak. Yang tersisa hanya tanah seluas 200m2 yang digunakan kantor Kepala Dusun Kalimati. Di dekatnya dibangun sebuah balai kecil. Di tempat ini terdapat sebongkah batu besar. Batu ini diyakini bekas tempat duduk raja Blambangan,Minak Jinggo ketika melakukan pengintaian kapal-kapal di selat Bali yang akan mendarat. Di atas batu besar ini terdapat bekas telapak kaki raja Minak Jinggo yang digambarkan bertubuh besar dan sakti. Sayangnya, batu ini sudah pecah dan bentuknya tidak beraturan lagi.

Setinggil juga dianggap sakral. Pada hari tertentu situs ini digunakan semadi para pengikut aliran kejawen. Saat hari raya Kuningan, umat Hindu Bali banyak yang sembahyang di tempat ini. Kesakralan Setinggil memang cukup terasa. Ketika mengabadikan gambar balai Setinggil, sempat terekam kamera sebuah bayangan putih. Bayangan mirip kepala itu menggantung di dekat langit-langit balai. Kesakralan ini juga dibenarkan juru kunci dan warga setempat. Mereka yang menjadi juru kunci tidak boleh sembarangan orang. Hanya Kepala Dusun yang diperbolehkan mengurus dan merawat lokasi tersebut. Kawasan ini juga menjadi aset desa Tembokrejo.

Di sekitar Setinggil banyak juga ditemukan bekas peninggalan sejarah Blambangan. Seperti gumuk Klinting. Di tempat ini warga banyak menemukan genta terbuat dari tanah liat. Ada juga watu kereta yang berada di tengah laut. Batu berbentuk mirip kereta ini diyakini bekas tempat latihan perang tentara Blambangan. Lokasinya sekitar 4 kilometer dari bibir pantai. Lokasi ini juga dikenal cukup sakral. Sayang,lokasinya berada di tengah laut. Sehingga menyulitkan warga yang akan mengunjungi. Kita harus menggunakan perahu sekitar 20 menit untuk mencapai tempat ini.

Situs lainnya adalah Bale Kambang di Desa Blambangan,Muncar. Konon, tempat ini adalah tempat pertemuan rahasia raja Blambangan. Kini, bale kambang sudah tertimbun oleh pepohonan. Bentuknya menyerupai bukit yang menjulang tinggi. Di sekitarnya terlihat jelas tanah mendatar mirip bekas kolam. Menilik bahasanya, bale kambang diartikan sebagai balai yang dibangun di atas air. Ada juga yang menyebut balai ini adalah kaputren permaisuri raja Blambangan.

Di sekitar Bale kambang, terdapat sejumlah bukti sejarah yang menguatkan adanya bekas kerajaan besar. Tak jauh dari bale, ada sebuah tanah tinggi yang memanjang. Bentuknya mirip sebuah bukit berbaris. Dipercaya, ini adalah tembok istana yang mengelilingi bale kambang. Tempat ini terbuat dari tumpukan batu cadas berukuran besar. Zaman dahulu kawasan ini banyak ditemukan tembok-tembok besar yang menjulang tinggi. Selanjutnya daerah ini dikenal dengan nama Tembokrejo.

Selain tembok raksasa, banyak lagi situs di sekitar bale kambang. Bentuknya menyerupai bukit dengan ditumpuki batu-batu alam. Sayangnya, tak satu pun ada sumber kuat yang menyebutkan nama-nama tempat itu. Kondisinya juga tak terawat. Disekitar tempat ini hanyalah hamparan sawah yang luas.

Kendati tidak ada catatan sejarah, kebesaran Blambangan tetap diyakini masyarakat Jawa di sekitar lokasi. Ini terlihat dari banyaknya nama-nama Desa yang erat hubungannya dengan zaman keemasan Blambangan. Tak jauh dari situs bale kambang ada desa Blambangan. Di sekitar situs umpak songo ada desa Tembokrejo. Ada pula daerah Palu kuning yang diyakini bekas hilangnya senjata gada besi kuning milik Minak Jinggo. Juga ada bukit putri, bukit jadah dan sejumlah situs lain yang tidak terawat.  Bagi masyarakat Jawa, kebesaran Minak Jinggo tetap dikenang dan diyakini pahlawan besar zaman Blambangan.

3 komentar:

  1. Mantap mas Jecko Satrio.. Saya jadikan referensi artikel saya dengan menyertakan link blog jeckosatrio.blogspot.com

    ------------------
    Menyembuhkan Kencing Manis : www.sayasembuh.com
    Cerita Rakyat Daerah Anda : www.facebook.com/

    BalasHapus
  2. Mantap mas Jecko Satrio.. Saya jadikan referensi artikel saya dengan menyertakan link blog jeckosatrio.blogspot.com

    ------------------
    Menyembuhkan Kencing Manis : www.sayasembuh.com
    Cerita Rakyat Daerah Anda : www.facebook.com/

    BalasHapus