Selasa, 05 April 2011

Mencapai popularitas Via You tube


Pernyataan Albert Camus terasa kian mendekati kebenaran, persis di untaian kalimat yang seperti ini: manusia adalah mahluk yang ingin melegenda… Tak puas hanya sekedar kaya atau berkuasa, maka manusia ingin jadi legenda.

Inilah yang menjadi penjelas, mengapa orang-orang besar dan begitu hebat, tidak berhenti melakukan sesuatu. Karena memang manusia memiliki naluri untuk menjadi yang “ter”, ter-kaya atau ter-hebat. Jika itu telah diraih, maka pilihan terakhir adalah menjadi (paling) ter-sohor!

Hanya saja, ada perkara yang patut menjadi catatan tambahan. Di zaman Camus hidup, atau bahkan beberapa tahun berselang, orang tak memperkirakan bahwa menjadi sesuatu yang dikenang, fenomenal, dan melegenda, adalah benar-benar mudah. Segampang aksi lipsyinc ala Shinta dan Jojo. Secepat ledakan popularitas Udin Sedunia, atau yang terakhir, seheboh Pak Polisi Goyang India dari Gorontalo. Semuanya begitu terbantu oleh fasilitas media sosial yang meruyak saat ini, seperti Facebook, Twitter, ataupun Youtube.

Kini memang metode menjadi legenda di zaman arkaik (kuno), senyatanya masih berlaku. Butuh sedikit “kegilaan dan modal besar” untuk dilirik orang banyak. Beberapa diantaranya dilakukan dengan benar-benar menabrak ajaran-jaran etika dan moral. Kereta sejarah peradaban manusia pun penuh bukti, tentang manusia-manusia legendaris, tetapi dengan jalan batil. Dunia pun menyematkan istilah notorious untuk mereka, artinya adalah popularitas yang buruk dan jahat. Tetapi, apapun itu, mereka tetap legenda yang sedemikian tersohor.

Tinggal pilih saja jenis kegilaan legendaris yang popularitasnya tak surut digerus waktu. Untuk legenda kebuasan seksual, ingatan akan lari ke Caligula, tentang kecantikan yang tragis, pasti mengarah ke Cleopatra, sementara contoh mengenai kebringasan bumi hangus, pastilah menuding ke Kaisar Nero. Pun dengan riwayat-riwayat abadi di berbagai bidang kehidupan. Dengan label bernuansa kebaikan. Entah para legenda sains, legenda seni, legenda keagamaan, dan lain-lainnya lagi. Nama-nama yang berderet-deret dan hadir dalam “perangkat memori” manusia (via buku, mitos, dongeng, takhyul, hingga film) adalah pengisi daftar tetap dan seantiasa populer.

Merekalah pelaku legendaris dan penikmat popularitas yang sesungguhnya. Akan tetapi, hari ini, deretan nama-nama besar itu hanya berlaku sebagai causa celbrare (kasus yang disebut), dalam tujuan dan konteks tertentu saja. Semisal menyebut Newton dengan takjim, diantara para pecinta Fisika. Atau mengenang dengan penuh, sebuah nama bernama Leonardo Da Vinci, di kalangan pecinta seni. Atau nama besar lain di bidang dan jenis perkara tertentu.

Tentu saja, tak ada jaminan bahwa seterkenal apapun para legendaris ini, akan menjadi ingatan di benak banyak orang. Pola komunikasi interaktif antar sesama manusia di saat itu begitu terbatas.

Tidak seperti hari ini. Menjadi beken begitu gampang. Tanpa perlu merintis susah payah. Jauh dari etos pengabdian dan keberanian. Nihil dari kontribusi penting terhadap sesama. Namun bisa melesat mendunia —diakses jutaan peminat, yang tersebar dari pelbagai pelosok dunia. Popularitas hari ini adalah resultante (hasil) dari kekonyolan. Nyaris seperti Kaisar Nero yang membangun gedung megah tetapi cuma untuk dibakar kemudian.

Garis pembeda yang begitu tegas, antara sebuah usaha yang panjang dan sungguh-sungguh (meskipun bernuansa kejahatan, misalnya), demi memetik perhatian pihak lain, dengan metode singkat dan tak perlu berkeringat, seperti yang terjadi belakangan ini. Rumus baru pun segera melesat ke permukaan. Bahwa efek popularitas adalah penting dan harus digapai pertama kali. Populer dahulu baru belajar dan berkarya kemudian. Seperti itulah yang bisa kita lihat dari \”kasus\” penari Keong Racun dari duo Shinta dan Jojo.

Pembacaan

Bagaimana memahami semua ini?

Sekedar menyematkan efek dahsyat dari media sosial yang bermacam-macam itu, serasa tak cukup. Media sosial belum benar-benar bertiwikrama menjadi agama manusia (sebagaimana disinyalir oleh beberapa ahli teori komunikasi massa, seperti disebut Neil Postman, dalam buku Menghibur Diri Sampai Mati). Lantaran secanggih apapun kekuatan media (massa) sosial, orbitnya tetap saja dalam posisi sebagai piranti.

Semua itu hanyalah perkakas yang memudahkan nafsu ingin populer. Kalaupun terjadi pergeserean kekuatan media dan ledakan fungsinya yang nyaris tak terbatas itu, maka paling cocok menyebut media (massa) sosial sebagai perluasan kehendak manusia (an extention of man, sebagaimana disebut oleh Marshall Mc Luhan).

Jauh lebih penting adalah menyelusup masuk ke akar-akar psikologis, yang menjelaskan hasrat kuat manusia untuk menjadi populer, dengan ikhtiar serba kilat —seperti sekarang ini.

Seakan orang tak ingin lagi sekedar menjadi penonton, tetapi juga ingin ditonton. Orang ingin juga dilihat sekaligus di saat yang sama ingin melihat. Meski untuk itu semua, terlau banyak hal yang akhirnya tersingkir ke titik nadir. Orang kemudian tidak lagi serius dengan rasa risih dan jeri —jika pun harus melakukan praktek yang sepenuhnya banal dan mentah. Melakukan praktek peniruan, kekonyolan, vulgar, dan jauh dari karya kreatif. Bahkan cenderung menghadirkan nuansa kegilaan secara terbuka.

Di saat bersmaan, lebih mengherankan lagi adalah kehendak pihak lain (di posisi penonton) untuk ikut menyimak dan terlibat dalam “aneka kegilaan” via media sosial itu. Sama-sama terlibat menikmati dan ujung-ujungnya melipatgandakan popularitas sebuah aksi.

Agaknya, publik penikmat suguhan media sosial itu beralih ke pilihan yang lebih ekspresif. Merasa jenuh oleh tayangan yang terlembagakan (misalnya via televisi, panggung industri musik, ataupun hiburan tradisional lainnya). Dan ingin ramai-ramai menggelontorkan tradisi baru, yaitu menikmati keganjilan, keanehan, dan kelainan. Sungguh sebuah tatacara baru menghibur diri yang tak perlu kita usung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar