Rabu, 13 Juni 2012

Mister Pura Giri Selaka Alas Purwo Banyuwangi


Pura Giri Selaka, Alas Purwo, Banyuwangi

Ingin Jadi Sumbu Kebangkitan Majapahit

Ketika Kerajaan Majapahit runtuh abad ke-14, para manggala kerajaan berucap, ”Boleh saja kerajaan mereka dihancurkan, tetapi tunggu lima ratus tahun lagi anak cucu mereka akan bangkit dan menagih kembali bekas wilayah Majapahit.

” Itulah yang diyakini sebagian besar umat Hindu Banyuwangi, sehingga kini ada kebanggaan bagi mereka untuk kembali ke agama Hindu. Semangat itulah yang menyertai pelaksanaan piodalan di Pura Giri Selaka, Alas Purwo, pada hari Pagerwesi, Rabu (11/9) lalu. Bagaimana kondisi umat Hindu di sekitar Ala Purwo saat ini? Masalah apa yang dihadapi umat Hindu di sana untuk kembali kepada jati diri sebagai Hindu?

Mendengar nama Alas Purwo, imajinasi orang pasti akan tertuju pada sebuah kawasan hutan lebat. Hal itu memang benar, Alas Purwo adalah sebuah kawasan hutan Taman Nasional di bawah lingkup Departemen Kehutanan dan Perkebunan. Lantas apa hubungannya antara Pura Giri Selaka dan Alas Purwo itu?

Itulah fenomena yang tampaknya mengiringi keberadaan hampir semua pura bersejarah, tidak saja di Bali namun juga di Jawa. Untuk menuju Pura Alas Purwo yang disungsung umat Hindu Kecamatan Tegaldlimo, Banyuwangi, para pemedek mesti memasuki kawasan hutan Taman Nasional Alas Purwo. Dari pintu depan kawasan hutan Taman Nasional, diperlukan waktu satu jam menuju Pura Giri Selaka dengan kondisi jalan yang belum beraspal.

Di kanan-kiri kita hanya berjejer hutan jati, dan jumlah masyarakat yang lewat pun bisa dihitung dengan jari. Bagi pemedek yang tidak menggunakan kendaraan pribadi, masyarakat sekitar menyiapkan sebuah angkutan tradisional yang lazim disebut grandong. Angkutan ini mirip sebuah mobil truk, akan tetapi mesinnya menggunakan mesin genset. Harga sewanya menuju Pura Giri Selaka sekitar Rp 2.500 per sekali angkut.

Untuk menemukan Pura Giri Selaka, memang harus siap banyak bertanya kepada masyarakat di sepanjang perjalanan. Jika tidak, jangan harap perjalanan bisa lancar, apalagi baru sekali-dua kali ke tempat tujuan. Pasalnya, banyak cabang jalan yang tanpa pelang nama Alas Purwo, sehingga perjalanan dari Bali menuju Alas Purwo bisa kita tempuh 9-10 jam dengan kondisi seperti itu.

Pura Giri Selaka berada di tengah hutan dan sekitar tiga kilometernya adalah kawasan wisata pantai Plengkung, bibir Alas Purwo itu sendiri. Di kawasan ini, memang tidak ada satu pun rumah penduduk. Kalau mau bermalam, pihak pengelola Taman Wisata menyediakan sejumlah penginapan sederhana, jaraknya sekitar satu kilometer dari Pura Giri Selaka. Meski tersedia sejumlah penginapan, tampaknya para pemedek yang ingin tangkil ke Pura Giri Selaka lebih memilih makemit di areal pura. Apalagi, areal pura saat ini telah mencapai luas dua hektar hasil pemberian Menteri Kehutanan sebagai penanggung jawab Taman Nasional bersangkutan.

Menurut sesepuh umat Hindu Tegaldlimo, Pemangku Ali Wahono, sebetulnya Pura Giri Selaka ditemukan secara tidak sengaja oleh umat di sekitarnya pada tahun 1967. Saat itu, masyarakat Kecamatan Tegaldlimo melakukan perabasan terhadap sejumlah kawasan hutan Alas Purwo untuk bercocok tanam. Daerah di sekitar pura pun tampak cukup makmur dengan hasil palawijanya. Suatu ketika, di tempat berdirinya Pura Alas Purwo yang oleh masyarakat disebut Situs Alas Purwo, ada sebuah gundukan tanah.

Masyarakat ingin meratakan dan menjadikan lahan cocok tanam. Tanpa diduga, ada bungkahan-bungkahan bata besar yang masih tertumpuk. Persis seperti gapura kecil. Lantas masyarakat sekitarnya membawa bungkahan bata-bata itu ke rumahnya. Ada yang menjadikan bahan membuat tungku dapur, ada juga untuk membuat alas rumah. Rupanya, keluguan masyarakat itu telah menyebabkan munculnya musibah bagi warga yang mengambil bata-bata tersebut.

Selang beberapa saat setelah mengambil bata itu, semuanya jatuh sakit. Pada saat itulah, ada sabda agar bongkahan batu bata tersebut dikembalikan ke tempatnya semula. Bongkahan-bongkahan itu adalah tempat petapakan maharesi suci Hindu zaman dulu. Meski belum ada catatan resmi dalam prasasti, masyarakat mempercayai yang malinggih di situs Pura Alas Purwo adalah Empu Bharadah. Tetapi, ada juga yang menyebut Rsi Markandiya sebelum mereka menuju Bali. Selanjutnya, masyarakat setempat sangat yakin dengan kekuatan dan kesucian situs Alas Purwo tersebut. Sampai ada keinginan seorang warga untuk memagari situs itu agar aman dari jangkauan orang jahil. Akan tetapi, belum sampai tuntas mewujudkan keinginannya, warga tersebut keburu meninggal. Dari kejadian itu didapatkan sabda, kalau situs Alas Purwo itu wajib dipuja semua umat manusia di muka bumi ini tanpa dibatasi sekat-sekat golongan.

Kemudian ada upaya dari pihak Dinas Purbakala untuk menjadikan situs Alas Purwo sebagai benda peninggalan sejarah. Di sisi lain, umat Hindu yang mayoritas bertempat tinggal di sekitar Mariyan — nama kawasan yang telah dibabat hutannya itu — tetap meyakini kalau situs itu adalah milik nenek moyang Hindu zaman dulu. Untuk menghindari adanya kejadian yang tak diinginkan, umat Hindu akhirnya membuatkan sebuah pura, sekitar 65 meter dari situs Alas Purwo saat ini. Sementara situs itu sendiri dibiarkan seperti semula, namun tetap menjadi tempat pemujaan bagi semua umat manusia, tak terbatas hanya umat Hindu.

Bicara soal kesucian dan keajaiban situs Alas Purwo ini, memang berderet peristiwa menjadi pengalaman masyarakat penyungsung-nya. Itulah sebabnya, sejumlah pejabat maupun mantan pejabat terkenal pernah melakukan pemujaan di situs Alas Purwo ini. Tujuannya pun bermacam-macam. ”Hampir semua yang di-tunas, kesuecan Ida Batara yang malinggih di sini. Hanya, semua kembali kepada swakarma-nya,” ujar Mangku Adi, salah seorang pemangku setempat. Seiring dengan perjalanan waktu, pada tahun 1972 ada kebijakan Departemen Kehutanan dan Perkebunan untuk menagih kembali lahan hasil rabasan penduduk di kawasan Mariyan tersebut. Secara bertahap lahan dikembalikan menjadi hutan jati seperti sekarang ini, dan semua penduduk yang melakukan perabasan hutan itu kembali ke kampung masing-masing. Proses pengembaliannya ini selesai pada tahun 1975. Setelah itulah, situs Alas Purwo tinggal pada kesendiriannya, jauh dari rumah penduduk.

Meski demikian, Departemen Kehutanan memberikan kebebasan kepada mayarakat yang ingin melakukan persembahyangan atau pun meditasi di situs tersebut. Apalagi, umat Hindu yang kini telah kembali ”pulang” ke kawitan-nya setelah peristiwa G-30-S/PKI tahun 1965 lalu. Mereka beranggapan sekaranglah kebangkitan Hindu itu akan terbukti, setelah 500 tahun runtuhnya Majapahit pada abad ke-14. Dan, itu salah satunya dimulai dari kerinduan umat Hindu Banyuwangi untuk menelesuri jejak nenek moyangnya. Diharapkan, dari situs Alas Purwo inilah bisa jadi sumbu penghubung Hindu tanah Jawa kelak. * Agus Astapa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar