Minggu, 10 Juni 2012

Motor di Film-film Indonesia Dekade 1970-an

Geng motor bukan fenomena baru. Jika ditelisik, akarnya sudah ada sejak tahun 1970-an. Di dekade itu pula, motor muncul tidak sebagai benda tunggangan, tapi juga ikon pemberontakan. Hal ini terwujud lewat film-film kita masa itu.  

AHLI-TOPAN-copy-1



Tengok adegan ini. Jalanan yang damai itu tiba-tiba dibikin ribut oleh deru suara motor. Beberapa motor melintas. Pengendaranya ugal-ugalan. Ada yang naik motor sambil berdiri. Kamera lalu menyorot rambu lalu lintas dilarang masuk seolah hendak mengatakan mereka telah melanggar hukum.

Geng motor tersebut berhenti di sebuah bar. Menjemput teman yang minum-minum lalu bayar hanya  100 rupiah. Mau latihan band, kata salah seorang dari mereka. Mereka mengusai jalanan lagi seolah milik nenek moyangnya. Ada tukang roti melintas mereka ganggu sampai si tukang roti kabur. Ke tukang rokok pinggir jalan, mereka ambil rokok satu dus tanpa membayar. Sepanjang jalan geng motor ini ugal-ugalan tiada henti. Jalan meliuk-liuk, ciuman di tengah jalan, sampai berhenti di lampu merah bikin jalanan macet.

Itulah bagian awal film Darah Muda (1977) yang dibintangi Rhoma Irama yang sedang menapaki karier menuju tahta sang raja dangdut. Tentu, bukan Rhoma yang bertingkah ugal-ugalan di jalanan itu. Justru Rhoma yang kemudian berhadapan dengan geng motor kelompok musisi rock Apache, tempatnya dulu bernaung sebagai anggota band sebelum akhirnya memilih dangdut.

Filmnya utamanya berkisah soal konflik musisi rock versus penyanyi dangdut. Namun, menarik juga menengok bagaimana motor digambarkan di film ini.

roy-marten-troy

Roy Marten di "Roda-roda Gila" (repro.Kompas)
Rocker Bermotor

Pertama-tama, sineasnya (film ini disutradarai Maman Firmansjah dan skenarionya ditulis Sjuman Djaya) melabelkan motor identik dengan musisi rock. Kayaknya nggak keren kalau anak rock tak pakai motor. Tapi pakai motor saja tak cukup. Rocker kalau pakai motor menguasai jalanan selayaknya raja. Di jalan, rocker bertingkah ugal-ugalan seenaknya dengan motor.
Bagi kebanyakan anak muda hingga tahun 1970-an, motor adalah impian. Hanya segelintir anak muda yang punya motor. Kebanyakan mereka ke sekolah naik sepeda atau naik angkutan umum becak, opelet, atau bus. Tak jarang anak muda zaman itu memajang gambar motor di kamar. Motor telah menjadi citra cowok gagah. Mereka terkesan pada geng motor yang bertingkah ugal-ugalan seperti di film-film Hollywood, seperti dicitrakan geng motor Hells Angels.

Hells Angels menjadi nama yang tenar karena kebrutalannya. Mereka disebut sebagai outlaw motorcycle club, geng motor liar yang pertama dibentuk di California, AS, pada 1948. Catatan buruk mereka terpatri hingga kini ketika Hells Angels disewa menjaga keamanan konser grup rock Rolling Stones di Altamont, California, pada 1969. Bukannya menjaga keamanan, konser itu malah rusuh hingga jatuh korban tewas. Namun, peristiwa itu malah makin membuat nama Hells Angels makin dikenal. Mereka dianggap sebagai counter culture, simbol anti kemapanan, tak takut hukum. Pengaruh anti kemapanan geng motor motor klop dengan citra rocker. Maka, rocker pun bermotor agar citra yang disampaikannya makin kentara.   

Namun, di era Orde Lama Soekarno sikap anti kemapanan ini relatif berhasil dibendung. Soekarrno melarang musik Barat yang disebutnya “ngak ngik ngok” hingga memenjara Koes Plus segala. Saat Soekarno jatuh dan Orde Baru yang lebih pro Barat berkuasa di akhir 1960-an, pengaruh budaya Barat, termasuk counter culture-nya pula ikut terimpor tanpa filter ke sini.   

Namun, karena pada dasarnya kita orang Asia, pasar motor kemudian dikuasai Jepang, bukan Amerika atau Eropa. Produk Jepang yang relatif lebih murah dan ukuran motornya lebih sesuai dengan postur orang Asia, membuatnya jadi pilihan. Produk motor Jepang muncul sejak awal tahun 1960-an. Waktu itu yang punya motor masih sedikit, hanya anak muda dari kalangan menengah atas.

ali-topan-ist12
Adegan film "Ali Topan Anak Jalanan" (repro.Kompas)
Di paruh kedua 1960-an, motor Jepang makin mengusai jalanan menyingkirkan motor-motor Eropa seperti BMW, Harley Davidson, Norton, Ducatti, dan beberapa merek lain. Di akhir 1960-an dan awal 1970-an, saat Orde Baru semakin membuka hubungan baik dengan Jepang, motor-motor Jepang juga semakin banyak di jalanan jadi tunggangan pribadi anak-anak muda.
Roy Marten dan Ali Topan, Simbol Anak Muda ’70-an  
  
 Salah satunya Roy Marten. Aktor gaek ini mengalami masa muda di era 1960-an dan 1970-an di Salatiga, Jawa Tengah. Roy termasuk anak muda yang punya motor di kota itu. “Saya hitung waktu itu anak muda Salatiga yang punya motor hanya 9 orang. Jadi, dengan mendengar suara motornya saja, saya tahu itu motor siapa,” kata Roy seperti dikutip Kompas, 20 November 2005.
Dari kecintaannya pada motor, Roy mereka-reka cerita dengan Masmbez membuat skenario film Roda-roda Gila pada 1978. Dibesut Dasri Yacob, film itu melibatkan Roy dan Yati Octavia sebagai bintang utama. Roy mengisahkan seorang superstar balap motor yang egois bernama Troy yang diperankannya sendiri. Dia tidak saja jago balap motor, tapi juga jago merayu cewek. Salah satu pengagumnya, Inggrid (Yati Octavia) dikencaninya lalu hamil. Tapi, Troy ogah tanggung jawab. Kakak Ingrid, Yopie (Rudy Salam) yang juga pembalap ingin menghancurkan Troy.

Menarik menyimak bagaimana Troy yang sombong dan ogah bertanggung jawab pada cewek yang dihamilinya justru tetap ditempatkan sebagai protagonis di film ini. Penonton diajak berpihak padanya, walau sifatnya tak terpuji. Sineasnya malah tetap mencitrakan Troy dan motornya sebagai sosok keren. Seolah-olah dengan tampang ganteng dan tunggangan motor keren, bertingkah sombong dan tak bertanggung jawab pun tak mengapa.

Roy Marten di era 1970-an memang sosok hero pujaan di layar lebar. Para wanita menginginkannya, sedang para pria mendamba ingin seperti dirinya. Remaja zaman itu melihatnya lagi jadi sosok keren penakluk cewek di film Kampus Biru.

Motor yang digunakan Roy di Roda-roda Gila adalah jenis motor yang saat itu lazim disebut motor trail, jenis motor hyang digunakan di lomba motocross yang mulai ngetren di tahun 1970-an. Jenis motor ini pula yang digunakan Ali Topan si anak jalanan. Di film Ali Topan Anak Jalanan, Ali dan kawan-kawannya mengarungi jalanan dengan motor trail. Filmnya yang rilis 1977 diangkat dari cerita bersambung di majalah Stop pada awal 1970-an karya Teguh Esha.

Baik di novel dan filmnya, Ali Topan digambarkan sebagai anak yang dibesarkan di jalanan. Ibunya sibuk dengan urusannya sendiri, sedang ayahnya keluar masuk hotel dengan perempuan lain. Di jalan, dengan motornya, Ali menemukan jati dirinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar